POLITIK KRIMINAL DALAM
PENEGAKAN HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI
I.
PENDAHULUAN
Karakteristik hukum yang bertujuan untuk membatasi tingkah laku manusia
melalui seperangkat aturan-aturannya, seharusnya dapat membatasi kekuasaan
politik agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan.
Begitu pula sebaliknya, kekuasaan politik juga seharusnya menunjang terwujudnya
tujuan hukum yang hakiki, dalam bentuk pemberlakuan dan pemberian sanksi secara
proporsional dan berkeadilan sehingga tidak menimbulkan resistensi dari
berbagai pihak. Inilah sejatinya hubungan ideal antara hukum dengan kekuasaan
politik, yang keduanya saling melengkapi dan memperbaharui dalam rangka
mewujudkan keadilan yang didasarkan pada kepastian hukum dan dirasakan
manfaatnya bagi masyarakat. Meskipun dalam realitasnya, sebagaimana dikemukakan
Gustav Radbruch
antara tujuan hukum berupa keadilan (justice),
kepastian (legality) dan kemanfaatan
(utility) kerapkali terjadi “spannung verhaltnis”, yang antara ketiga
tujuan hukum itu saling menggeser dan melemahkan.[1]
Politik kriminal dalam penegakan hukum tidak semata-mata
menunjukkan adanya interaksi antara hukum dengan kekuasaan politik, tetapi
sejatinya merupakan pilihan kebijakan yang seharusnya dilakukan dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Sebagai
sebuah tindakan yang rasional dalam rangka menanggulangi kejahatan, maka dalam
rangka melakukan pilihan kebijakan itu seharusnya juga menggunakan cara-cara
yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, Sudarto menggunakan terminologi politik
kriminal dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu : [2]
a.
Keseluruhan
asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang
berupa pidana;
b.
Keseluruhan
fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari
pengadilan dan polisi;
c.
Keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang
bertujuan untuk menggerakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Perlunya
penggunaan sarana hukum pidana secara proposional dalam penanggulangan kejahatan,
dengan tetap memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle), serta kemampuan daya kerja aparat
penegak hukum[3]. Jangan sampai waktu, tenaga, infrastruktur dan
biaya yang telah dikeluarkan dalam jumlah yang besar, tidak sebanding dengan
hasil yang diinginkan bahkan menjadi kontra-produktif. Jangan pula penggunaan
hukum pidana membebani kapasitas institusional di luar batas kemampuannya (overbelasting), sehingga pada akhirnya
dapat memunculkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak
hukum.
Prinsip ini sebagai salah satu bentuk pembatasan dalam kerangka penegakan hukum, karena karakteristik sanksi pidana itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan Herbert L. Packer[4] terkadang sebagai penjamin utama (prime guarantor). Akan tetapi pada sisi yang lain dapat pula menjelma sebagai pengancam utama terhadap kebebasan manusia (prime threatener of human freedom).
Produk legislasi memegang peranan penting dalam proses penegakan hukum secara keseluruhan, tidak lain karena pembuat undang-undang yang menentukan terlarang atau tidaknya suatu perbuatan tertentu. Apabila suatu perbuatan tertentu telah diklasifikasikan sebagai perbuatan terlarang dan dirumuskan sebagai tindak pidana, maka pelanggaran terhadapnya dapat mengakibatkan pengenaan sanksi bagi pelakunya.
Mengingat pentingnya peran produk legislasi, maka pembuat undang-undang harus memahami benar asas-asas hukum yang dapat mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Apakah penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana telah dipikirkan secara rasional, dengan maksud untuk dapat menghormati kebebasan dan tanggungjawab individu sekaligus juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan sebagai akibat dari perbuatan jahat. Untuk itu penetapan sebuah perbuatan terlarang dalam produk legislasi, harus sejalan dengan tujuan perlindungan masyarakat secara keseluruhan.
