Selasa, 27 Januari 2015

PERTANGGUNGJAWABAN POLRI TERHADAP KESALAHAN PROSEDUR YANG MENGAKIBATKAN KORBAN MENGALAMI CACAT SEUMUR HIDUP (Studi Kasus Penembakan Iwan Mulyadi di Pasaman Barat)



PERTANGGUNGJAWABAN POLRI TERHADAP  KESALAHAN PROSEDUR 
YANG MENGAKIBATKAN KORBAN
MENGALAMI CACAT SEUMUR HIDUP
(Studi Kasus Penembakan Iwan Mulyadi di Pasaman Barat

Oleh :
WARMAN PRIATNO, SH


A.     Latar Belakang
Sejak era reformasi bergulir yang dipelopori oleh mahasiswa pada tahun 1998, seluruh lembaga negara, terutama yang tugas dan tanggungjawabnya berkaitan langsung dengan kepentingan publik dilanda demam reformasi.[1] Ini tuntutan publik, tuntutan perubahan zaman dan hal itu mensyaratkan agar semua stake holder lembaga negara mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari lembaga publik. Seiring dengan reformasi tersebut yang memiliki agenda secara nasional, yaitu reformasi dalam bidang politik, ekonomi dan hukum. Polri juga menjadi sasaran utama untuk direformasi karena reformasi ini merupakan reaksi keras masyarakat terhadap praktek penyelenggaraan negara.[2]
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu lembaga yang mendapat sorotan tajam dari  masyarakat dalam hal pelayanan publik. Masih banyaknya terdapat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta diskriminasi dalam melayani masyarakat oleh Polri menjadikan lembaga ini mendapat perhatian besar oleh masyarakat untuk direformasi. Apa yang diharapkan oleh masyarakat dari gelombang reformasi ini benar – benar menggambarkan betapa besarnya harapan masyarakat terhadap adanya perubahan di tubuh Polri.
            Kepolisian merupakan salah satu pilar pertahanan negara, yang khusus menangani ketertiban dan keamanan masyarakat.[3] Sesuai dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan kedua, keamanan dalam negeri secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Dengan demikian eksistensi Polri agar selalu bersama dan menyatu dengan masyarakat. Dalam posisi ini adalah wajar jika evaluasi terhadap kinerja Polri langsung diberikan oleh masyarakat.  
            Dilihat dari tugas dan wewenang Kepolisian yang dirumuskan secara tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, baik yang mengatur secara khusus maupun secara umum, kepolisian menjadi suatu lembaga yang memiliki fungsi vital, artinya fungsi tersebut dibutuhkan dan melekat dalam kehidupan manusia. Berdasarkan isi dan muatannya peraturan perundang – undangan yang mengatur tugas dan wewenang kepolisian secara khusus berkaitan dengan proses penegakan hukum dan mengatur internal organisasi, sedangkan secara umum meliputi tugas dan wewenang sebagai pengayom, pelindung dan pelayan kepada masyarakat.[4]
Polri memiliki tugas utama yaitu : menerima laporan dan pengaduan dari publik manakala terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan, melakukan penyaringan terhadap perkara – perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kepada Kejaksaan, melaporkan penyidikan ke Kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.[5] Untuk melaksanakan tugas tersebut diatas dapat dilaksanakan menurut ketentuan Undang – Undang Nomor : 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Segala ketentuan tentang pelaksanaan tugas dan fungsi Polri ini dalam penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Dalam bidang penegakan hukum pidana misalnya Polri senantiasa bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Apa yang akan dilakukan dalam menyelenggarakan proses hukum pidana, harus tunduk pada ketentuan KUHAP tersebut. Polri selaku penyelidik dan penyidik dalam menjalankan fungsi legislasinya tidak boleh bertindak semena-mena terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana. Selain kepentingan hukum yang harus dilindungi, Polri juga wajib menghormati hak asasi manusia yang melekat sebagaimana dalam KUHAP tersebut.
Profesionalisme polisi tidak terlepas dari peranan yang diharapkan oleh masyarakat tentang tugas pokok kepolisian (sebagai organisasi).[6] Secara formal hal ini dapat kita temukan dalam Bab III Undang-undang Nomor : 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 16. Akan tetapi bilamana ingin melihat bagaimana pandangan sederhana masyarakat terhadap tugas dan fungsi Polri tersebut maka hal ini akan mengacu pada dua fungsi yakni : Penegakan hukum dan penyelesaian masalah (conflict management).
Tugas-tugas di bidang represif, adalah mengadakan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran hukum menurut ketentuan dalam Undang-undang. Tugas represif ini sebagai tugas Kepolisian dalam bidang peradilan atau penegakan hukum yang dibebankan kepada petugas Kepolisian, sebagaimana dikatakan oleh Harsja W. Bachtiar, bahwa petugas-petugas Kepolisian dibebani dengan tanggungjawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani tindakan-tindakan kejahatan, baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku kejahatan maupun dalam bentuk upaya pencegahan kejahatan agar anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram.[7] Sedangkan dalam bidang preventif dilaksanakan dengan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat merasa aman, tertib, dan tenteram tidak terganggu segala aktivitasnya.[8]
Tugas preventif dan represif tersebut pada tataran tertentu menjadi suatu tugas yang bersamaan, oleh karena itu pekerjaan Polisi tidaklah mudah, pada suatu sisi dihadapkan pada struktur sosial dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, disisi lain dihadapkan pada struktur birokrasi dan hukum modern yang memiliki ciri rasional. Dengan demikian tugas-tugas Kepolisian menjadi dinamis yang berorientasi pada kepentingan dan perkembangan masyarakat, walaupun pada kenyataannya perkembangan masyarakat lebih cepat dari pola-pola penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan oleh Kepolisian, terutama bidang teknologi komunikasi dan informasi.[9]
Apakah peran dan fungsi polisi ?. Mengapa dalam masyarakat diperlukan polisi ?. Bagaimana citra polisi saat ini dimata masyarakat ?. Jawabannya akan  bervariasi, ada yang memberikan pendapat positif dan banyak pandangan negatifnya.[10] Jawaban yang dikemukankan oleh masyarakat tersebut pada umumnya berdasar pada citra polisi dalam cara pikir masyarakat yang belum tentu benar atau kebenarannya bersifat subjektif. Apa yang diyakini ataupun apa yang mata masyarakat merupakan produk kinerja polisi dalam menyelenggarakan  pemolisian.[11]
Polisi dalam menyelenggarakan pemolisian mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa, melakukan kontrol sosial, bahkan juga kewenangan diskresi.[12] Diskresi itu sendiri dapat diartikan kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yg dihadapi. Makna yang terkandung dalam kewenangan diskresi ini bagi polisi adalah dimana setiap anggota polisi dapat melakukan kewenangan diskresi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 Undang – Undang Nomor  : 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, yang berbunyi :
(1)   Untuk kepentingan umum Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 
Untuk mencegah tindakan sewenang – wenang atau arogansi petugas Kepolisian dalam menggunakan kewenangan diskresi, maka harus dibatasi oleh:[13]  
1.      Asas keperluan, tindakan harus benar-benar diperlukan misalnya menyetop jalur pemakai jalan walaupun lampu pengatur lalu lintas sudah hijau dengan mendahulukan iringan – iringan mobil pemadam kebakaran, Pejabat Penting, Mobil Ambulance walaupun waktu itu sudah merah.
2.      Tindakan yang diambil benar – benar untuk kepentingan tugas kepolisian. Misalnya petugas menutup hiburan malam pada waktu dan belum saatnya tutup (sesuai ijin instansi berwenang) karena ada informasi bahwa masyarakat sekitar sudah membuat rencana untuk merusak hiburan malam tersebut.
3.      Tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar (azas tujuan), misalnya dalam kasus kebakaran, Petugas Polri terpaksa merobohkan salah satu rumah demi menghentikan kobaran api meluas pada rumah penduduk lainnya. Dengan mengorbankan salah satu rumah tersebut maka menjalarnya kebakaran bias dicegah.
4.      Asas Keseimbangan
Dalam mengmbil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat dan tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat – ringannya suatu objek yang harus ditindak.
Kepolisian adalah penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Polisi pada hakikatnya merupakan hukum yang hidup, karena ditangan polisilah hukum dapat diwujudkan khususnya dalam bidang hukum pidana. Salah satu tujuan hukum yaitu menciptakan ketertiban dalam masyarakat, yang antara lain dilakukan dengan melawan kejahatan. Polisilah yang akan menentukan secara konkrit penegakan ketertiban yaitu siapa yang harus ditundukkan dan siapa yang harus dilindungi. Melalui Polisi, hukum yang bersifat abstrak ditransformasikan menjadi nyata. Dapat disebutkan bahwa, pekerjaan Polisi adalah penegakan hukum in optima forma, Melalui Polisi janji-janji dan tujuan hukum untuk mengamankan serta melindungi masyarakat menjadi kenyataan[14].
