Senin, 17 November 2014

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA



PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA


PENDAHULUAN
 
Pembuktian terbalik di dalam masyarakat dikenal sebagai suatu bahasa yang dengan mudah dicerna sebagai salah satu sarana hukum dalam pemberantasan korupsi. Dalam sistem pembuktian terbalik yang bermakna “pembalikan beban pembuktian”,  orang yang dituduh melakukan korupsi berkewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan tidak hanya pada penuntut umum, dimana Jaksa Penuntut Umum yang harus membuktikan kesalahan terdakwa.   Namun,  mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan kepada terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal awam dengan istilah “pembuktian terbalik”.

Istilah “Pembuktian Terbalik,” tanpa meletakkan kata “beban” maka makna yang terkandung dalam istilah tersebut akan menjadi berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa sehingga secara harfiah hanya melihat tata urutan alat bukti saja. Namun demikian secara normatif dalam Penjelasan Pasal 38 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001, masih menggunakan istilah “pembuktian terbalik” sebagai istilah yang tidak tepat dalam permasalahan pengalihan beban pembuktian ini.

Wacana penggunaan sistem pembalikan beban pembuktian dalam penanganan tindak pidana korupsi muncul kembali pada masa-masa awal  lahirnya orde reformasi, sekitar tahun 2000-2001.  Walaupun sebenarnya, bangsa Indonesia telah mengenal pembalikan beban pembuktian sejak 1960, tepatnya dalam UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dimana dalam Pasal 5 ayat (1) ditegaskan bahwa Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa.

Dalam pembahasan terhadap revisi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, para pakar hukum pun saling berbeda pendapat. Bagi sebagian pakar hukum menolak  penerapan sistem pembalikan beban pembuktian, karena sistem tersebut potensial akan terjadi pelanggaran HAM, bertentangan dengan asas-asas hukum pidana, misalnya  asas  tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination), asas hak untuk diam (right to remain silent) serta asas praduga tidak bersalah (presumption of  innocence). Di samping itu, sistem pembalikan beban  pembuktian  juga  bertentangan dengan prinsip pembuktian yang dianut KUHAP, yaitu  terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian tetapi dibebankan kepada penuntut umum, dan  hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah. 

Pandangan sebaliknya juga diungkapkan oleh para pakar hukum pidana, dimana perlunya penerapan sistem pembalikan beban pembuktian bertitik tolak pada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber kemiskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktianya. Ditinjau dari aspek HAM, penerapan sistem pembalikan beban pembuktian tidak melanggar HAM, karena Indonesia dapat diperbandingkan dengan dianutnya asas retroactive berkaitan dengan pelanggaran HAM berat  (gross violation of human right) yang pada dasarnya juga bertentangan dengan asas-asas umum hukum pidana terutama pada asas legalitas. Selanjutnya dikatakan bahwa penerapan asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi tidak bertentangan dengan KUHAP karena di  dunia hukum dikenal asas deuitzonderingen bevestigen de regel (perkecualian memastikan aturan yang ada). [1]

Andi Hamzah, seorang pakar hukum pidana menyatakan, pembalikan beban pembuktian memang sangat baik diterapkan untuk menjerat para koruptor. Namun dalam prakteknya apabila diterapkan secara mutlak akan mengakibatkan ketidakadilan, karena di Indonesia khususnya kesadaran untuk melakukan pencatatan secara tertib terhadap penghasilan yang diperoleh masihlah rendah. Andi Hamzah mencontohkan ketika terjadi “perdebatan” dengan Baharuddin Lopa (Menteri Kehakiman dan HAM) dalam Tim Revisi UU No. 31 Tahun 1999, dimana ia mempertanyakan apakah semua penghasilan Pak Lopa untuk membeli mobil Soluna yang dimilikinya, semuanya tercatat lengkap dengan tanda terimanya. Prof. Baharuddin Lopa menyatakan tidak lengkap.  Andi Hamzah pun langsung menyatakan, dengan demikian penyidik bisa memeriksa Lopa dengan dugaan korupsi.

Contoh lainnya yang masih hangat adalah bagaimana proses upaya paksa yaitu tindakan penyitaan yang dilakukan oleh tersangka kasus korupsi Tubagus Chairi Wardhana (wawan) dimana bermula dengan dugaan pemberian suap terhadap mantan Ketua MK Akil Mukhtar. Selanjutnya dilakukan penyitaan secara membabi buta oleh KPK terhadap harta benda miliknya. Kemudian dia diminta untuk membuktikan harta benda yang dimilikinya. Hal ini tentu ironis sekali. Seorang pengusaha yang telah bertahun – tahun menjalankan usahanya sudah barang tentu memiliki keuntungan dengan pekerjaan dan bidang usahanya tersebut.  Artinya penerapan sistem pembuktian terbalik harus diikuti dengan pembangunan sistem pencatatan penghasilan yang  cermat, jelas dan lengkap agar tidak terjadi ketidakadilan, bahwa manusia seperti Baharuddin Lopa pun dapat disidik korupsi karena ketidakcermatan semata.[2]

Pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 37, 37 A dan 38 B UUPTPK, dapat dikelompokan ke dalam tiga (3) pendekatan terkait beban pembuktian yaitu:
a.             Beban Pembuktian Pada Penuntut Umum (Vide Pasal 37 UUPTPK)

Ketentuan Pasal 66 KUHAP jo. Pasal 37 UUPTPK merupakan landasan bahwa beban pembuktian tetap berada di pundak Penuntut Umum.  Pasal 66 KUHAP menegaskan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.  Namun demikian penuntut umum tidak memiliki hak tolak atas hak yang diberikan undang-undang kepada terdakwa untuk menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah (Pasal 37 UUPTPK), namun tidak berarti penuntut umum tidak mempunyai hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya.

Apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,  tidak  berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaanya.  Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik terbatas, karena penuntut umum masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Konsekuensi logis teori pembuktian terbalik terbatas ini, ialah bahwa penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab  jika tidak demikian akan kesulitan untuk meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.

b.             Beban Pembuktian Terbatas Pada Terdakwa
Dalam sistem beban pembuktian ada para terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 37 UUPTPK). Oleh karena itu,  terdakwalah di depan sidang pengadilan yang harus menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.  Rumusan Pasal 37 ayat (2) UUPTPK, yang menyatakan “Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,....” pada asasnya juga bukan beban pembuktian di pundak Terdakwa secara murni, karena bersifat fakultatif artinya Terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa dakwaan Penuntut Umum adalah tidak benar. Dengan demikian Penuntut Umum tetap membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
Hal-hal hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa dalam menggunakan haknya, yaitu:
(1)          Untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum (Pasal 37 ayat (2) UUPTPK).
Tindakan Terdakwa membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi merupakan tindakan pembelaan untuk dirinya yang telah diakui oleh UU, namun bukan berarti suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa penuntut umum wajib membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
(2)          Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami (jika terdakwa perempuan), anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.  (Vide Pasal 37 A UUPTPK).

Dalam rumusan ini, terkait asal-usul harta kekayaan merupakan norma hukum yang bersifat imperatif, artinya seorang Terdakwa harus menjelaskan asal usul harta yang dimilikinya. Oleh karena itu, seorang terdakwa wajib mencari keterangan tentang asal-usul perolehan hak atau asal-usul pelepasan hak. Perolehan/pelepasan hak itu mengenai kapan,bagaimana,dan siapa saja yang terlibat dalam perolehan/pelepasan hak itu serta mengapa dan sebab-sebab apa perolehan atau peralihan itu terjadi.

Dikaji dari perspektif teoritis dan praktis, teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembuktian terbalik yang bersifat terbatas (limited burden of proof), karena walaupun terdakwa berkewajiban untuk memberi keterangan asal-usul harta kekayaannya, tetap saja Penuntut Umum juga harus membuktikan hal tersebut.
(3)         Terdakwa wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga berasal dari tindak pidana korupsi, dan apabila terdakwa  tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut bukan diperoleh bukan karena tindak pidana, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana dan hakim dapat memutuskan dirampas untuk negara.  (Vide Pasal 38 B UUPTPK).

Rumusan beban pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam UUPTPK baik dalam hal tindak pidananya dan asal usul hartanya, dapat dikatakan sebagai pembalikan beban pembuktian secara terbatas, namun sebenarnya dalam konkretisasinya adalah baik penuntut umum maupun terdakwa dan/atau penasihat hukumnya saling membuktikan sebaliknya. Asas beban pembuktikan ini dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian berimbang yang secara tegas telah diatur dalam rumusan pasal-pasal UUPTPK.

Dalam tataran praktis menempatkan pelaku dalam kaitan dengan perbuatan atau kesalahan tidak boleh mempergunakan asas beban pembuktian terbalik melainkan tetap mempergunakan sistem pembuktian negatif berdasarkan undang-undang (negatief wetelijk bewisj atau beyond reasonable doubft) oleh karena perlindungan terhadap hak individu harus tetap mendapat prioritas. Namun secara bersamaan asas pembalikan beban pembuktian dapat dilakukan terhadap pelaku korupsi,mengingat hak asasi individu atas harta kekayaan dipandang bukan sebagai hak absolut,melainkan hak relative.[3]

Dalam praktek peradilan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara terdakwa Kompol AE yang didakwa melanggar Pasal 5 atau Pasal 11 UUPTPK, di depan persidangan secara terang menanyakan kepada Terdakwa tentang berapa besar penghasilannya dalam periode tertentu. Atas pertanyaan-pertanyaan Penuntut Umum itu, Hakim yakin bahwa penghasilan Kompol AE tidaklah mungkin dapat membeli mobil fortuner secara sah. Akhirnya Majelis Hakim memutuskan barang bukti mobil fortuner dirampas untuk negara, karena Terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa mobil itu diperoleh dari penghasilan yang sah.