Faktor penting lainnya dalam politik kriminal, terkait persoalan implementasi ataupun penegakan peraturan perundang-undangan dalam kehidupan sehari-hari. Efektifitas sebuah produk legislasi akan banyak juga ditentukan pada seberapa jauh implementasi peraturan perundang-undangan itu diterapkan secara konsisten. Apabila terdapat kecenderungan menguatnya sikap resistensi terhadap produk legislasi tersebut, maka sudah selayaknya dilakukan review secara komprehensif sehingga norma hukum positif dapat sejalan dengan dinamika sosial dan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Oleh karenanya, saya mengartikan pengertian politik kriminal secara luas, tidak hanya dalam tataran legislative drafting melainkan juga mencakup legal executing dan legal review.[5]
Mencermati pemahaman tersebut di atas, maka politik kriminal dalam penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari tiga subsistem hukum, yang menurut Lawrence M. Freidman[6] disebut sebagai substance, structure and culture. Oleh karenanya bagian penting dari politik kriminal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sejatinya melingkupi kebijakan formulatif, kebijakan aplikatif dan kebijakan eksekusi.
Isu
utama dalam politik kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia,
yaitu membangun rezim hukum dan perundang-undangan yang memperkuat upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih efisien dan efektif. Salah
satu bentuk penguatan rezim hukum antikorupsi, diantaranya dengan melakukan
evaluasi terhadap instrument-instrumen hukum terkait, sebagai refleksi dan
pencerminan dari kemauan politik negara (political
will) dan politik hukum nasional.
Berkaitan dengan konsepsi politik hukum nasional, maka menurut Bagir Manan terdapat 2 (dua) pemahaman yang terkandung di dalamnya, yaitu mengenai politik hukum itu sendiri dan pemahaman mengenai politik perundang-undangan. Pemahaman mengenai politik hukum, maka di dalamnya menyangkut suatu kebijaksanaan yang akan dan sedang ditempuh mengenai penentuan isi hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum, beserta segala unsur yang menopang pembentukan dan penegakan hukum tersebut. Sedangkan pemahaman mengenai politik perundang-undangan, terkait dengan cara-cara penentuan asas dan kaidah perundang-undangan beserta bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan.[7]
Salah satu asas penting dalam penegakan hukum pidana, yaitu asas subsidairitas yang mengedepankan upaya atau cara lain sebelum diterapkannya hukum pidana.[8] Asas subsidairitas dalam hukum pidana tercermin dari adagium ultimum remmedium, dimana hukum pidana merupakan obat terakhir sebagai pencegahan dan penanggulangan dan kejahatan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Bertolak dari pemahaman itu, maka sesungguhnya terdapat 2 (dua) masalah sentral dalam politik perundang-undangan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.[9] Kedua masalah sentral itu menyangkut: (1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana korupsi; dan (2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Terkait persoalan sentral yang pertama, secara tegas UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) menyatakan bawa delik korupsi merupakan delik formal. Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK menyatakan, adanya delik korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Oleh karenanya, pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menjadikan halangan untuk mengajukan ke pengadilan dan memberikan sanksi terhadap pelaku korupsi (Pasal 4 UU PTPK).
Salah satu ciri khas UU PTPK sebagai hukum positif di Indonesia, menentukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dianggap sebagai delik korupsi (Pasal 2 dan Pasal 3). Dikatakan sebagai ciri khas UU PTPK, karena di dalam perundang-undangan di berbagai negara tidak mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian sebagai unsur tindak pidana korupsi. Begitu pula halnya dengan United Nations Convention Against Corruption (UN CAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia sejak tanggal 18 April 2006 melalui UU No. 7 Tahun 2006, tidak mencantumkan kerugian keuangan negara sebagai unsur tindak pidana korupsi.
Mencermati politik perundang-undangan seperti itu, dapat menimbulkan berbagai persoalan dan polemik dalam penegakannya. Terlebih lagi dengan munculnya paket perundang-perundangan di bidang keuangan negara, seperti UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Demikian pula halnya dengan diberlakukannya berbagai perundang-undangan lainnya, seperti halnya UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang juga mengatur dan merumuskan terminologi tentang keuangan negara.