Dalam berbagai kasus yang diberitakan oleh media, baik cetak maupun elektronik seringkali memperlihatkan bagaimana anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya seringkali tidak mengindahkan prosedural yang ada dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sering pula diabaikan. Perlakuan yang sering dipertontonkan oleh Polisi tersebut diantaranya : Penangkapan yang tidak dilengkapi oleh surat penangkapan, ada pula mereka yang ditembak dengan jarak yang relatif dekat padahal tidak ada perlawanan, salah tangkap terhadap pelaku kejahatan, kekerasan terhadap tersangka untuk mendapatkan pengakuan, jebakan – jebakan untuk mendapatkan keuntungan tertentu, pemerasan di jalanan, beking perjudian dan lain sebagainya. Ini realitas perilaku polisi kita yang tanpa rasa malu dan dengan keangkuhan memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sumpah jabatannya sebagai pengayom dan pelindung rakyat. 
Di dalam pengungkapan suatu tindak pidana narkoba misalnya Polisi melakukannya dengan metode penyamaran (under cover) untuk mengungkap jaringan dan menangkap pelaku narkoba tersebut. Polisi dapat saja mendalilkan bahwa ini adalah suatu metode pengungkapan narkoba. Kejahatan narkotika ini sulit untuk pengungkapannya, karena peredarannya melibatkan banyak jaringan secara berlapis – lapis.[15] Akan tetapi disisi lain juga memberikan peluang penyimpangan oleh Polisi agar dapat dengan mudah mengkonsumsi narkoba tertentu juga. Bila ini yang diungkap dari Kepolisian tentu akan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi Polisi untuk mengungkap peredaran narkoba.
Terhadap berbagai kasus yang terdakwanya dibebaskan oleh pengadilan ternyata terdapat banyak tindakan sewenang – wenang yang dilakukan Polisi untuk memaksakan perkara tersebut menjadi sebuah berkas yang nantinya disidangkan di pengadilan. Seperti dalam kasus pembunuhan yang terdakwanya dibebaskan oleh Hakim yang menimpa Dhofir, Imam Hambali alias Kemat, dan Devid Eko[16] yang dipaksa untuk mengakui perbuatannya karena sudah tidak kuat menahan penyiksaan yang dilakukan oleh Polisi.
Kewenangan yang dimiliki oleh Polri tersebut seringkali terjadi penyalahgunaan oleh oknum anggota Polri. Seperti dalam kasus penembakan seorang anak di bawah umur di Makassar pada tanggal 08 Oktober 2014[17], penembakan anak usia 12 tahun yang ingin dibubarkan oleh Polri melalui tembakan juga di Makassar pada tanggal 5 Agustus 2014[18], penembakan warga di Semarang pada 15 Juni 2013[19]. Penembakan oleh Polri juga terjadi di Desa Limbang Jaya, Ogan Komering Ilir yang dilakukan oleh Brimob Polda Sumatera Selatan, dimana telah menewaskan Angga, bocah usian 12 tahun.[20]
Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976, disebutkan bahwa senjata api adalah salah satu alat dalam melaksanakan tugas pokok angkatan bersenjata di bidang pertahanan dan keamanan. Sedangkan bagi instansi pemerintah di luar angkatan bersenjata, senjata api merupakan alat khusus yang penggunaannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976 yang menginstrusikan agar para menteri (Pimpinan Lembaga Pemerintah) membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran tugasnya.
Sesungguhnya penggunaan senjata api haruslah sangat sensitif dan selektif, tidak disetiap kondisi penangangan kejahatan Polisi harus menunjukkan, menodongkan bahkan meletuskan senjata api miliknya. Dalam Pasal 2 Perkap Nomor : 01 Tahun 2009  Tentang  Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, dinyatakan bahwa tujuan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian adalah :  mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang sedang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, mencegah pelaku kejahatan atau tersangka melarikan diri atau melakukan tindakan yang membahayakan anggota Polri atau masyarakat, melindungi diri atau  masyarakat dari ancaman perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan luka parah atau mematikan, atau melindungi kehormatan kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau masyarakat dari serangan yang melawan hak dan / atau mengancam jiwa manusia.