Kasus tersebut membuktikan bahwa pengaturan dalam UUPTPK terkait beban pembuktian juga dapat efektif diterapkan asal Penuntut Umum berani dan aktif membuktikan tentang rasionalitas penghasilan dengan harta benda yang dimiliki terdakwa. Dan perlu diketahui bahwa harta benda milik Kompol AE menurut pembelaannya berupa bukti fotokopi pembelian mobil dan beberapa saksi diperoleh sebelum tindak pidana korupsi yang didakwakan tersebut dilakukannya.

I.               PENGATURAN DAN PRAKTEK SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) mengatur dalam Pasal 78 sebagai berikut:
(1)          Dalam hal pemeriksaan di sidang Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77,  hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1).
(2)          Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pembalikan beban pembuktian yang dianut UUTPPU secara tegas telah membebankan kepada terdakwa walaupun hanya sebatas terkait dengan harta kekayaan yang terkait dengan perkara. Artinya dalam kaitan ini Penuntut Umum tidak perlu membuktikan harta kekayaan terdakwa yang disita berasal atau terkait dengan tindak pidana, tetapi cukup menunjukan di muka persidangan dan meminta kepada hakim untuk memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana.

Rumusan dalam UUTPPU ini dalam prakteknya efektif dan mempermudah penyidik maupun penuntut umum. Hal tersebut dapat dilihat dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama terdakwa Bahasyim dan juga atas nama Gayus HP Tambunan. Hanya saja dalam kasus Bahasyim dan Gayus, Penuntut Umum terlebih dahulu dapat membuktikan predicate crime-nya, walaupun uang yang telah disita jauh melebihi dari yang dapat dibuktikan sebagai hasil tindak pidana asal.

Dalam kasus Bahasyim Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa Bahasyim telah menerima transfer dari KM sebesar Rp. 1 M merupakan tindak pidana korupsi, sedangkan uang yang lainnya dalam rekening atas nama Bahasyim dan keluarganya sejumlah kurang lebih Rp. 60 M dibebankan pembuktiannya kepada Terdakwa bahwa uang tersebut bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana. Pada kenyataannya, pembuktian yang dilakukan oleh Bahasyim tidak diterima oleh Majelis Hakim, maka hakim pun memutuskan atas uang tersebut dirampas untuk negara. Perkara ini sudah inkrach berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung R.I. Nomor 1454/K/Pidsus/2011, namun saat ini Bahasyim mengajukan Peninjauan Kembali.

Demikian juga dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang atas nama Terdakwa Gayus HP Tambunan. Dalam perkara ini Penuntut Umum dapat membuktikan predicate crime-nya yaitu Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan terkait dengan PT. SAT. Oleh karena itu, Terdakwa Gayus HP Tambunan diberikan beban pembuktian terhadap uang sebesar kurang lebih Rp. 74 M yang disimpan dalam safety box atas namanya. Pembuktian yang dilakukan oleh Gayus HP Tambunan pun tidak diterima oleh Majelis Hakim, oleh karenanya uang tersebut diputus dirampas untuk negara. 

Rumusan dalam UUPTPK maupun UUTPPU terkait pembalikan beban pembuktian selalu menggunakan kata penunjuk “Terdakwa”, maka lazimnya dalam istilah yuridis kata tersebut menunjukkan bahwa tahap penanganan perkara adalah dalam tahap penuntutan/persidangan bukan pada tahap penyidikan yang sering digunakan dengan menggunakan kata penunjuk “Tersangka”

Rumusan undang-undang yang demikian memunculkan permasalahan apakah Tersangka juga dapat membuktikan terkait asal-usul harta kekayaannya dalam tahap penyidikan, demikian juga Penyidik apakah dibenarkan memeriksa tersangka dengan mempertanyakan tentang harta kekayaan yang dimilikinya.

Dalam praktek, seringkali penyidik kejaksaan khususnya juga berusaha untuk mengungkap terkait asal-usul harta kekayaan Tersangka dengan cara menanyakan secara langsung ataupun menelisik harta benda yang dimiliki tersangka. Namun, penyidik akan terhenti apabila tersangka menolak menerangkan terkait harta benda yang dimilikinya.


[1]     JE. Sahetappy , <www.komisihukum.go.id> , 2 Februari 2012, diakses  [5 Juli 2012]
[2]     Denny Kailimang dalam Hendro Dewanto dkk, Apa dan Siapa Baharuddin Lopa: Sketsa Perjalanan Seorang ‘BARLOP’ Pendekar Hukum dan Keadilan Indonesia, Jakarta: Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, 2012, hlm. 250-251
[3]     Lilik Mulyadi,Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Bandung PT.Alumni, 2007, hlm.3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar