PIDANA PENJARA DAN PELAKU PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI
Oleh
: WARMAN PRIATNO, SH
BAB
I
PENDAHULUAN
Sepanjang
sejarah perdaban manusia selalu ada hukum yang dipatuhi untuk menjaga
ketentraman dan ketertiban umat manusia. Dimanapun manusia berada tidak akan
bisa hidup tanpa adanya hukum. Hukum itu sendiri bersifat mengatur sendi sendi
kehidupan masyarakat, karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang
selalu ingin berkumpul dan berhubungan dengan manusia lainnya. Sebagai makhluk
yang selalu ingin berinteraksi tentu diperlukan suatu kaidah bersama untuk
dipatuhi sebagai pedoman bersama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kaidah
itu dapat saja berupa tertulis ataupun tidak. Dalam mencapai kenyamanan dan
ketenangan hidup bersama sudah barang tentu ada kesatuan aturan untuk dipatuhi
dan ditaati secara bersama. Hukum adalah suatu kebutuhan untuk menjaga
ketentraman dan melindungi hak – hak masyarakat lainnya. Dengan adanya hukum
maka masyarakat akan merasa aman tanpa adanya ancaman dan gangguan dari
masyarakat lainnya.
Sudikno
Mertokusumo mengemukakan pengertian hukum itu : keseluruhan kumpulan peraturan
– peraturan atau kaidah – kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang
dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.[1]
Menurut
Prof. Dr. P. Borst hukum itu adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau
perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan
bertujuan mendapatkan tata atau keadilan [2] .
Dari
pengertian yang diungkapkan oleh ahli tersebut dapat dijalankan sebagai berikut
: 1. Hukum
itu merupakan peraturan atau norma yaitu petunjuk atau pedoman hidup yang wajib
ditaati oleh manusia artinya hukum bukan suatu kebiasaan. 2. Norma
hukum ditujukan pada kelakuan atau perbuatan manusia dalam masyarakat, dengan
demikian pengertian hukum adalah pengertian social. Dimana ada
masyarakat disitu ada hukum (ubi society ubi ius), sebaliknya dimana suatu
daerah tidak ada masyarakat maka hukumpun tidak akan ada disana. 3. Pelaksanaan
peraturan hukum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi,
berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan ganti rugi
bagi yang menderita.
Hukum
diadakan dengan tujuan agar menimbulkan tata atau damai yang lebih dalam lagi
yaitu keadilan di dalam masyarakat mendapatkan bagian dan kedudukan yang sama.
Dan akhirnya dapat terwujud / terlaksana adanya
“cuum ciuquo tribuere
(masing masing anggota masyarakat mendapatkan bagian yang sama). Hukum
diciptakan untuk melindungi kepentingan masyarakat secara universal. Manusia
yang beraneka ragam kebutuhan dan perilaku harus tunduk pada satu aturan yang
sama.
Penganut
aliran utilitarianisme yang dipelopori oleh Jeremy Bentham menganggap bahwa
tujuan hukum adalah memberikan kemanfataan dan kebahagiaan yang
sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat. Dengan adanya hukum ini masyarakat
harus mengambil manfaat secara bersama. Hal ini didasari oleh adanya falsafah
sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga masyarakat mendambakan kebahagiaan
dan hukum merupakan salah satu alatnya. Bentham berpendapat bahwa keberadaan
Negara dan hukum semata – mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki,
yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.[3]
Menurut
Gustav Radbruch, Einfuhrung indie Rechtwissenschaft,
Stuttgart, 1961 mengatakan bahwa hukum itu bertujuan :
1. Keadilan
untuk keseimbangan,
2. Kepastian
untuk ketepatan dan
3. Manfaat
untuk kegunaan [4].
Roscoe
Pound dengan teorinya hukum sebagai sarana social
engineering, bermakna penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai
tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan
perubahan yang diinginkan. Hukum, tidak lagi dilihat sekedar sebagai tatanan
penjaga status quo, tetapi juga
diyakini sebagai system pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara
terencana.[5]
Ilmu
hukum memiliki penggolongan mengenai hukum dengan berbagai sudut pandang, salah
satunya adalah hukum pidana. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang hukum
pidana tersebut penulis akan menguraikan sedikit pembahasan tentang pengertian
hukum pidana.