Beragamnya terminologi keuangan negara di dalam berbagai produk legislasi tersebut, telah menimbulkan polemik dalam memandang keuangan BUMN ketika terjadinya fraud yang menimbulkan kerugian pada BUMN yang bersangkutan. Terlebih dengan adanya UU No. 40 Tahun 2009 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yang kerapkali dijadikan dasar dan alasan dari sebagian pihak untuk membedakan antara BUMN persero dengan BUMN dalam bentuk lainnya (Perjan dan Perum). Bahkan polemik itu tidak hanya terjadi dalam tataran akademis semata, melainkan juga telah merambah dalam praktik penegakan hukum di tanah air.
Pada sisi yang lain, unsur kerugian keuangan negara dalam rumusan delik korupsi justru menunjukan adanya ketidaksamaan perlakuan (unequal treatment) antara BUMN dengan perusahaan swasta khususnya ketika terjadinya penyimpangan yang mengakibatkan kerugian perseroan. Padahal di dalam standar internasional sebagaimana yang dirumuskan UN CAC Tahun 2003, lebih banyak mengatur korupsi di sektor swasta termasuk delik suap (bribery).
Tidak dimasukkannya unsur kerugian keuangan negara dalam rumusan delik korupsi, dimaksudkan untuk dapat mengeliminir berbagai polemik yang terjadi dalam penegakan hukum. Di samping itu, banyak penyimpangan dan penyalahgunaan jabatan yang tidak secara langsung merugikan keuangan negara, tetapi merugikan aktivitas ekonomi dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Dalam kasus penyuapan misalnya, bukan keuangan negara yang dirugikan secara langsung tetapi dapat menjadikan ekonomi biaya tinggi dan membuat daya saing para pelaku ekonomi menjadi lemah serta harga barang lebih mahal dari yang seharusnya. Biaya yang harus ditanggung oleh perilaku suap itu, pada akhirnya memberatkan masyarakat yang tidak mempunyai akses politik maupun sumber daya ekonomi yang memadai.
Memahami problematika hukum dalam praktik penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, maka diperlukan perubahan mind set yang tidak lagi menjadikan kerugian keuangan negara sebagai unsur pokok dari delik korupsi. Melalui perubahan sikap dan cara pandang seperti itu, diharapkan pemberantasan korupsi akan semakin meluas, dirasakan lebih adil dan lebih terfokus pada hakikat korupsi sebagai kejahatan yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, harus dibarengi dengan kerangka regulasi yang dapat menjamin efektivitas proses hukum terhadap koruptor berikut akibat yang ditimbulkannya. Politik perundang-undangan pemberantasan korupsi seperti itulah, yang diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan keadilan.
II. KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa UU PTPK sebagai produk legislatif memegang peranan strategis yang mendasari tahapan berikutnya. Pada tahapan legislasi telah merumuskan perbuatan terlarang sebagai tindak pidana korupsi, pertanggungjawaban pidana berikut sanksi pidananya. Akan tetapi pemberantasan korupsi tidak hanya mengandalkan produk perundang-undangan semata, terlebih dengan banyaknya kelemahan yang dikandung dalam kebijakan legislasi tersebut. Oleh karenanya dalam kerangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka UU PTPK merupakan salah satu sarana yang juga membutuhkan dukungan dan bantuan instrumen hukum lainnya.
Salah satu persoalan penting dalam penegakan hukum sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014, menyangkut penegakan hukum yang tidak konsisten dengan hukum positif. Persoalan ini pada gilirannya akan berpengaruh terhadap melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap hukum beserta aparaturnya.
Menurut Stranas PPK, indikator keberhasilan penegakan hukum tindak pidana korupsi diantaranya terkait persentase penyelesaian penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Persentase itu dihitung berdasarkan jumlah penyelidikan yang ditingkatkan ke penyidikan ataupun jumlah penyidikan yang ditingkatkan ke penuntutan dibandingkan dengan total penyelidikan atau total penyidikan tipikor.[10]
Dalam rangka melaksanakan amanat Stranas PPK itu, maka strategi yang dilakukan Kejaksaan dalam memerangi korupsi yaitu melalui penindakan (represive), setelah berbagai upaya pencegahan (preventive) dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya laten korupsi. Tindakan represif yang dilakukan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi, telah banyak mengungkap berbagai kejahatan korupsi dan berhasil menyelematkan keuangan negara. Periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, keuangan negara yang telah berhasil diselematkan Kejaksaan sekitar Rp. 855 milyar dan US$ 506 ribu.[11] Sementara itu, hasil lelang barang rampasan pada tahun terakhir (2012) yang telah disetor ke kas negara sekitar Rp. 1.116.304.847.477,-
Pada kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir, terdapat kecenderungan menurunnya penanganan tindak pidana korupsi baik dari segi penyidikan maupun penuntutan. Tetapi penurunan penanganan perkara korupsi secara kuantitatif itu tidak secara langsung menunjukkan menurunnya tindak pidana korupsi di Indonesia, bahkan bisa jadi menunjukkan trends yang sebaliknya. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perseption Index) yang dirilis berbagai lembaga survey, masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia yang posisinya tidak pernah mengalami peningkatan secara signifikan.
Untuk periode Januari sampai dengan Maret 2013, Kejaksaan Agung dan Kejaksaan di seluruh Indonesia telah melakukan penyelidikan sebanyak 250 kasus korupsi, penyidikan 247 perkara dan telah melakukan penuntutan sebanyak 286 perkara korupsi. Adapun keuangan negara yang telah berhasil diselamatkan pada periode bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2013, sekitar Rp. 6.616.519.633.[12]
Melihat data-data kuantitatif yang disajikan di atas, menunjukan upaya optimal yang dilakukan Kejaksaan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Terlebih lagi dengan Program Optimalisasi Kualitas dan Kuantitas Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi yang telah dirilis JAM Pidsus Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu, diharapkan memacu aparat kejaksaan di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kualitas penanganan perkara korupsi yang tidak semata-mata menekankan pada aspek kuantitas semata.
Salah satu kebijakan sentral yang dilakukan Kejaksaan dalam penanganan korupsi, dengan memprioritaskan pada pengungkapan perkara yang berskala besar, terus menerus dan sangat merugikan kepentingan masyarakat.[13] Baik dilihat skala pelakunya maupun besarnya nilai kerugian keuangan negara, serta yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.
Kebijakan lainnya yang diupayakan Kejaksaan dalam rangka penegakan hukum pemberantasan korupsi yang berkeadilan, yaitu melalui penentuan parameter penuntutan terhadap pelaku korupsi.[14] Tolok ukur utama yang menentukan parameter penuntutan, didasarkan pada jumlah kerugian keuangan negara yang dikorupsi dan seberapa besar upaya dan kesadaran pelaku untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Adanya parameter penuntutan itu juga untuk memberikan batasan “rentang kebijakan” yang dimiliki oleh
Kajari dan Kajati, sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Begitu pula halnya dalam mengantisipasi banyaknya
laporan terkait pengadaan barang dan jasa, yang semata-mata merupakan ungkapan
ketidakpuasan dari pihak-pihak tertentu yang kalah dalam proses lelang. Dalam
hal ini, JAM Pidsus telah mengambil kebijakan dan memberikan petunjuk kepada
para Kajati di daerah untuk tidak melakukan penyelidikan, baik terhadap proyek
yang masih dalam tahap pelelangan maupun terhadap proyek yang belum
diserahterimakan pekerjaaannya dari pemborong kepada Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) ataupun terhadap proyek yang masih
dalam tahap pemeliharaan. Kegiatan penyelidikan dapat dilakukan, apabila
terdapat bukti yang cukup adanya tindak pidana penyuapan ataupun permufakatan
jahat, yang pelaksanaannya secara hati-hati dan secermat mungkin sehingga tidak
menimbulkan kontra produktif dan bias dalam pelaksanaan pembangunan.[15]
Untuk mengeliminasi terjadinya politisasi penanganan perkara tindak pidana korupsi, Kejaksaan Agung juga telah mengambil langkah dan kebijakan pro-aktif dengan memberikan petunjuk kepada aparat kejaksaan di seluruh Indonesia untuk senantiasa bertindak cermat dan memperhatikan situasi dan kondisi sosial di masing-masing daerah.[16] Kebijakan itu dipandang perlu, karena ditengarai adanya pihak-pihak tertentu yang menggunakan isu tindak pidana korupsi untuk menjegal atau menjatuhkan lawan politiknya, baik pada tahap Pemilu Legislatif, Pemilukada maupun Pilpres.
Dalam hal maraknya berbagai pungutan liar[17] maupun terjadinya tindak pidana korupsi pada sektor-sektor publik, Kejaksaan juga telah mengambil peran dengan memetakan titik-titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi. Pemetaan titik rawan korupsi itu juga dibarengi dengan uraian terhadap modus operandi yang dilakukannya, diharapkan dapat memudahkan pengungkapan perkara korupsi secara cepat, tepat sasaran dan proporsional. Adapun 10 (sepuluh) titik rawan korupsi yang telah dipetakan oleh Kejaksaan Agung RI,
Mabes Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi, meliputi :[18]
1.
Pengadaan
Barang dan Jasa
2. Keuangan
dan Perbankan
3. Perpajakan
3. Perpajakan
4. Minyak dan
Gas (Migas)
5. BUMN/BUMD
5. BUMN/BUMD
6. Kepabeanan
dan Cukai
7. Penggunaan APBN/APBD dan APBN-P/APBD-P
7. Penggunaan APBN/APBD dan APBN-P/APBD-P
8. Sektor Aset Negara/Daerah
9. Pertambangan
10. Pelayanan Umum
9. Pertambangan
10. Pelayanan Umum
I.
KEBIJAKAN APLIKATIF
PEMBERANTASAN KORUPSI
Sebagai suatu bentuk kejahatan yang sangat
berbahaya dan menjadi penghambat utama dalam pengentasan kemiskinan dan
pembangunan (major obstacle to proverty
alleviation and development), maka penanganannnya juga memerlukan cara-cara
yang serius dan khusus (serious and speciality measures). Untuk
maksud itu, maka sejak tanggal 29 Oktober 2009 telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pengadilan Tipikor sebagai badan peradilan khusus,
merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara
a. Tindak
Pidana Korupsi;
b. Tindak
Pidana Pencucian Uang yang tindak pidana asalnya adalah Tipikor; dan atau
c.
Tindak Pidana yang secara tegas dalam UU lain
ditentukan sebagai Tipikor.
Pada saat ini, keberadaan Pengadilan Tipikor baru beroperasi di Ibukota Propinsi,
yang dikarenakan berbagai alasan baik menyangkut
anggaran, sarana dan prasarana, ketersediaan
hakim maupun persoalan teknis lainnya.
Kondisi ini telah menimbulkan berbagai persoalan teknis maupun substantif, yang
pada gilirannya dapat menciderai kebijakan aplikatif dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Menurut hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan (Pusat Litbang) Kejaksaan RI, setidaknya dapat diidentifikasi adanya persoalan mendasar terkait efektifitas Pengadilan Tipikor di Ibukota Propinsi dengan yuridiksi seluruh wilayah propinsi. Berdasarkan penelitian terhadap 399 responden (jaksa, hakim dan pengacara) yang tersebar di 7 (tujuh) wilayah Kejati dan 43 (empat puluh tiga) wilayah Kejari yang dilaksanakan secara random sampling, hampir 84% (335 responden) menyatakan tidak efektif terhadap eksistensi Pengadilan Tipikor di Ibukota Propinsi.[19]
Persoalan substansial terkait eksistensi Pengadilan Tipikor di Ibukota Propinsi, yaitu:
a. Komposisi
hakim Pengadilan Tipikor yang terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc, kerapkali tidak fokus menangani
perkara Tipikor karena masih ada hakim karier yang juga menangani
perkara-perkara lain. Sementara itu keberadaan hakim ad hoc yang notabene
minim praktik dalam penanganan perkara, kerapkali diarasakan masih belum
berpengalaman kurang menguasai substansi perkara yang ditanganinya.
b.
Masih banyak putusan bebas dari Pengadilan Tipikor
yang hanya didasarkan pada perbedaan persepsi terkait unsur perbuatan melawan
hukum dan kerugian keuangan negara. Meskipun dalam pemeriksaan di pengadilan
tingkat pertama, putusan majelis hakim tidak bulat dan terjadinya dissenting
opinion sehingga di tingkat
kasasi diputus bersalah, namun hal ini dapat menjadi salah satu penghambat
dalam penegakan dan pemberatasan korupsi.
c.
Perbedaan persepsi tentang
terminologi keuangan negara bahkan dijadikan alasan oleh hakim Tipikor untuk
menerima eksepsi terdakwa/penasehat hukum, sehingga penanganan perkara korupsi
tidak dilanjutkan untuk memeriksa materi perkara.
d.
Lamanya penyampaian salinan putusan, yang kerapkali
menjadi batu sandungan bagi Jaksa Penuntut Umum dalam menyikapi putusan Majelis
Hakim Tipikor.
Untuk mengeliminasi
berbagai persoalan terkait operasionalisasi Pengadilan Tipikor di Ibukota
Propinsi, setidaknya ada beberapa solusi yang menjadi konsen dan perhatian
untuk ditindaklanjuti:
1.
Membentuk Pengadilan Tipikor di setiap Ibukota
Kabupaten/Kota, sebagaimana amanat Pasal 3 UU Tipikor.
2.
Membentuk Pengadilan Tipikor dalam zona tertentu,
yang didasarkan pada letak geografis dan kewilayahan, sehingga tidak seluruh
daerah Kabupaten/Kota harus bersidang di Ibukota Propinsi.
3.
Menentukan tolok ukur nilai
kerugian keuangan negara sebagai parameter untuk menentukan dapat tidaknya
perkara korupsi disidangkan di Pengadilan Tipikor di Ibukota Propinsi, perkara
korupsi yang nilai kerugian negaranya kecil cukup disidangkan di Pengadilan
Tipikor Kabupaten/Kota.
4.
Menambah hakim Tipikor di Pengadilan Tipikor
Propinsi untuk sidang di Pengadilan Tipikor Kabupaten/Kota (hakim terbang).
5.
Perlu pembatasan secara ketat terhadap hakim karier
yang menangani perkara korupsi untuk dibebastugaskan dari penanganan perkara
lainnya.
6.
Perlu peningakatan profesionalisme hakim ad hoc,
dengan menentukan persyaratan yang lebih ketat dan rekam jejak (track record) yang lebih memadai.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mewujudkan politik kriminal yang berkeadilan dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu revitalisasi dan reaktualisasi peran dan fungsi aparatur penegak hukum yang menangani perkara korupsi. Institusi kepolisian dan kejaksaan seharusnya diberikan peran yang lebih memadai dalam penyidikan perkara korupsi, dengan memberikan kewenangan dan prosedur yang sama dengan yang dimiliki KPK
Pada sisi lain, seharunya posisi KPK sebagai trigger mechanism semakin diperkuat dengan lebih mengedepankan pada fungsi-fungsi koordinasi, supervisi dan pencegahan. Hal ini dikarenakan eksistensi KPK dalam pemberantasan korupsi dimaksudkan untuk memacu institusi penegak hukum yang telah ada (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa: “KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi”.
Sementara itu institusi kejaksaan juga lebih diberdayakan dalam hal penyidikan, penuntutan dan eksekusi perkara-perkara korupsi. Reaktulisasi pengendalian penuntutan perkara korupsi kepada Jaksa Agung, bukan hanya merupakan tuntutan sejarah dan pengejewantahan asas dominis litis, melainkan juga untuk menghindarkan adanya disparitas tuntutan pidana yang dapat menciderai pelaksanaan pemberantasan korupsi yang berbasis pada integrated criminal justice system.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mewujudkan politik kriminal yang berkeadilan dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu revitalisasi dan reaktualisasi peran dan fungsi aparatur penegak hukum yang menangani perkara korupsi. Institusi kepolisian dan kejaksaan seharusnya diberikan peran yang lebih memadai dalam penyidikan perkara korupsi, dengan memberikan kewenangan dan prosedur yang sama dengan yang dimiliki KPK
Pada sisi lain, seharunya posisi KPK sebagai trigger mechanism semakin diperkuat dengan lebih mengedepankan pada fungsi-fungsi koordinasi, supervisi dan pencegahan. Hal ini dikarenakan eksistensi KPK dalam pemberantasan korupsi dimaksudkan untuk memacu institusi penegak hukum yang telah ada (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa: “KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi”.
Sementara itu institusi kejaksaan juga lebih diberdayakan dalam hal penyidikan, penuntutan dan eksekusi perkara-perkara korupsi. Reaktulisasi pengendalian penuntutan perkara korupsi kepada Jaksa Agung, bukan hanya merupakan tuntutan sejarah dan pengejewantahan asas dominis litis, melainkan juga untuk menghindarkan adanya disparitas tuntutan pidana yang dapat menciderai pelaksanaan pemberantasan korupsi yang berbasis pada integrated criminal justice system.
II.
PENUTUP
Memahami berbagai fenomena sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka penegakan hukum pemberantasan korupsi perlu didahului dengan politik kriminal yang memadai dalam produk legislasi. Penyelerasan rumusan tindak pidana korupsi dengan standar internasional, merupakan konsekuensi logis dari telah diratifikasinya UN CAC 2003 sebagai bagian dari kesepakatan global masyarakat beradab melawan korupsi. Persoalan penting lainnya dalam tataran legislasi, yaitu harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sehingga tidak menimbulkan adanya dualisme yang menjadi faktor kriminogen akan lahirnya bentuk-bentuk baru korupsi.
Dilihat dari sisi aplikatif, maka peran aparat penegak hukum yang berada dalam wadah institusional menjadi penentu terhadap efektifitas dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran institusional menjadi sangat dominan, manakala kinerja aparat penegak hukum di daerah menjadi pelaksana dari kebijakan institusional. Oleh karenanya kebijakan reformatif yang telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir ini, akan turut mewarnai politik kriminal yang berkeadilan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Memahami berbagai fenomena sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka penegakan hukum pemberantasan korupsi perlu didahului dengan politik kriminal yang memadai dalam produk legislasi. Penyelerasan rumusan tindak pidana korupsi dengan standar internasional, merupakan konsekuensi logis dari telah diratifikasinya UN CAC 2003 sebagai bagian dari kesepakatan global masyarakat beradab melawan korupsi. Persoalan penting lainnya dalam tataran legislasi, yaitu harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sehingga tidak menimbulkan adanya dualisme yang menjadi faktor kriminogen akan lahirnya bentuk-bentuk baru korupsi.
Dilihat dari sisi aplikatif, maka peran aparat penegak hukum yang berada dalam wadah institusional menjadi penentu terhadap efektifitas dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran institusional menjadi sangat dominan, manakala kinerja aparat penegak hukum di daerah menjadi pelaksana dari kebijakan institusional. Oleh karenanya kebijakan reformatif yang telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir ini, akan turut mewarnai politik kriminal yang berkeadilan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Gamalama,
The Tension Between Law and Morality in Gustav Radbruch, Munich: Grin
Publishing, 2009.
Andi Hamzah, Politik
Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1991
Anonim, Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025
dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014, Jakarta: Bappenas RI, 2012
Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi
Perekonomian”, Makalah, Bandar Lampung: Seminar Nasional tentang
Sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,
Fakultas Hukum Universitas Lampung, 9 Maret 1996
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta:
Prenada Media Kencana, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, 2008.
Daniel Sau Lev, Legal
Evolution and Political Authority in Indonesia, Netherlands: Kluwer Law
International, 2000
G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, Holland : Kluwer – Deventer, 1969
Herbert Packer, The
Limits of The Criminal Sanction, California: Stanford University Press,
1968
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama, 2003.
Lawrence M.
Friedman, The Legal System: A Social Sience Perspective, New York:
Russell Sage Foundation, 1975.
Marc Ancel, Social
Defence, London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1965.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan RI,
“Penelitian Terhadap Efektivitas Keberadaan Pengadilan Tipikor di Daerah”,
Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 2012.
Sudarto, Hukum
dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1986
Sudarto, Kapita
Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981
[1]Adam Gamalama, The Tension Between Law and Morality in Gustav Radbruch, Munich:
Grin Publishing, 2009.
[2]Sudarto, Kapita
Selekta Hukum Pidana, 1981, hlm. 113-114.
[3]Sudarto, Hukum
dan Hukum Pidana, hlm. 159.
[4]Herbert Packer, The Limits of The Criminal Sanction, California: Stanford
University Press, 1968, hlm. 364-366.
[5]Bandingkan dengan Andi Hamzah, Politik Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1991, hal. 24.
[6]Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Sience Perspective,
New York: Russell Sage Foundation, 1975.
[7]Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Perekonomian”, Makalah, Bandar Lampung: Seminar Nasional
tentang Sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas, Fakultas Hukum Universitas Lampung, 9 Maret 1996., hlm. 2.
[8]Remmelink, Jan, Hukum Pidana,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama, 2003.
[9]Bandingkan dengan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, Jakarta: Prenada Media Kencana, Edisi Pertama, Cetakan Kedua,
2008, hlm. 30.
[10]Anonim, Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025
dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014, Jakarta: Bappenas RI, 2012, hlm.
20-21.
[12]Data direkap dari laporan Kejaksaan Tinggi
Seluruh Indonesia yang diterima Sunproglap dan Panil pada Sesjam Pidsus,
periode Januari-Maret 2013.
[13]Surat JAM Pidsus No. B-1113/F/Fd.1/05/2010
tanggal 18 Mei 2010 tentang Prioritas dan Pencapaian dalam Penanganan Perkara
Tindak Pidana Korupsi.
[14]Surat Edaran Jaksa Agung RI No.
SE-003/A/JA/2010 tanggal 25 Februari 2010 tentang Pedoman Tuntutan Pidana
Perkara Tindak Pidana Korupsi.
[15]Surat JAM Pidsus No. B-1237/F/Fd.1/06/2009
tanggal 25 Juni 2009 tentang Penanganan Laporan Dugaan Tindak Pidana Korupsi
pada Proyek Pemerintahan masih pada Tahap Pelelangan.
[16]Surat JAM Pidsus No. B-217/F/Fd.1/02/2009
tanggal 9 Februari 2009 tentang Penanganan Tindak Pidana Korupsi saat Pemilu.
[17]Surat JAM Pidsus No. B-1452/F/Fd.1/08/2008
tanggal 5 Agustus 2008 tentang Pungutan Liar.
[18]Kesepakatan Bersama tentang Pemetaan 10
(sepuluh) Area Rawan Korupsi di Indonesia ditandatangani di Kejaksaan Agung RI
pada tanggal 29 Maret 2012 oleh D. Andhi Nirwanto (Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus), Komjen Pol. Sutarman (Kepala Badan Kriminal
Reserse Kriminal Polri) dan Bambang Sapto Pratomosunu (Sekretaris
Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi).
[19]Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan RI,
“Penelitian Terhadap Efektivitas Keberadaan Pengadilan Tipikor di Daerah”,
Jakarta: Kejaksaan Agung RI, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar