PERTANGGUNGJAWABAN POLRI TERHADAP KESALAHAN PROSEDUR
YANG MENGAKIBATKAN KORBAN
MENGALAMI CACAT SEUMUR HIDUP
(Studi
Kasus Penembakan Iwan Mulyadi di Pasaman Barat)
Oleh :
WARMAN PRIATNO, SH
A.
Latar
Belakang
Sejak
era reformasi bergulir yang dipelopori oleh mahasiswa pada tahun 1998, seluruh
lembaga negara, terutama yang tugas dan tanggungjawabnya berkaitan langsung
dengan kepentingan publik dilanda demam reformasi.[1]
Ini tuntutan publik, tuntutan perubahan zaman dan hal itu mensyaratkan agar
semua stake holder lembaga negara mempersiapkan
diri untuk menjadi bagian dari lembaga
publik. Seiring
dengan reformasi tersebut yang memiliki agenda secara nasional, yaitu reformasi
dalam bidang politik, ekonomi dan hukum. Polri juga menjadi sasaran utama untuk
direformasi karena reformasi ini merupakan reaksi keras masyarakat terhadap
praktek penyelenggaraan negara.[2]
Kepolisian
Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu lembaga yang mendapat sorotan tajam
dari masyarakat dalam hal pelayanan
publik. Masih banyaknya terdapat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
serta diskriminasi dalam melayani masyarakat oleh Polri menjadikan lembaga ini
mendapat perhatian besar oleh masyarakat untuk direformasi. Apa yang diharapkan
oleh masyarakat dari gelombang reformasi ini benar – benar menggambarkan betapa
besarnya harapan masyarakat terhadap adanya perubahan di tubuh Polri.
Kepolisian
merupakan salah satu pilar pertahanan negara, yang khusus menangani ketertiban
dan keamanan masyarakat.[3]
Sesuai dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan
kedua, keamanan dalam negeri secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas
pokok, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Dengan demikian eksistensi Polri
agar selalu bersama dan menyatu dengan masyarakat. Dalam posisi ini adalah
wajar jika evaluasi terhadap kinerja Polri langsung diberikan oleh masyarakat.
Dilihat
dari tugas dan wewenang Kepolisian yang dirumuskan secara tersebar dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, baik yang mengatur secara khusus maupun
secara umum, kepolisian menjadi suatu lembaga yang memiliki fungsi vital,
artinya fungsi tersebut dibutuhkan dan melekat dalam kehidupan manusia. Berdasarkan
isi dan muatannya peraturan perundang – undangan yang mengatur tugas dan
wewenang kepolisian secara khusus berkaitan dengan proses penegakan hukum dan
mengatur internal organisasi, sedangkan secara umum meliputi tugas dan wewenang
sebagai pengayom, pelindung dan pelayan kepada masyarakat.[4]
Polri memiliki
tugas utama yaitu : menerima laporan dan pengaduan dari publik manakala terjadi
tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan, melakukan penyaringan
terhadap perkara – perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kepada
Kejaksaan, melaporkan penyidikan ke Kejaksaan dan memastikan dilindunginya para
pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.[5]
Untuk melaksanakan tugas tersebut diatas dapat dilaksanakan menurut ketentuan
Undang – Undang Nomor : 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih
dikenal dengan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Segala
ketentuan tentang pelaksanaan tugas dan fungsi Polri ini dalam penegakan hukum harus
sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Dalam bidang
penegakan hukum pidana misalnya Polri senantiasa bertindak sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Apa yang akan dilakukan dalam menyelenggarakan
proses hukum pidana, harus tunduk pada ketentuan KUHAP tersebut. Polri selaku
penyelidik dan penyidik dalam menjalankan fungsi legislasinya tidak boleh
bertindak semena-mena terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana.
Selain kepentingan hukum yang harus dilindungi, Polri juga wajib menghormati
hak asasi manusia yang melekat sebagaimana dalam KUHAP tersebut.
Profesionalisme
polisi tidak terlepas dari peranan yang diharapkan oleh masyarakat tentang
tugas pokok kepolisian (sebagai organisasi).[6] Secara
formal hal ini dapat kita temukan dalam Bab III Undang-undang Nomor : 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal
16. Akan tetapi bilamana ingin melihat bagaimana pandangan sederhana masyarakat
terhadap tugas dan fungsi Polri tersebut maka hal ini akan mengacu pada dua
fungsi yakni : Penegakan hukum dan penyelesaian masalah (conflict management).
Tugas-tugas
di bidang represif, adalah mengadakan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran
hukum menurut ketentuan dalam Undang-undang. Tugas represif ini sebagai tugas
Kepolisian dalam bidang peradilan atau penegakan hukum yang dibebankan kepada
petugas Kepolisian, sebagaimana dikatakan oleh Harsja W. Bachtiar, bahwa
petugas-petugas Kepolisian dibebani dengan tanggungjawab khusus untuk
memelihara ketertiban masyarakat dan menangani tindakan-tindakan kejahatan,
baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku kejahatan maupun dalam bentuk upaya
pencegahan kejahatan agar anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam
keadaan aman dan tenteram.[7]
Sedangkan dalam bidang preventif dilaksanakan dengan dengan konsep dan pola
pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada
masyarakat, agar masyarakat merasa aman, tertib, dan tenteram tidak terganggu
segala aktivitasnya.[8]
Tugas preventif dan represif
tersebut pada tataran tertentu menjadi suatu tugas yang bersamaan, oleh karena
itu pekerjaan Polisi tidaklah mudah, pada suatu sisi dihadapkan pada struktur sosial
dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, disisi lain
dihadapkan pada struktur birokrasi dan hukum modern yang memiliki ciri
rasional. Dengan demikian tugas-tugas Kepolisian menjadi dinamis yang
berorientasi pada kepentingan dan perkembangan masyarakat, walaupun pada
kenyataannya perkembangan masyarakat lebih cepat dari pola-pola penegakan hukum
(law enforcement) yang dilakukan oleh
Kepolisian, terutama bidang teknologi komunikasi dan informasi.[9]
Apakah peran dan
fungsi polisi ?. Mengapa dalam masyarakat diperlukan polisi ?. Bagaimana citra
polisi saat ini dimata masyarakat ?. Jawabannya akan bervariasi, ada yang memberikan pendapat positif
dan banyak pandangan negatifnya.[10] Jawaban
yang dikemukankan oleh masyarakat tersebut pada umumnya berdasar pada citra
polisi dalam cara pikir masyarakat yang belum tentu benar atau kebenarannya
bersifat subjektif. Apa yang diyakini ataupun apa yang mata masyarakat
merupakan produk kinerja polisi dalam menyelenggarakan pemolisian.[11]
Polisi dalam
menyelenggarakan pemolisian mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa,
melakukan kontrol sosial, bahkan juga kewenangan diskresi.[12] Diskresi
itu sendiri dapat diartikan kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap
situasi yg dihadapi. Makna yang terkandung dalam kewenangan diskresi ini bagi
polisi adalah dimana setiap anggota polisi dapat melakukan kewenangan diskresi
dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 Undang
– Undang Nomor : 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia, yang berbunyi :
(1)
Untuk kepentingan umum Pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Untuk
mencegah tindakan sewenang – wenang atau arogansi petugas Kepolisian dalam
menggunakan kewenangan diskresi, maka harus dibatasi oleh:[13]
1. Asas
keperluan, tindakan harus benar-benar diperlukan misalnya menyetop jalur
pemakai jalan walaupun lampu pengatur lalu lintas sudah hijau dengan
mendahulukan iringan – iringan mobil pemadam kebakaran, Pejabat Penting, Mobil
Ambulance walaupun waktu itu sudah merah.
2. Tindakan
yang diambil benar – benar untuk kepentingan tugas kepolisian. Misalnya petugas
menutup hiburan malam pada waktu dan belum saatnya tutup (sesuai ijin instansi
berwenang) karena ada informasi bahwa masyarakat sekitar sudah membuat rencana
untuk merusak hiburan malam tersebut.
3. Tindakan
yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya
kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar (azas tujuan), misalnya dalam
kasus kebakaran, Petugas Polri terpaksa merobohkan salah satu rumah demi
menghentikan kobaran api meluas pada rumah penduduk lainnya. Dengan mengorbankan
salah satu rumah tersebut maka menjalarnya kebakaran bias dicegah.
4. Asas
Keseimbangan
Dalam mengmbil tindakan harus
diperhitungkan keseimbangan antara sifat dan tindakan atau sasaran yang
digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat – ringannya suatu objek
yang harus ditindak.
Kepolisian
adalah penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Polisi pada
hakikatnya merupakan hukum yang hidup, karena ditangan polisilah hukum dapat
diwujudkan khususnya dalam bidang hukum pidana. Salah satu tujuan hukum yaitu
menciptakan ketertiban dalam masyarakat, yang antara lain dilakukan dengan melawan
kejahatan. Polisilah yang akan menentukan secara konkrit penegakan ketertiban
yaitu siapa yang harus ditundukkan dan siapa yang harus dilindungi. Melalui
Polisi, hukum yang bersifat abstrak ditransformasikan menjadi nyata. Dapat
disebutkan bahwa, pekerjaan Polisi adalah penegakan hukum in optima forma, Melalui Polisi janji-janji dan tujuan hukum untuk
mengamankan serta melindungi masyarakat menjadi kenyataan[14].
Dalam
berbagai kasus yang diberitakan oleh media, baik cetak maupun elektronik seringkali
memperlihatkan bagaimana anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya seringkali tidak
mengindahkan prosedural yang ada dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
sering pula diabaikan. Perlakuan yang sering dipertontonkan oleh Polisi
tersebut diantaranya : Penangkapan yang tidak dilengkapi oleh surat
penangkapan, ada pula mereka yang ditembak dengan jarak yang relatif dekat
padahal tidak ada perlawanan, salah tangkap terhadap pelaku kejahatan, kekerasan
terhadap tersangka untuk mendapatkan pengakuan, jebakan – jebakan untuk
mendapatkan keuntungan tertentu, pemerasan di jalanan, beking perjudian dan
lain sebagainya. Ini realitas perilaku polisi kita yang tanpa rasa malu dan
dengan keangkuhan memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sumpah
jabatannya sebagai pengayom dan pelindung rakyat.
Di
dalam pengungkapan suatu tindak pidana narkoba misalnya Polisi melakukannya
dengan metode penyamaran (under cover)
untuk mengungkap jaringan dan menangkap pelaku narkoba tersebut. Polisi dapat
saja mendalilkan bahwa ini adalah suatu metode pengungkapan narkoba. Kejahatan
narkotika ini sulit untuk pengungkapannya, karena peredarannya melibatkan
banyak jaringan secara berlapis – lapis.[15]
Akan tetapi disisi lain juga memberikan peluang penyimpangan oleh Polisi agar
dapat dengan mudah mengkonsumsi narkoba tertentu juga. Bila ini yang diungkap
dari Kepolisian tentu akan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi Polisi untuk
mengungkap peredaran narkoba.
Terhadap
berbagai kasus yang terdakwanya dibebaskan oleh pengadilan ternyata terdapat
banyak tindakan sewenang – wenang yang dilakukan Polisi untuk memaksakan
perkara tersebut menjadi sebuah berkas yang nantinya disidangkan di pengadilan.
Seperti dalam kasus pembunuhan yang terdakwanya dibebaskan oleh Hakim yang
menimpa Dhofir, Imam Hambali alias Kemat, dan Devid Eko[16]
yang dipaksa untuk mengakui perbuatannya karena sudah tidak kuat menahan
penyiksaan yang dilakukan oleh Polisi.
Kewenangan
yang dimiliki oleh Polri tersebut seringkali terjadi penyalahgunaan oleh oknum
anggota Polri. Seperti dalam kasus penembakan seorang anak di bawah umur di
Makassar pada tanggal 08 Oktober 2014[17],
penembakan anak usia 12 tahun yang ingin dibubarkan oleh Polri melalui tembakan
juga di Makassar pada tanggal 5 Agustus 2014[18],
penembakan warga di Semarang pada 15 Juni 2013[19]. Penembakan
oleh Polri juga terjadi di Desa Limbang Jaya, Ogan Komering Ilir yang dilakukan
oleh Brimob Polda Sumatera Selatan, dimana telah menewaskan Angga, bocah usian
12 tahun.[20]
Berdasarkan
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976, disebutkan bahwa
senjata api adalah salah satu alat dalam melaksanakan tugas pokok angkatan
bersenjata di bidang pertahanan dan keamanan. Sedangkan bagi instansi
pemerintah di luar angkatan bersenjata, senjata api merupakan alat khusus yang
penggunaannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1976 yang menginstrusikan agar para menteri (Pimpinan Lembaga
Pemerintah) membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran
tugasnya.
Sesungguhnya
penggunaan senjata api haruslah sangat sensitif dan selektif, tidak disetiap
kondisi penangangan kejahatan Polisi harus menunjukkan, menodongkan bahkan
meletuskan senjata api miliknya. Dalam Pasal 2 Perkap Nomor : 01 Tahun 2009
Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, dinyatakan bahwa tujuan penggunaan kekuatan
dalam tindakan kepolisian adalah : mencegah, menghambat, atau
menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang sedang berupaya atau
sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, mencegah pelaku
kejahatan atau tersangka melarikan diri atau melakukan tindakan yang
membahayakan anggota Polri atau masyarakat, melindungi diri atau
masyarakat dari ancaman perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan atau
tersangka yang dapat menimbulkan luka parah atau mematikan, atau melindungi
kehormatan kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau masyarakat dari
serangan yang melawan hak dan / atau mengancam jiwa manusia.
Urgensi dari peraturan tersebut karena dalam
melaksanakan tugas di lapangan sering dihadapkan pada situasi, kondisi atau
permasalahan yang mendesak, sehingga perlu melaksanakan penggunaan kekuatan
dalam tindakan kepolisian. Pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan
kepolisian harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan aturan
hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan tetap menghormati / menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
Penggunaan
kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan
tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian
/ korban / penderitaan yang berlebihan. Persoalannya adalah kapan dan bagaimana
seharusnya anggota kepolisian memutuskan untuk menembak atau tidak menembak,
atau kalau terlambat, mungkin mereka yang menjadi korban penembakan. Untuk
mencegah terjadinya salah tafsir di lapangan peraturan Kapolri tersebut
dijadikan acuan dalam melaksanakan tindakan hukum berupa kekuatan.
Peraturan
tersebut memuat arahan teknis serta tahapan prosedural bagi anggota Polri dalam
melakukan tindakan kepolisian, termasuk penembakan yang merupakan tahapan
paling akhir, dalam banyak kondisi, Polisi dalam menjalankan tugasnya tidak
harus selalu memerlukan menggunakan kekuatan. Polisi diberi semua kewenangan
yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tersebut yang tidak deberikan kepada
badan lain.[21]
Meski penggunaan kekuatan ini sah dilakukan seperti dalam penangkapan,
pencegahan dan dalam menangani insiden-insiden terkait gangguan ketertiban
umum.
Salah satu kasus salah tembak oleh Kepolisian adalah
penembakan yang terjadi di sebuah nagari kecil tepatnya di Pondok Ladang Sasok
Rimbo Gadang Durian Sabuik – Tanjung Medan Jorong IV Koto Selatan Nagari Kinali
Kecamatan Kinali Kabupaten Pasaman Barat. Peristiwa penembakan tersebut terjadi
bermula dengan adanya laporan Polisi, dimana korban (tersangka dalam laporan
polisi) telah dilaporkan oleh masyarakat lainnya dalam dugaan tindak pidana
pengrusakan. Atas adanya laporan tersebut Terdakwa (polisi yang ditugaskan
dalam penyidikan) melakukan penyidikan. Singkatnya terdakwa melakukan
penangkapan terhadap korban. Dalam proses penangkapan tersebutlah terjadinya
suatu penembakan yang tersebut.
Setelah menjalani serangkaian proses hukum akhirnya,
terdakwa (Polisi) dijatuhi pidana penjara oleh Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping
selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.[22] Putusan
pidana penjara terseut diterima dan dijalani sepenuhnya oleh Terdakwa. Selanjutnya
korban dan keluarganya merasa dirugikan dengan adanya peristiwa penembakan oleh
Polisi tersebut karena korban mengalami kelumpuhan seumur hidup. Sehingga
keluarga korban mengajukan gugatan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri Pasaman
Barat, yang oleh Pengadilan Negeri tersebut gugatan korban dikabulkan hingga
proses Banding dan Kasasi serta telah pula berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) bahkan telah
diajukan permohonan eksekusinya melalui Pengadilan Negeri Pasaman Barat
tersebut. Namun sampai saat sekarang ini apa yang telah diputus oleh Pengadilan
tersebut belumlah dapat dinikmati oleh korban yang semakin hari keadaannya
sangan memprihatinkan. Entah apa yang menjadi kendala bagi Polri sehingga
pemenuhan ganti rugi sebagaimana yang telah diputus oleh Pengadilan belum juga
dilaksanakan dengan kesadaran hukum, padahal lembaga inilah yang seyogyanya
ikut menjaga hukum itu sendiri.
Atas
dasar latar belakang pemikiran itulah, fenomena ini menjadi daya tarik
tersendiri untuk melakukan pengkajian dalam bentuk penelitian dengan judul: Pertanggungjawaban Polri Terhadap Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban
Mengalami Cacat Seumur Hidup (Studi Kasus Penembakan Iwan Mulyadi di
Pasaman barat).
B.
Rumusan
Masalah
Beranjak dari hal di atas maka dapat
dirumuskan yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana
Pertanggungjawaban Polri Terhadap Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban
Mengalami Cacat Seumur Hidup dalam Penanganan Perkara Pidana ?
2. Bagaimana
Pemberian Ganti Rugi sebagai Bentuk
Pertanggungjawaban Polri terhadap Kesalahan Prosedur yang dilakukan oleh
Anggota Polri ?
3. Apa
yang menjadi hambatan dalam Pemberian Ganti Rugi terhadap korban Mengalami
Cacat Seumur Hidup ?
C. Tujuan Penelitian
Jika
dilihat dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui Bagaimana Pertanggungjawaban Polri Terhadap Kesalahan Prosedur Yang
Mengakibatkan Korban Mengalami Cacat Seumur Hidup dalam Penanganan Perkara
Pidana
2. Untuk
mengetahui Bagaimana Pemberian Ganti
Rugi sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Polri terhadap Kesalahan Prosedur yang
dilakukan oleh Anggota Polri
3. Untuk mengetahui Apa yang menjadi
hambatan dalam Pemberian Ganti Rugi terhadap korban Mengalami Cacat Seumur
Hidup
D.
Manfaat
Penelitian
Adapun
manfaat yang penulis harapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Manfaat
teoritis
a. Secara
teoritis mampu memberikan sumbangsih keilmuan bagi pembangunan dalam bidang hukum
di Indonesia, khusnya Hukum Pidana mengenai Pertanggungjawaban Polri terhadap
kesalahan Prosedur yang dilakukan oleh Personilnya.
b. Menambah
pengetahuan teoritis bagi orang – orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu hukum
khususnya dalam institusi Polri.
2. Manfaat
Praktis
a. Secara
praktis manfaat penelitian hukum ini meliputi : memberikan sumbangan fikiran
bagi pemangku kepentingan di bidang hukum tentang Pertanggungjawaban Polri
Terhadap Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban Mengalami Cacat Seumur
Hidup dalam Penanganan Perkara Pidana.
b. Memberikan
sumbangan ilmu pengetahuan bagi kalangan praktisi hukum dan politik pada
lembaga – lembaga yang berkaitan seperti Pengadilan, Kepolisian, Legislatif dan
masyarakat serta meningkatkan kesadaran hukum pihak – pihak yang berkepentingan.
E.
Kerangka
Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
A.
Teori
Keseimbangan Kepentingan
Pragmatisme Amerika, merupakan basis ideologi Pound
tentang keseimbangan kepentingan. Seturut pragmatisme di negerinya tersebut
cenderung menghindari konstruksi-konstruksi teori yang terlampau abstrak
seperti umumnya teori – teori yang muncul di Eropa. [23]
Bagi
pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis
ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau
ekslusif. Sebaliknya hukum itu mesti didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial
yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan- kepentingan yang saling
bersaing. Dari uraian yang dikemukankan oleh Pound diatas tentu akan
bermunculan pertanyaan tentang kepentingan-kepentingan mana sajakah yang
dimaksud tersebut. Pound
dalam uraian teorinya tersebut atau lebih dikenal dengan law as a tool of sosial engineering (alat untuk memperbarui atau
merekayasa masyarakat) menyatakan kepentingan tersebut adalah kepentingan umum,
sosial dan kepentingan pribadi.[24]
Untuk memenuhi peranannya sebagai alat tersebut di
atas, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum sebagai berikut :[25]
a. Kepentingan
umum (publik interest)
1.
Kepentingan Negara sebagai badan hukum
2. Kepentingan
Negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b.
Kepentingan masyarakat (sosial interest)
1. Kepentingan
akan kedamaian dan ketertiban
2. Perlindungan
lembaga-lembaga sosial
3. Pencegahan
kemerosotan akhlak
4. Pencegahan
pelanggaran hak
5. Kesejahteraan
sosial
c. Kepentingan
pribadi (private interest)
1. Kepentingan
individu
2. Kepentingan
keluarga
3. Kepentingan
hak milik
Dari klasifikasi
tersebut dapat ditarik dua hal. Pertama Pound
mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum
sebagai jalan ke arah tujuan sosial
dan sebagai alat dalam perkembangan sosial
(Rasjidi, 1990 :134). Memang, penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh Von Jhering. Karena itu dilihat dari hal
tersebut, Pound sebenarnya dapat
pula digolongkan sebagai penganut Utilitarianisme sebagai penerus Jhering dan Bentham. [26]
Kedua, klasifikasi
tersebut membantu menjelaskan premis- premis
hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang, hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan prinsip- prinsip dan nilai-nilai yang terkait
dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan
perkataan lain klasifikasi itu membantu menghubungkan
antara prinsip (hukum) dan praktiknya. [27]
B.
Teori
Keadilan
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial,
sebagaimana kebenaran dalam sistim pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan
ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum
dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi
atau dihapuskan jika tidak adil.[28] setiap
orang memiliki kehormatan yang berdasar pada kadilan sehingga seluruh
masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak
jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh lebih besar
yang didapatkan orang lain.[29]
Aristoteles
mengatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti
menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya.[30]
Di sini ditunjukkkan bahwa seseorang berlaku tidak adil apabila orang itu
mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum
juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap
sebagai adil (Tasrif, 1987 : 97)
Terdapat
dua macam keadilan menurut Aristoteles, yaitu : justitia distributiva (distributive justice, verdelende atau begevende
gerechtigheid) dan justitia commutativa
(remedial justice, vergeldende atau ruilgerechtigheid) .[31]
Justitia distributiva
menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak dan jatahnya : suum cuique tribuere (to each his
own). Jatah ini tidak sama untuk setiap
orangnya, tergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan
sebagainya, sifatnya adalah proporsional. Sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya.
Dalam pergaulan di dalam masyarakat justitia
commutativa merupakan kewajiban kepada setiap orang terhadap sesamanya. Di
sini yang dituntut adalah kesamaan. Adil yang dimaksud disini adalah apabila
setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.
Dalam
menggambarkan hubungan keadilan dan hukum, Aristoteles menjelaskan perlunya
diselidiki perbuatan-perbuatan mana keadilan itu berhubungan dan di tengah
perbuatan-perbuatan mana keadilan itu berada. Keadilan adalah sikap pikiran
yang ingin bertindak adil, yang tidak adil adalah orang yang
melanggarundang-undang yang tidak sepantasnya menghendaki lebih banyak
keuntungan dari orang lain dan pada hakikatnya tidak mengingini asas sama rasa,
sama rata. Segala sesuatu yang ditetapkan undang-undang adalah adil, sebab adil
adalah segala sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan dalam masyarakat. [32]
Thomas
Aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum (justicia generalis) dan keadilan khusus.
Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus
ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan
atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan
menjadi : (1) keadilan distributif (jusititia
distributiva), (2) keadilan komutatif (justitia
commutativa), dan (3) keadilan vindikatif (justitia vindicativa).[33]
Keadilan
distributif adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum
publik secara umum. Sebagai contoh, negara hanya akan mengangkat seseorang
menjadi Hakim apabila orang itu memiliki kemampuan untuk menjadi hakim.
Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan
kontraprestasi. Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan
hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila
ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah
ditentukan atas tindak pidana yang dilakuan.[34]
Uraian
tentang keadilan selanjutnya berasal dari John Rawls, yang dipandang sebagai
teori keadilan paling komprehensif sampai saat ini. Teori keadilan John Rawls sendiri
dapat dikatakan berangkat dari pemikiran utilitarianisme. Kekuatan
utilitarianisme di arena keadilan ada dua [35]:
(1) menyediakan – minimal secara teoritis – metode konkret untuk mengambil
keputusan-keputusan yang sulit dan (2) menyadari pentingnya kebahagiaan atau
kebaikan umum sebagai bagian dari teori keadilan.
Teori
keadilan yang dikemukakan oleh Rawls tersebut banyak sekali dipengaruhi
pemikiran Jeremy Bentham, J. S Mill, dan Hume yang dikenal sebagai tokoh-tokoh
utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri lebih sering dimasukkan
dalam kelompok realisme hukum. Rawls berpendapat perlu adanya keseimbangan
antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.[36] Bagaimana
ukuran dari keseimbangan dari itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan
keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya
dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi
benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu perlu ada aturan-aturan.
Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya.
Teori
keadilan dari John Rawls sebenarnya sangat berorientasi pada ajaran-ajaran
Immanuel Kant. Konsep dari John Rawls, justice
as fairness bila ditelusuri lebih jauh sebenarnya juga berasal dari
Aristoteles, yaitu ajaran keadilan distributive dan keadilan kumutatif. [37] ketika
John Rawls menyatakan bahwa teori keadilan merupakan teori tentang sentiment
moral, jelas bahwa sebenarnya teori keadilan dari John Rawls tersebut sangat
bersifat psikologis. Di samping itu, dengan menyatakan justice as fairness, apa sebenarnya yang disebut dengan “fairness” itu. Menurut John Rawls fairness merupakan masalah moralitas
manusia, sehingga teori keadilan dari John Rawls sebenarnya juga tidak dapat
dipisahkan dengan masalah moral.
Gustav
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu normatif karena nilai keadilan. Hukum
sebagai pengemban nilai nilai keadilan, menurut Radbruch menjadi ukuran bagi
adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi
dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian keadilan memiliki sifat normatif
sekaligus konstitutif bagi hukum. Ia normatif karena berfungsi sebagai
prasyarat trasedental yang mendasari tiap huku positif yang bermartabat.[38]
2. Kerangka konseptual
Kerangka konseptual
dalam penelitian ini merupakan gambaran
hubungan antara konsep – konsep yang akan diteliti. Konsep adalah ide atau pengertian yg diabstrakkan dari
peristiwa konkret[39].
Cara menjelaskan konsep adalah dengan definisi. Dalam rangka mempermudah pembahasan dalam penelitian ini berikut
definisi operasional yang dimaksud
dalam judul penelitian ini sebagai
berikut :
A. Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tanggungjawab memiliki makna keadaan wajib
menangung segala sesuatunya bila terjadi apa – apa boleh dituntut.[40] Bila
kata tanggungjawab tersebut dijadikan pertanggungjawaban maka akan memberikan pengertian
tentang suatu perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apakah perbuatan hukum
itu termasuk dalam ranahnya hukum pidana maupun hukum perdata.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika
sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. [41] Moeljatno
mengatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau
dia tidak melakukan perbuatan pidana”[42]. Dengan
demikian untuk dapat seseorang tersebut dipertanggungjawabkan mustilah ada
tindak pidana yang dilakukan.
Pada penelitian ini ada dua pertanggungjawaban yang
dilakukan yaitu : Pertanggungjawaban pidana sebagaimana telah diberikan kepada
pelaku dalam hal ini Briptu Nofrizal, sedangkan pertanggungjawaban secara
keperdataan terhadap institusi Kepolisian.
1. Kepolisian Republik Indonesia
(Polri)
Polri adalah suatu singkatan dari Kepolisian Republik
Indonesia. Dalam ketentuan Pasal
1 ayat (1) Undang Undang Nomor : 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kepolisian sendiri berarti segala hal-ihwal
yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.[43] Polri
sebagai lembaga negara berfungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pengaturan tentang Polri ini dituangkan dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2. Kesalahan Prosedur
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Prosedur
diartikan tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas. [44] Atau
boleh juga dikatakan prosedur ini adalah metode langkah demi langkah secara
pasti dalam memecahkan suatu masalah. Hal tersebut diatas mengandung makna
bahwa prosedur itu merupakan suatu standar dalam lingkungan pekerjaan tertentu
yang telah diatur sedemikian rupa dalam menyelesaikan suatu jenis pekerjaan
tertentu. Setiap lingkungan kerja memiliki prosedur dalam menyelesaikan pekerjaan
tertentu. Kita dapat mengambil contoh dalam lingkungan kepolisian dimana untuk
menggunakan kekuatan senjata api diberikan standar operasionalnya. Sehingga
pelaksana prosedur ini tidak semena – mena dalam melakukan tindakaknya yang
dapat merugikan orang lain.
Kesalahan prosedur diartikan suatu
perbuatan yang dilakukan dalam menjalankan pekerjaan atau aktifitas diluar
ketentuan atau prosedural yang telah ditetapkan. Terhadap kesalahan prosedur
yang dilakukan oleh orang tertentu pastinya memberikan konsekuensi terhadap
mereka pula.
3. Korban
Korban secara harfiah dapat diartikan orang yang
menderita akibat suatu kejadian atau peristiwa tertentu. Korban tindak pidana
dapat juga dikatakan seseorang yang mengalami kerugian atas tindak pidana yang
terjadi terhadapnya. Kerugian dalam hukum ini dapat dikategorikan atas kerugian
materil dan kerugian immaterial.
Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa
individu, atau orang perorangan, tetapi juga bias berupa kelompok orang,
masyarakat atau juga badan hukum. [45] Apabila
hendak menemukan upaya penanggulangan suatu kejahatan yang tepat, cara pandang
kita sebaiknya tidak hanya terfokus pada berbagai hal berkaitan dengan penyebab
timbulnya kejahatan atau metode apa yang efektif dipergunakan dalam
penanggulangan kejahatan. [46] Namun
hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami adalah masalah korban
kejahatan itu sendiri yang dalam keadaan-keadaan tertentu dapat menjadi pemicu
munculnya kejahatan. Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam
membahas kejahatan disebabkan korban seringkali memiliki peranan yang sangat
penting bagi terjadinya kejahatan. [47]
Perlindungan korban dalam proses peradilan pidana
tentunya tidak terlepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum
positif.[48]
Perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau
perlindungan tidak langsung. Artinya dengan adanya berbagai perumusan tindak
pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini, berarti pada hakikatnya
telah ada perlindungan “in abstracto” secara tidak langsung terhadap berbagai
kepentingan hukum dan hak – hak asasi korban. [49]
4. Cacat seumur hidup
Dikatakan cacat seumur ini dapat diartikan bahwa cedera
yang dialami oleh seseorang itu dideritanya sepanjang masa atau dalam jangka
waktu yang lama. Dalam Kitab undang undang Hukum Pidana cacat seumur hidup ini
dapat dianalogikan dalam bentuk luka berat. Hal – hal yang termasuk luka berat
menurut Pasal 90 Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah (i) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut, (ii) tidak mampu
terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian,
(iii) kehilangan salah satu pancaindera, (iv) mendapat
cacat berat, (v) menderita sakit lumpuh, (vi) terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
dan (vii) gugur atau matinya kandungan seorang
perempuan.[50]
Bila kita kaitkan dengan objek penelitian makan kasus yang akan diteliti
tersebut seyogyanya dapat kita kualifikasikan dalam penelitian ini.
C. Metode Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini,
metode yang digunakan oleh penulis dalam rangka memudahkan dalam pencarian data
dan informasi yang diperlukan antara lain :
1. Metode Pendekatan
Dalam
menjawab permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas digunakan pendekatan yuridis
empiris atau sosiologis yaitu suatu pendekatan yang bertitik tolak dari data primer,[51]
sehingga nantinya penelitian ini dapat menggambarkan jawaban permasalahan
secara cermat dan sistematis sehingga bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara
sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu,
mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.[52]
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu:
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan dari sumber
terkait yang dilakukan dengan wawancara. Adapun data primer yang akan
dikumpulkan adalah data tentang ganti rugi yang diberikan sesuai dengan putusan
Pengadilan Negeri Pasaman Barat terhadap korban tersebut.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari beberapa literatur,
dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, dan sumber-sumber kepustakaan lain
yang mendukung. Data sekunder yang akan dikumpulkan adalah salinan resmi
putusan Pengadilan, mulai dari tingkat pertama sampai pada tingkat kasasi.
Adapun sumber data
dalam penelitian ini, yaitu:
a.
Sumber Penelitian Lapangan (Field
Research), yaitu sumber data lapangan sebagai salah satu pertimbangan hukum
dari para penegak hukum yang menangani kasus ini dan masyarakat turut
diresahkan akibat terjadinya tindak pidana ini.
b.
Sumber Penelitian
Kepustakaan (Library Research), yaitu sumber data yang diperoleh dari
hasil penelaahan beberapa literatur dan sumber bacaan lainnya yang dapat
mendukung penulisan skripsi ini.
Guna
menjawab permasalahan penelitian, diperlukan data yaitu kumpulan dari data-data,
yang gilirannya membuat permasalahan menjadi terang dan jelas. Adapun data yang
dibutuhkan adalah :
3.
Teknik
Analisa Data
Selanjutnya
dengan telah dikumpulkannya sejumlah data tersebut baik primer maupun sekunder
maka dilakukan analisis data secara kualitatif
yaitu dengan melakukan penilaian terhadap data yang ada dengan berbagai
bantuan berbagai peraturan perundang – undangan, buku-buku atau makalah yang
terkait serta pendapat sarjana yang kemudian diuraikan dalam bentuk kalimat.
Berdasarkan penelitian tersebutmetode kualitatif bertujuan untuk menginterpretasikan
secara kualitatif tentang pendapat dan atau tanggapan dari nara sumber kemudian
mendeskripsikannya secara lengkap dan mendetail aspek – aspek tertentu yang
berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya dianalisis untuk
mengungkapkan kebenaran dan memahami kebenaran tersebut. [53]
D.
Sistematika
Penulisan
Dalam pembahasan tesis ini yang
berjudul Pertanggungjawaban Polri
Terhadap Kesalahan Prosedur Yang
Mengakibatkan Korban Mengalami Cacat Seumur Hidup (Studi Kasus Penembakan
Iwan Mulyadi di Pasaman Barat), maka
penulis memberikan uraian tentang ruang lingkup penulisan sebagai berikut :
BAB I :
PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang
menguraikan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Bab II diuraikan tentang Tinjauan Umum tentang
Polri dan Pertanggungjawaban Pidana,
Tinjauan tentang pertanggungjawaban Polri terhadap kesalahan Prosedur yang
mengakibatkan korban mengalami cacat seumur hidup dan Tinjauan umum tentang
Ganti Rugi.
BAB
III : HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini
berisi hasil penelitian yaitu tinjauan Pertanggungjawaban Polri Terhadap Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban Mengalami
Cacat Seumur Hidup dalam Penanganan Perkara Pidana, Ganti Rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban Polri terhadap Kesalahan
Prosedur dan Pelaksanaan Ganti Rugi terhadap Korban yang mengalami Cacat Seumur
hidup.
BAB
IV : PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari apa yang penulis uraikan pada bab
sebelumnya, kemudian penulis mengambil kesimpulan dari apa yang penulis uraikan
itu dan juga merupakan saran dari keseluruhan bab dalam tulisan ini.
[16]http://www.tempo.co/read/news/2008/09/01/055133099/Polisi-Siksa-Tiga-pembunuh-Asrori diakses tanggal 06 Januari 2015
[17] http://radarmakassar.com/berita-774-polisi-tak-pantas-pegang-senjata.html diakses tanggal 11 Desember 2014
pukul 09.05 Wib
[18] http://klikmakassar.com/2014/08/08/polisi-penembak-anak-12-tahun-diberi-sanksi-etik-pidana/ diakses tanggal 11 Desember 2014
pukul 09.14
[19]https://id.berita.yahoo.com/ipw-jateng-sesalkan-oknum-polisi-tembak-satpam-40321624.html diakses tanggal 11 Desember 2014
pukul 09.20