Hukum
pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang
mengadakan dasar - dasar dan aturan-aturan untuk : [6]
1. Menentukan
perbuatan – perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan
kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan –
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
3. Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hukum
pidana ini bertujuan untuk mencegah atau menghambat perbuatan-perbuatan
masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku, karena
bentuk hukum pidana merupakan bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku
disuatu negara. Hukum pidana dapat juga dibedakan juga atas hukum pidana
materil dan hukum pidana formil.
Hukum
pidana materil adalah peraturan atau norma hukum yang mengatur tentang
perbuatan perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana, dan apa
macam sanksi pidana yang dijatuhkan. Dengan kata lain hukum pidana materil
adalah keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur perbutan seseorang atau
badan yang dilakukan dengan salah dan melanggar huku pidana serta diancam
dengan sanksi pidana. Sedangkan hukum pidana formil (hukum acara pidana) adalah
keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana material.
Menurut
Prof. VAN HAMMEL, hukum pidana materil itu menunjukkan asas – asas dan
peraturan – peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman,
sedangkan hukum pidana formal menunjukkan bentuk – bentuk dan jangka – jangka
waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil. [7]
POMPE
mengatakan hukum pidana adalah semua peraturan hukum yang menentukan terhadap
perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macam-macam
pidana itu.[8]
Dari
beberapa uraian tentang hukum pidana diatas dapat dilihat bahwa hukum pidana
itu merupakan hukum publik yang mengatur antara hubungan Negara dengan warga
negarannya. Hukum pidana itu dapat juga diartikan sebagai suatu kaidah atau
norma yang mengatur tentang segala sesuatu yang dilarang dan perbuatan mana
yang dilarang tersebut bila dilanggar maka akan dikenakan sanksi berupa pidana
tertentu. Sebagian orang juga mengatakan hukum pidana ini identik dengan
criminal atau kejahatan.
Hukum
pidana merupakan sesuatu yang kita patuhi atau tidak kita patuhi dana apa yang
dituntut oleh ketentuan – ketentuannya dikatakan sebagai ‘kewajiban’. Jika kita
tidak patuh, kita dikatakan melanggar hukum, dan apa yang telah kita lakukan
merupakan sesuatu yang secara legal salah, suatu pelanggaran kewajiban, atau
sebuah kesalahan. Sebuag Undang – undang pidana memiliki fungsi social untuk
membentuk dan mendefenisikan jenis- jenis perilaku tertentu sebagai seusuatu yang
harus dihindari atau dikerjakan oelh orang – orang yang dikenainya, terlepas
dari keinginan mereka.[9]
Hukum
pidana ditujukan untuk mengatur kepentingan umum, karena sifatnya yang
ditujukan untuk kepentingan umum tersebut, maka fungsi hukum pidana adalah sama
dengan fungsi hukum pada umumnya yaitu : [10]
a. Mengatur
hidup kemasyarakatan
b. Menyelenggarakan
tata dalam masyarakat
BAB
II
PEMBAHASAN
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi tidak selalu memberikan dampak yang positif bagi
masyarakat. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ini seringkali membuat
persoalan baru ditengah masyarakat. Hukum terkadang belum mampu menyelesaikan
persoalan baru yang muncul akibat kemajuan zaman. Salah satu permasalahan yang
sangat krusial dalam masyarakat dewasa ini adalah penyalahgunaan narkotika.
Dimana – mana dinegeri ini masyarakat sudah biasa mendengar penyalahgunaan
narkotika. Tidak hanya remaja, orang tua, petani, pengusaha, pejabat bahkan
aparat penegak hukumpun bisa terjebak dalam jurang yang bernama narkotika.
Indonesia
saat ini tidak hanya sebagai daerah transit maupun pemasaran narkotika,
melainkan sudah menjadi daerah produsen narkotika. Hal ini dibuktikan dengan
terungkapnya pabrik - pabrik pembuatan narkotika dalam bentuk besar dari luar negeri ke Indonesia.
Karena saat ini letak Indonesia yang sangat strategis dan tidak jauh dari segi
tiga emas (Laos, Thailand, dan Myanmar) dan daerah bulan sabit (Iran,
Afganistan, dan Pakistan) yang merupakan daerah penghasil opium terbesar di dunia,
menjadikan Indonesia sebagai lalu lintas gelap narkotika. [11]
Penyalahgunaan narkotika di
kalangan masyarakat luas mengisyaratkan kepada kita untuk peduli dan
memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulangi, karena bahaya yang
ditimbulkan dapat mengancam keberadaan generasi muda yang kita harapkan kelak
akan menjadi pewaris dan penerus perjuangan bangsa di masa yang akan datang.
Narkotika menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan - golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang ini.[12]
Menurut pendapat Soerdjono
Dirjosisworo, narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi
yang menggunakannya dengan memasukkan ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa
berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau
timbulnya khalayan – khayalan. Sifat – sifat tersebut yang diketahui dan
ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan
kepentingan manusia dibidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit, dan lain –
lain.[13]
Dalam ketentuan undang
undang narkotika tersebut disebutkan bahwa narkotika itu hanya diperbolehkan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan. Pada posisi ini
narkotika diijinkan untuk dipergunakan. Untuk narkotika golongan I tidak
diperbolehkan dipergunakan dalam pelayanan kesehatan. Peruntukannya hanya untuk
pengembangan ilmu pengetahuan.
Penyalahgunaan terhadap
narkotika ini adalah seseorang yang menggunakan narkotika ini secara tanpa hak
atau melawan hukum. Kejahatan narkotika ini adalah suatu kejahatan yang
merugikan diri sendiri (victimless
crime). Kejahatan tanpa korban ini bukan berarti penyalahgunaan narkotika
ini menimbulkan korban secara kasat mata bagi orang lain, namun yang menjadi
korban tersebut adalah diri sendiri selaku pengguna narkotika tersebut. Penyalahgunaan
narkotika pada saat sekarang ini sudah sampai pada titik nadir dan sudah
membahayakan bagi bangsa Indonesia. Diberbagai media pada hari ke hari kita
selalu menyaksikan berapa banyak anak bangsa yang terlibat dan mati akibat
penyalahgunaan narkotika.
Para pelaku kejahatan ini
bermula dengan cara coba - coba sampai pada ketagihan atau ketergantungan.
Biasanya pada saat mencoba narkotika tersebut para pengedar akan memberikan
secara Cuma – Cuma kepada calon korbannya. Kemudian bila korban tersebut sudah
mulai ketergantungan disanalah korban tersebut disuruh untuk membelinya sampai
akhirnya orang tersebut ikut melakukan praktek peredaran gelap narkotika.
Narkotika bisa didibaratkan
sebagai mesin pembunuh yang
menewaskan sejumlah orang setiap harinya. Apa persoalan yang menyebabkan makin
hari kejahatan ini semakin banyak. Seolah – olah narkotika ini tidak dilarang
lagi. Apakah masyarakat kita tidak mengerti akan bahaya dari narkotika ini,
atau apakah karena ancaman hukumannya sudah tidak ditakuti oleh masyarakat,
atau penjatuhan pidana penjara bukanlah suatu solusi yang dapat membuat efek
jera bagi masyarakat, atau masih pentingkah untuk melarang penyalahgunaan
narkotika ?. ini tentu pertanyaan konyol yang mungkin dianggap sebagai suatu
yang gila. Akan tetapi untuk apa memberlakukan suatu ketentuan hukum bilamana
ketentuan itu tidak dipatuhi dan ketentuan hukum itu belum mampu memberikan
penyelesaian terhadap suatu problema di tengah – tengah masyarakat. Pelaku tindak
pidana narkotika sudah tidak takut lagi dijatuhi pidana penjara. Di seluruh
pelosok jagad raya ini masarakat menyatakan perang terhadap narkotika.
Narkotika ini telah merusak sendi kehidupan bangsa di seluruh dunia. Narkotika
telah menghancurkan generasi muda bangsa.
Modus operandi yang
dipergunakan oleh pelaku tindak pidana narkotika semakin hari semakin canggih.
Bila sebelumnya menganggut narkotika dengan menggunakan tas dalam kemasan
tertentu, sekarang sudah dilakukan dengan memasukkan ke dalam bagian tubuh
tertentu. Ada yang ditangkap membawa narkotika melalui tubuh binatang
peliharaan, ada juga yang ditangkap membawa narkotika dalam kemasan makanan
ringan, dan lain sebagainya. Ini membuktikan para pelakunya akan terus
mempelajari pla bagaimana mengelabui aparatur yang berwenang dalam memberantas
peredaran gelap narkotika ini. Menjalankan bisbis narkotika ini secara ekomomi
memang sangat menjanjikan. Dari berbagai pengakuan para pelaku peredaran gelap
narkotika ini menyatakan bahwa mereka dengan mudah untuk mendapatkan sejumlah
uang. Himpitan ekonomi jugalah yang seringkali membuat seseorang memilih jalan
pintas yang menyesatkan memasuki dunia hitam narkotika itu.
Menurut Hukum pidana
Indonesia ada 2 (dua) jenis pidana yang dapat dijatuhkan dalam tindak pidana
narkotika ini diantaranya :
1. Pidana
pokok
a. Pidana
mati
b. Pidana
penjara
c. Pidana
Kurungan
d. Pidana
Tutupan
e. Pidana
denda
2. Pidana
Tambahan
a. Pencabutan
hak – hak tertentu
b. Perampasan
barang – barang tertentu
c. Pengumuman
putusan hakim
Putusan hakim dalam berbagai
perkara – perkara pidana narkotika secara umum belum mampu untuk memberikan
efek jera bagi masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana narkotika. Para
pelaku tindak pidana narkotika tersebut semakin hari kuantitasnya malah semakin
banyak. Dalam berbagai kesempatan pemerintah melalui aparat – aparatnya selalu
memberikan penyuluhan dan sosialisasi akan bahaya narkotika. Dimana – mana
sekolahnya selalu ditanamkan untuk menjauhi narkotika. Baik itu berupa ceramah
– ceramah maupun melalui spanduk – spanduk, poster dan lain sebagainya. Media
pun tidak ketinggalan dalam mengkampanyekan akan bahaya narkotika. Lembaga
Swadaya Masyarakatpun sudah menjamur yang mengklaim anti narkotika. Organisasi
pemudapun di seluruh penjuru negeri ini menyatakan perang terhadap narkotika.
Namun narkotika makin diperangi makin menjamur tumbuhnya. Ibarat pepatah mati
satu tumbuh seribu.
Pidana penjara yang
dijatuhkan oleh hakim dalam perkara narkotika ini disamping dianggap tidak
mampu mengatasi persoalan peredaran gelap narkotika. Orang tidak takut lagi
masuk penjara karena mengkonsumsi narkotika. Maka dari itu perlu suatu
terobosan baru atau ketentuan yang lebih cerdas dalam rangka menyadarkan
masyarakat agar menjauhi narkotika ini.
Dalam undang undang
narkotika pelaku penyalahgunaan narkotika ini diatur dalam Pasal 127 yang
berisi :
(1) Setiap Penyalah Guna :
a) Narkotika
Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun ;
b) Narkotika
Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun ;
c) Narkotika
Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
(2)
Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3)
Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan
atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social.
Dari
ketentuan pasal tersebut diatas, bilamana seseorang yang secara nyata adalah
pengguna dan pencandu berat narkotika maka baginya wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi social sebagaimana termaktub dalam ketentuan pasal 54
Undang - Undang narkotika. Pemaknaan yang tersirat dari ketentuan rehabilitasi
diatas mewajibkan sesorang tersebut untuk menjalani rehabilitasi itu. Apapun
caranya, pemerintah wajib memfasilitasi mereka yang dimaksud dalam pasal
tersebut.
Persolan
muncul disaat semua orang diputus direhabilitasi oleh hakim. Pemerintah belum
mampu memberikan sarana dan prasarana bagi mereka yang telah diputus untuk
direhabilitasi tersebut. Apa yang terjadi ? pusat rehabilitasi dijadikan
komoditi oleh oknum – oknum yang tidak bertanggungjawab. Masyarakat tidak
sanggup untuk masuk rehabilitasi karena membutuhkan biaya yang banyak. Sehingga
para pengguna narkotika kembali menelan pil pahit menjalani pidana penjara.
Sehingga apa yang menjadi tujuan dari pembentukan undang – undang bagi pelaku
penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri ini tidak tercapai.
Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan pidana. Bagi
mereka yang telah terbukti melakukan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri
ini diberikan kesempatan dan fasilitas untuk direhabilitasi oleh Negara.
Artinya pemidanaan bagi mereka tidak dilaksanakan.
Hakim
dalam menjatuhkan putusan pidana tidak hanya terpaku pada kepastian hukum,
namun lebih dari itu kemanfaatan lebih penting untuk dijadikan pertimbangannya.
Sementara itu, akibat negatif yang ditimbulkan oleh pidana penjara yang sering
dilontarkan pada umumnya menyatakan, bahwa pidana penjara tidak hanya
mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat – akibat
negative terhadap hal – hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu
sendiri. Akibat negatif itu antara lain adalah stigma atau cap jahat yang akan
melekat pada diri terpidana sekalipun dia sudah tidak melakukan tindak pidana
lagi, terampasnya kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga sering
terjadi hubungan homo seksual dikalangan terpidana, terampasnya juga
kemerdekaan berusaha dari orang tersebut, yang mempunyai akibat serius bagi
kehidupan sosial ekonomi keluarganya. Akibat lain yang sering disoroti adalah
bahwa pengalaman penjara dapat menyebabkan terjadinya degradasi atau penurunan
derajat dan harga diri manusia. [14]
Ada beberapa teori pemidanaan yang dikenal dan
sangat banyak diterapkan yaitu :
1.
Teori Absolut atau Teori
Pembalasan
Teori absolut berpendapat
bahwa : “Negara harus mengadakan hukuman terhadap
para pelaku karena orang telah
berbuat dosa (quiapacratum)”.
Dalam bentuk yang asli, teori absolut berpijak
pada pemikiran pembalasan, yaitu prinsip pembalasan
kembali. Misalnya mata dengan mata, gigi dengan gigi, dan lain-lain. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum
pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang yang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang
harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk
memuaskan tuntutan keadilan. Vos membagi teori pembalasan atau absolut ini atas dua macam, yaitu, pembalasan subjektif merupakan pembalasan terhadap kesalahan pelaku dan pembalasan
objektif yaitu pembalasan terhadap apa
yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar.
2.
Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doeltheorie)
Teori
relatif berpendapat, "Negara menjatuhkan hukuman kepada penjahat sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Tujuan hukuman
itu adalah menakut-nakuti
seseorang dari melaksanakan perbuatan jahat”. Teori relatif ini dibagi menjadi dua ajaran, yaitu ajaran
prevensi umum (generate preventie) dan
prevensi spesial (special preventie). Dalam
ajaran prevensi umum, seseorang mungkin menjadi pelaku, harus ditakut-takuti dari perbuatan jahat, dengan ancaman hukuman. Ajaran prevensi spesial
memerhatikan agar pelaku yang
sekali telah dijatuhkan hukuman. Karena telah merasakan
sendiri, tidak akan cepat-cepat melakukan lagi suatu perbuatan jahat.
3.
Teori Gabungan (Gemengdetheorie)
Teori
gabungan berpendapat : “Biasanya hukuman memerlukan suatu pembenaran ganda. Pemerintah mempunyai hak untuk menghukum, apabila
orang berbuat kejahatan (apabila
seseorang melakukan tingkah laku yang pantas
dihukum) dan apabila dengan itu kelihatannya akan dapat mencapai tujuan yang bermanfaat”. Hak pemerintah menghukum penjahat yang melakukan kejahatan. Tujuannya adalah untuk memperbaiki dan
melindungi masyarakat.
Menentukan tujuan pemidanaan pada system peradilan menjadi
persoalan yang dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan
untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan
tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti
social. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil
dilakukan memerlukan formulasi baru dalam system atau tujuan pemidanaan dalam
hukum pidana. [15]
Pemidanaan merupakan ultimum remedium atau penyelesaian
terakhir atas suatu masalah, maka dalam menentukan pemidanaan menurut Memorie van Toelichting harus
diperhatikan keadaan obyektif dari tindak pidana yang dilakukan, sehingga
pemidanaan tidak hanya menimbulkan perasaan tidak nyaman terhadap pelaku (rechtguterverletzung), tetapi juga
merupakan treatment komprehensif yang melihat aspek pembinaan bagi terdakwa
sendiri untuk dapat sadar dan tidak akan mengulangi perbuatannya kembali dan
juga harus melihat implikasi sosial kemasyarakatannya dalam kerangka tujuan
pemidanaan yang preventif, edukatif dan korektif, sehingga mampu memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Sesuai
dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada
perlindungan masyarakat dari kejahatan (social defence) serta
keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan
kepentingan-kepentingan masyarakat, negara, korban dan pelaku, atas
dasar tujuan tersebut maka
pemidanaan harus mengandung
unsur-unsur yang bersifat
Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung
tinggi harkat dan
martabat seseorang,
Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar
sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap
jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan, Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan
tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum
maupun oleh masyarakat serta dapat memiliki efek
jera bagi masyarakat pada umumnya.
Bahwa selain harus cocok dan sepadan
dengan kesalahan pelaku tindak pidana (cq terpidana), pidana yang dijatuhkan
harus sesuai dengan keadilan. Dimana keadilan menurut ajaran “prioritas
baku” dari Gustav Radbruch harus selalu diprioritaskan, oleh karena itu
manakala hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan maka pilihan harus
pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan atau dan
kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. [16]
Bahwa tujuan penegakan hukum bukan
menerapkan hukum, melainkan mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman dalam
tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.
Karena itu, seyogyanya penegak hukum benar-benar memperhatikan “langkah-langkah
sosial” yang ditempuh dalam
menyelesaikan suatu pelanggaran
hukum.[17];
BAB III
PENUTUP
Hukum
adalah serangkaian aturan – aturan yang diciptakan dalam rangka mencapai
ketenangan, ketentraman dan keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Dengan
adanya kaidah hukum diharapkan dapat menyelesaikan persoalan – persoalan atau
fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Hakim selaku pejabat yudisial dalam
menerapkan aturan hukum diharapakan tidak sekedar menjadi terompet undang –
undang. Hakim adalah benteng terakhir dimana masyarakat akan menggantungkan
harapan dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Dalam
perkara penyalahgunaan narkotika juga demikian. Penjatuhan pidana penjara
terhadap seseorang telah melakukan penyalahgunaan narkotika bagi dirinya
sendiri bukanlah suatu solusi yang tepat dan cerdas dalam memberantas
narkotika. Dengan memasukkan orang sebanyak – banyaknya kedalam penjara tidak
akan mengurangi penyalahgunaan narkotika. Dibalik tembok penjarapun narkotika
masih bisa didapatkan dengan mudah.
Rehabilitasi medis dan sosial merupakan langkah efektif dalam
memberantas penyalagunaan narkotika secara perlahan – lahan. Mengobati suatu
penyakit yang telah akut tidak akan semudah mendatangkan penyakit tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[1] H.
Salim HS, SH. MS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum (Jakarta : Rajawali Pers,
2010) hal. 24
[2]
R.Soeroso, SH Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta
: Sinar Grafika, 1992) hal. 27
[3]
Prof. Dr. Zainuddin, MA, Filsafat Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) hal. 59
[4]
Muhamaad Erwin, SH.M.Hum, Filsafat Hukum (Jakarta
: Rajawali Pers, 2010) hal. 123
[5]
Dr. Bernard L.Tanya, SH.MH, Dr. Yoan. N. Simanjuntak, SH.MH, Markus Y. Hage,
SH. MH, Teori Hukum (Surabaya : CV.KITA, 2006) hal. 134
[6]
Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta : Rieneka Cipta, 2008)
hal. 1
[7]
Drs. P.A.F Lamintang, SH, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung : PT
Citra Aditya Bakti, 2011) hal. 10
[8]
Umar Said Sugiarto, SH. MS Pengantar
Hukum Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2012) hal. 235
[9]
H.L.A Hart, Konsep Hukum (Bandung : Nusamedia, 2010), hal. 43
[10]
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, SH. M. Si, Hukum Pidana (Jakarta : Rajawali Pers, 2011)
hal. 30
[11] Realizhar Adillah Kharisma Ramadhan, Skripsi Efektifitas
Pelaksanaan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
(Universitas Hasanuddin Makassar : 2013) hal. 2
[12]
Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
[13]
Timur Abimanyu, SH.MH, Perspektif Hukum Tindak Pidana Narkotik Menurut UU. No.
35 Tahun 2009 dan Tinjauan Hukum Terhadap Jenis Katinon Dalam Kategori Narkotik
Serta Analisis Hukumnya, Varia Peradilan No. 336 November 2013, Mahkamah Agung
Republik Indonesia, hal. 32
[14]
Shinta Agustina, SH.MH dan Yusrida, SH, Penerapan Pidana Jangka Pendek dalam
Kerangka Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Unand, No. 11 Tahun
IX/2002. Hal 11
[15]
Hodio Potimbang, S.IP, SH. MH, Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Narkotika Dalam Sistim Peradilan Pdana, Varia Peradilan No. 336 November
2013, Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal. 59
[16]
Prof. Dr. Achmad Ali, SH.MH, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicialprudence), (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup : 2009)
hal. 288
[17] Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL, Restorative Justice (suatu perkenalan), Varia Peradilan Nomor 247
Juni 2007, Mahkamah Agung Republik Indonesia