Urgensi dari peraturan tersebut karena dalam melaksanakan tugas di lapangan sering dihadapkan pada situasi, kondisi atau permasalahan yang mendesak, sehingga perlu melaksanakan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan tetap menghormati / menjunjung tinggi hak asasi manusia.
            Penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian / korban / penderitaan yang berlebihan. Persoalannya adalah kapan dan bagaimana seharusnya anggota kepolisian memutuskan untuk menembak atau tidak menembak, atau kalau terlambat, mungkin mereka yang menjadi korban penembakan. Untuk mencegah terjadinya salah tafsir di lapangan peraturan Kapolri tersebut dijadikan acuan dalam melaksanakan tindakan hukum berupa kekuatan.
            Peraturan tersebut memuat arahan teknis serta tahapan prosedural bagi anggota Polri dalam melakukan tindakan kepolisian, termasuk penembakan yang merupakan tahapan paling akhir, dalam banyak kondisi, Polisi dalam menjalankan tugasnya tidak harus selalu memerlukan menggunakan kekuatan. Polisi diberi semua kewenangan yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tersebut yang tidak deberikan kepada badan lain.[21] Meski penggunaan kekuatan ini sah dilakukan seperti dalam penangkapan, pencegahan dan dalam menangani insiden-insiden terkait gangguan ketertiban umum.         
Salah satu kasus salah tembak oleh Kepolisian adalah penembakan yang terjadi di sebuah nagari kecil tepatnya di Pondok Ladang Sasok Rimbo Gadang Durian Sabuik – Tanjung Medan Jorong IV Koto Selatan Nagari Kinali Kecamatan Kinali Kabupaten Pasaman Barat. Peristiwa penembakan tersebut terjadi bermula dengan adanya laporan Polisi, dimana korban (tersangka dalam laporan polisi) telah dilaporkan oleh masyarakat lainnya dalam dugaan tindak pidana pengrusakan. Atas adanya laporan tersebut Terdakwa (polisi yang ditugaskan dalam penyidikan) melakukan penyidikan. Singkatnya terdakwa melakukan penangkapan terhadap korban. Dalam proses penangkapan tersebutlah terjadinya suatu penembakan yang tersebut.
Setelah menjalani serangkaian proses hukum akhirnya, terdakwa (Polisi) dijatuhi pidana penjara oleh Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.[22] Putusan pidana penjara terseut diterima dan dijalani sepenuhnya oleh Terdakwa. Selanjutnya korban dan keluarganya merasa dirugikan dengan adanya peristiwa penembakan oleh Polisi tersebut karena korban mengalami kelumpuhan seumur hidup. Sehingga keluarga korban mengajukan gugatan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri Pasaman Barat, yang oleh Pengadilan Negeri tersebut gugatan korban dikabulkan hingga proses Banding dan Kasasi serta telah pula berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) bahkan telah diajukan permohonan eksekusinya melalui Pengadilan Negeri Pasaman Barat tersebut. Namun sampai saat sekarang ini apa yang telah diputus oleh Pengadilan tersebut belumlah dapat dinikmati oleh korban yang semakin hari keadaannya sangan memprihatinkan. Entah apa yang menjadi kendala bagi Polri sehingga pemenuhan ganti rugi sebagaimana yang telah diputus oleh Pengadilan belum juga dilaksanakan dengan kesadaran hukum, padahal lembaga inilah yang seyogyanya ikut menjaga hukum itu sendiri.
Atas dasar latar belakang pemikiran itulah, fenomena ini menjadi daya tarik tersendiri untuk melakukan pengkajian dalam bentuk penelitian dengan judul: Pertanggungjawaban Polri Terhadap  Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban Mengalami Cacat Seumur Hidup (Studi Kasus Penembakan Iwan Mulyadi di Pasaman barat).
B.     Rumusan Masalah
Beranjak dari hal di atas maka dapat dirumuskan yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
                             1.    Bagaimana Pertanggungjawaban Polri Terhadap Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban Mengalami Cacat Seumur Hidup dalam Penanganan Perkara Pidana ?
                             2.    Bagaimana Pemberian Ganti Rugi sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Polri terhadap Kesalahan Prosedur yang dilakukan oleh Anggota Polri ?
                             3.    Apa yang menjadi hambatan dalam Pemberian Ganti Rugi terhadap korban Mengalami Cacat Seumur Hidup ?

C.     Tujuan Penelitian

Jika dilihat dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
                  1.    Untuk mengetahui Bagaimana Pertanggungjawaban Polri Terhadap Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban Mengalami Cacat Seumur Hidup dalam Penanganan Perkara Pidana
                  2.    Untuk mengetahui Bagaimana Pemberian Ganti Rugi sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Polri terhadap Kesalahan Prosedur yang dilakukan oleh Anggota Polri
                  3.    Untuk mengetahui Apa yang menjadi hambatan dalam Pemberian Ganti Rugi terhadap korban Mengalami Cacat Seumur Hidup
D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang penulis harapkan dalam penelitian ini adalah :
                       1.    Manfaat teoritis
a.       Secara teoritis mampu memberikan sumbangsih keilmuan bagi pembangunan dalam bidang hukum di Indonesia, khusnya Hukum Pidana mengenai Pertanggungjawaban Polri terhadap kesalahan Prosedur yang dilakukan oleh Personilnya.
b.      Menambah pengetahuan teoritis bagi orang – orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu hukum khususnya dalam institusi Polri.
                       2.    Manfaat Praktis
a.   Secara praktis manfaat penelitian hukum ini meliputi : memberikan sumbangan fikiran bagi pemangku kepentingan di bidang hukum tentang Pertanggungjawaban Polri Terhadap Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban Mengalami Cacat Seumur Hidup dalam Penanganan Perkara Pidana.
b.   Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi kalangan praktisi hukum dan politik pada lembaga – lembaga yang berkaitan seperti Pengadilan, Kepolisian, Legislatif dan masyarakat serta meningkatkan kesadaran hukum pihak – pihak yang berkepentingan.  
E.     Kerangka Teoritis dan Konseptual
                  1.    Kerangka Teoritis
A.     Teori Keseimbangan Kepentingan
                Pragmatisme Amerika, merupakan basis ideologi Pound tentang keseimbangan kepentingan. Seturut pragmatisme di negerinya tersebut cenderung menghindari konstruksi-konstruksi teori yang terlampau abstrak seperti umumnya teori – teori yang muncul di Eropa. [23]
                Bagi pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau ekslusif. Sebaliknya hukum itu mesti didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan- kepentingan yang saling bersaing. Dari uraian yang dikemukankan oleh Pound diatas tentu akan bermunculan pertanyaan tentang kepentingan-kepentingan mana sajakah yang dimaksud tersebut.                            Pound dalam uraian teorinya tersebut atau lebih dikenal dengan law as a tool of sosial engineering (alat untuk memperbarui atau merekayasa masyarakat) menyatakan kepentingan tersebut adalah kepentingan umum, sosial dan kepentingan pribadi.[24]
                Untuk memenuhi peranannya sebagai alat tersebut di atas, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut :[25]
a.    Kepentingan umum (publik interest)
1.   Kepentingan Negara sebagai badan hukum
2.   Kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b.   Kepentingan masyarakat (sosial interest)
1.    Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
2.    Perlindungan lembaga-lembaga sosial
3.    Pencegahan kemerosotan akhlak
4.    Pencegahan pelanggaran hak
5.    Kesejahteraan sosial
c.    Kepentingan pribadi (private interest)
1.    Kepentingan individu
2.    Kepentingan keluarga
3.    Kepentingan hak milik
                        Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal. Pertama   Pound mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering             dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai            jalan ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan            sosial (Rasjidi, 1990 :134). Memang, penggolongan kepentingan      tersebut sebenarnya melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh Von Jhering. Karena itu dilihat dari hal tersebut, Pound sebenarnya             dapat pula digolongkan sebagai penganut Utilitarianisme sebagai             penerus Jhering dan Bentham. [26]
                        Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-        premis hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang,      hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-            prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan perkataan lain klasifikasi itu membantu             menghubungkan antara prinsip (hukum) dan praktiknya. [27]  
B.     Teori Keadilan
                Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistim pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.[28] setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada kadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh lebih besar yang didapatkan orang lain.[29]
Aristoteles mengatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya.[30] Di sini ditunjukkkan bahwa seseorang berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil (Tasrif, 1987 : 97)
Terdapat dua macam keadilan menurut Aristoteles, yaitu : justitia distributiva (distributive justice, verdelende atau begevende gerechtigheid) dan justitia commutativa (remedial justice, vergeldende atau ruilgerechtigheid) .[31]
Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak dan jatahnya : suum cuique tribuere (to each his own).  Jatah ini tidak sama untuk setiap orangnya, tergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan sebagainya, sifatnya adalah proporsional. Sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya. Dalam pergaulan di dalam masyarakat justitia commutativa merupakan kewajiban kepada setiap orang terhadap sesamanya. Di sini yang dituntut adalah kesamaan. Adil yang dimaksud disini adalah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.
Dalam menggambarkan hubungan keadilan dan hukum, Aristoteles menjelaskan perlunya diselidiki perbuatan-perbuatan mana keadilan itu berhubungan dan di tengah perbuatan-perbuatan mana keadilan itu berada. Keadilan adalah sikap pikiran yang ingin bertindak adil, yang tidak adil adalah orang yang melanggarundang-undang yang tidak sepantasnya menghendaki lebih banyak keuntungan dari orang lain dan pada hakikatnya tidak mengingini asas sama rasa, sama rata. Segala sesuatu yang ditetapkan undang-undang adalah adil, sebab adil adalah segala sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan dalam masyarakat. [32]
Thomas Aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum (justicia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi : (1) keadilan distributif (jusititia distributiva), (2) keadilan komutatif (justitia commutativa), dan (3) keadilan vindikatif (justitia vindicativa).[33] 
Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Sebagai contoh, negara hanya akan mengangkat seseorang menjadi Hakim apabila orang itu memiliki kemampuan untuk menjadi hakim. Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakuan.[34]
Uraian tentang keadilan selanjutnya berasal dari John Rawls, yang dipandang sebagai teori keadilan paling komprehensif sampai saat ini. Teori keadilan John Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran utilitarianisme. Kekuatan utilitarianisme di arena keadilan ada dua [35]: (1) menyediakan – minimal secara teoritis – metode konkret untuk mengambil keputusan-keputusan yang sulit dan (2) menyadari pentingnya kebahagiaan atau kebaikan umum sebagai bagian dari teori keadilan.
Teori keadilan yang dikemukakan oleh Rawls tersebut banyak sekali dipengaruhi pemikiran Jeremy Bentham, J. S Mill, dan Hume yang dikenal sebagai tokoh-tokoh utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri lebih sering dimasukkan dalam kelompok realisme hukum. Rawls berpendapat perlu adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.[36] Bagaimana ukuran dari keseimbangan dari itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu perlu ada aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya.
Teori keadilan dari John Rawls sebenarnya sangat berorientasi pada ajaran-ajaran Immanuel Kant. Konsep dari John Rawls, justice as fairness bila ditelusuri lebih jauh sebenarnya juga berasal dari Aristoteles, yaitu ajaran keadilan distributive dan keadilan kumutatif. [37] ketika John Rawls menyatakan bahwa teori keadilan merupakan teori tentang sentiment moral, jelas bahwa sebenarnya teori keadilan dari John Rawls tersebut sangat bersifat psikologis. Di samping itu, dengan menyatakan justice as fairness, apa sebenarnya yang disebut dengan “fairness” itu. Menurut John Rawls fairness merupakan masalah moralitas manusia, sehingga teori keadilan dari John Rawls sebenarnya juga tidak dapat dipisahkan dengan masalah moral.
Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum itu normatif karena nilai keadilan. Hukum sebagai pengemban nilai nilai keadilan, menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Ia normatif karena berfungsi sebagai prasyarat trasedental yang mendasari tiap huku positif yang bermartabat.[38]    
2.      Kerangka konseptual
                        Kerangka konseptual dalam penelitian ini merupakan     gambaran hubungan antara konsep – konsep yang akan diteliti.          Konsep adalah ide atau pengertian yg diabstrakkan dari peristiwa          konkret[39]. Cara menjelaskan konsep adalah dengan definisi. Dalam            rangka mempermudah pembahasan dalam penelitian ini berikut         definisi operasional yang dimaksud dalam judul penelitian ini       sebagai berikut :
A.     Pertanggungjawaban
            Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tanggungjawab memiliki makna keadaan wajib menangung segala sesuatunya bila terjadi apa – apa boleh dituntut.[40] Bila kata tanggungjawab tersebut dijadikan pertanggungjawaban maka akan memberikan pengertian tentang suatu perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apakah perbuatan hukum itu termasuk dalam ranahnya hukum pidana maupun hukum perdata.
            Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. [41] Moeljatno mengatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”[42]. Dengan demikian untuk dapat seseorang tersebut dipertanggungjawabkan mustilah ada tindak pidana yang dilakukan.
            Pada penelitian ini ada dua pertanggungjawaban yang dilakukan yaitu : Pertanggungjawaban pidana sebagaimana telah diberikan kepada pelaku dalam hal ini Briptu Nofrizal, sedangkan pertanggungjawaban secara keperdataan terhadap institusi Kepolisian.
1.      Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
            Polri adalah suatu singkatan dari Kepolisian Republik Indonesia. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor : 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian sendiri berarti segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[43] Polri sebagai lembaga negara berfungsi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pengaturan tentang Polri ini dituangkan dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2.      Kesalahan Prosedur
      Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Prosedur diartikan tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas. [44] Atau boleh juga dikatakan prosedur ini adalah metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah. Hal tersebut diatas mengandung makna bahwa prosedur itu merupakan suatu standar dalam lingkungan pekerjaan tertentu yang telah diatur sedemikian rupa dalam menyelesaikan suatu jenis pekerjaan tertentu. Setiap lingkungan kerja memiliki prosedur dalam menyelesaikan pekerjaan tertentu. Kita dapat mengambil contoh dalam lingkungan kepolisian dimana untuk menggunakan kekuatan senjata api diberikan standar operasionalnya. Sehingga pelaksana prosedur ini tidak semena – mena dalam melakukan tindakaknya yang dapat merugikan orang lain.
     
      Kesalahan prosedur diartikan suatu perbuatan yang dilakukan dalam menjalankan pekerjaan atau aktifitas diluar ketentuan atau prosedural yang telah ditetapkan. Terhadap kesalahan prosedur yang dilakukan oleh orang tertentu pastinya memberikan konsekuensi terhadap mereka pula.

3.      Korban
            Korban secara harfiah dapat diartikan orang yang menderita akibat suatu kejadian atau peristiwa tertentu. Korban tindak pidana dapat juga dikatakan seseorang yang mengalami kerugian atas tindak pidana yang terjadi terhadapnya. Kerugian dalam hukum ini dapat dikategorikan atas kerugian materil dan kerugian immaterial.
            Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu, atau orang perorangan, tetapi juga bias berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum. [45] Apabila hendak menemukan upaya penanggulangan suatu kejahatan yang tepat, cara pandang kita sebaiknya tidak hanya terfokus pada berbagai hal berkaitan dengan penyebab timbulnya kejahatan atau metode apa yang efektif dipergunakan dalam penanggulangan kejahatan. [46] Namun hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami adalah masalah korban kejahatan itu sendiri yang dalam keadaan-keadaan tertentu dapat menjadi pemicu munculnya kejahatan. Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas kejahatan disebabkan korban seringkali memiliki peranan yang sangat penting bagi terjadinya kejahatan. [47]
            Perlindungan korban dalam proses peradilan pidana tentunya tidak terlepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif.[48] Perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini, berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan “in abstracto” secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak – hak asasi korban. [49]

4.      Cacat seumur hidup
            Dikatakan cacat seumur ini dapat diartikan bahwa cedera yang dialami oleh seseorang itu dideritanya sepanjang masa atau dalam jangka waktu yang lama. Dalam Kitab undang undang Hukum Pidana cacat seumur hidup ini dapat dianalogikan dalam bentuk luka berat. Hal – hal yang termasuk luka berat menurut Pasal 90 Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah (i) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut, (ii)  tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian, (iii) kehilangan salah satu pancaindera, (iv)  mendapat cacat berat, (v) menderita sakit lumpuh, (vi) terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih dan (vii) gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.[50] Bila kita kaitkan dengan objek penelitian makan kasus yang akan diteliti tersebut seyogyanya dapat kita kualifikasikan dalam penelitian ini.

C.     Metode Penelitian
            Dalam melaksanakan penelitian ini, metode yang digunakan oleh penulis dalam rangka memudahkan dalam pencarian data dan informasi yang diperlukan antara lain :

1.   Metode Pendekatan
            Dalam menjawab permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas digunakan pendekatan yuridis empiris atau sosiologis yaitu suatu pendekatan  yang bertitik tolak dari data primer,[51] sehingga nantinya penelitian ini dapat menggambarkan jawaban permasalahan secara cermat dan sistematis sehingga bersifat deskriptif  yaitu suatu penelitian yang  bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.[52]

2.   Jenis dan Sumber Data
Jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu:
a.      Data Primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan dari sumber terkait yang dilakukan dengan wawancara. Adapun data primer yang akan dikumpulkan adalah data tentang ganti rugi yang diberikan sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Pasaman Barat terhadap korban tersebut.   
b.      Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari beberapa literatur, dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, dan sumber-sumber kepustakaan lain yang mendukung. Data sekunder yang akan dikumpulkan adalah salinan resmi putusan Pengadilan, mulai dari tingkat pertama sampai pada tingkat kasasi.
Adapun sumber data dalam penelitian ini, yaitu:
a.      Sumber Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu sumber data lapangan sebagai salah satu pertimbangan hukum dari para penegak hukum yang menangani kasus ini dan masyarakat turut diresahkan akibat terjadinya tindak pidana ini.
b.     Sumber Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu sumber data yang diperoleh dari hasil penelaahan beberapa literatur dan sumber bacaan lainnya yang dapat mendukung penulisan skripsi ini.
            Guna menjawab permasalahan penelitian, diperlukan data yaitu kumpulan dari data-data, yang gilirannya membuat permasalahan menjadi terang dan jelas. Adapun data yang dibutuhkan adalah :

3.        Teknik Analisa Data
            Selanjutnya dengan telah dikumpulkannya sejumlah data tersebut baik primer maupun sekunder maka dilakukan analisis data secara kualitatif  yaitu dengan melakukan penilaian terhadap data yang ada dengan berbagai bantuan berbagai peraturan perundang – undangan, buku-buku atau makalah yang terkait serta pendapat sarjana yang kemudian diuraikan dalam bentuk kalimat. Berdasarkan penelitian tersebutmetode kualitatif bertujuan untuk menginterpretasikan secara kualitatif tentang pendapat dan atau tanggapan dari nara sumber kemudian mendeskripsikannya secara lengkap dan mendetail aspek – aspek tertentu yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya dianalisis untuk mengungkapkan kebenaran dan memahami kebenaran tersebut. [53]
D.    Sistematika Penulisan
            Dalam pembahasan tesis ini yang berjudul Pertanggungjawaban Polri Terhadap  Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban Mengalami Cacat Seumur Hidup (Studi Kasus Penembakan Iwan Mulyadi di Pasaman Barat), maka penulis memberikan uraian tentang ruang lingkup penulisan sebagai berikut :
BAB I             : PENDAHULUAN
            Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar     belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat          penelitian, metode penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II            : TINJAUAN PUSTAKA
                         Dalam Bab II diuraikan tentang Tinjauan Umum tentang Polri dan  Pertanggungjawaban Pidana, Tinjauan tentang pertanggungjawaban Polri terhadap kesalahan Prosedur yang mengakibatkan korban mengalami cacat seumur hidup dan Tinjauan umum tentang Ganti Rugi.
BAB III          : HASIL DAN PEMBAHASAN
                                    Bab ini berisi hasil penelitian yaitu tinjauan Pertanggungjawaban                         Polri Terhadap Kesalahan Prosedur Yang Mengakibatkan Korban Mengalami Cacat Seumur Hidup dalam Penanganan Perkara Pidana, Ganti Rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban Polri terhadap Kesalahan Prosedur dan Pelaksanaan Ganti Rugi terhadap Korban yang mengalami Cacat Seumur hidup.
BAB IV           : PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari apa yang penulis uraikan pada bab sebelumnya, kemudian penulis mengambil kesimpulan dari apa yang penulis uraikan itu dan juga merupakan saran dari keseluruhan bab dalam tulisan ini.


                [1] Budi Hatees, 2013. Ulat di Kebun Polri, Jakarta : Raih Asa Sukses, hlm 4
                [2] Ibid.
                [3]Supriadi, 2006, Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 133
                [4]Yoyok Ucuk Suyono, 2013, Hukum Kepolisian, Yogyakarta : Laksbang Grafika, hlm. 52
                [5]Tolib Effendi, 2013, Sistim Peradilan Pidana, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, hlm. 148
                [6]Mardjono Reksodiputro, 2014, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Jakarta : Komisi Hukum Nasional,  hlm 106.
                [7] Yoyok Ucuk Suyono, loc. Cit. hlm 5-6
                [8] Ibid, hlm. 6
                [9] Ibid
                [10]Chrishnanda Dl, 2009, Polisi Tidak Boleh Tidur dalam buku  Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani, Jakarta : YPKIK,  hlm. vii
                [11]Ibid
                [12]Ibid
                [13] Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di Lapangan, 2005, Jakarta : Mabes Polri, hlm 13
                [14]Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta Publising, hlm 11
                [15]Syaiful Rahman Al-Banjary, 2005, Hitam Putih Polisi dalam Mengungkap Jaringan Narkoba, Jakarta : Restu Agung dan PTIK Press, hlm 23
                [16]http://www.tempo.co/read/news/2008/09/01/055133099/Polisi-Siksa-Tiga-pembunuh-Asrori diakses tanggal 06 Januari 2015
                [17] http://radarmakassar.com/berita-774-polisi-tak-pantas-pegang-senjata.html diakses tanggal 11 Desember 2014 pukul 09.05 Wib
                [18] http://klikmakassar.com/2014/08/08/polisi-penembak-anak-12-tahun-diberi-sanksi-etik-pidana/ diakses tanggal 11 Desember 2014 pukul 09.14
                [19]https://id.berita.yahoo.com/ipw-jateng-sesalkan-oknum-polisi-tembak-satpam-40321624.html diakses tanggal 11 Desember 2014 pukul 09.20
                [20]Budi Hatees, loc. Cit. hlm 19
                [21]Satjipto Rahardjo, 2002, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial,  Jakarta : Kompas, hlm, 132 
                [22]Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping Nomor : 160/Pid.B/2006/PN.LBS
                [23] Bernard L.Tanya, Yoan. N. Simanjuntak dan  Markus Y. Hage, 2006, Teori Hukum,Surabaya : Kita, hlm. 127-128
                [24] Ibid
                [25] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1999,  Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hlm 129-130
                [26] Ibid
                [27] Ibid
                [28] John Rawls, 2011, Teori Keadilan Penerjemah Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm 3-4
                [29] Ibid, hlm 4
                [30] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op cit, hlm 154
                [31]Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Yogyakarta :  Liberty, hlm. 78  
                [32]Muhammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm. 224
                [33] Ibid, hlm 154
                [34] Ibid
                [35] Karen Leback, 1986, Teori-Teori Keadilan Penerjemah Yudi Santoso, Bandung : Nusa Media, hlm 49
                [36] Ibid hlm 159
                [37]Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum,Bogor : Ghalia Indonesia, hlm. 97  
                [38] Bernard L. Tanya, Yoan Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Loc. Cit, hlm. 107
                [39] http://kbbi.web.id/konsep, diakses tanggal 26 November 2014 pukul 09.49 Wib
                [40] Reyhan Virgirama dan Abdar Sulthon S, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta : Garda Media, 2012, hlm. 512
                [41] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju KepadaTiada Pertanggujawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana, 2008, hlm. 20
                [42] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hlm. 155
               
                [44]http://kbbi.web.id/konsep, diakses tanggal 11 Desember 2014 pukul 17.49 Wib
                [45]Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 33
                [46] Ibid. hlm. 33
                [47] Ibid. hlm. 34
                [48]Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 55
                [49] Ibid.

                [51]Soejono, 1999, Metode  Penelitian  Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 56
                [52]Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm. 36.
                [53]Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar