PENGGUNAAN
DISKRESI OLEH
POLISI DALAM
PENEGAKAN HUKUM PIDANA
Oleh :
WARMAN
PRIATNO, SH[1]
A. PENDAHULUAN
Sejak reformasi bergulir,
seluruh lembaga Negara, terutama yang tugas dan tanggungjawabnya berkaitan
langsung dengan kepentingan kepentingan public dilanda demam reformasi.[2] Ini tuntutan public,
tuntutan perubahan zaman, dan hal itu mensyaratkan agar semua stake holder
lembaga Negara mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari lembaga
public. Polri merupakan salah satu
lembaga yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat dalam pelayanan public.
Apa yang diharapkan oleh masyarakat dari gelombang reformasi ini benar – benar
menggambarkan betapa besarnya harapan masyarakat terhadap polri.
Apa peran dan fungsi
polisi ?. mengapa dalam masyarakat diperlukan polisi ? apa citra polis di mata
masyarakat ? jawabnya bervariasi, bahkan ada yang negative. Jawaban pada
umumnya berdasar pada citra polisi dalam cara piker masyarakat yang belum tentu
benar atau kebenarannya bersifat subjektif. Apa yang diyakini ataupun apa yang
mata masyarakat merupakan produk kinerja polisi dalam menyelenggarakan
pemolisian tersebut. Polisi dalam menyelenggarakan pemolisian mempunyai
kewenangan untuk melakukan upaya paksa, melakukan control social, bahkan juga
kewnangan diskresi. Kewenangan tadi, apabila system control dan
pertanggungjawabannya tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau hanya bersifat
supervisial yang penuh kepura puran, akan mengandung potensi penyalahgunaan.
Dampak dari penyalahgunaan kewenangan polisi itulah yang sedikit demi sedikit
terus bergulir bagai bola salju dan membangun citra negative yang biaya
sosialnya harus dibayar mahal oleh polisi, yaitu ketidakpercayaan masyarakat.
Kepercayaan masyarakat merupakan dasar atau pondasi polisi dalam
menyelenggarakan pemolisian tersebut.
Salah satu joke tentang
polisi ini hanya ada tiga jenis polisi yang baik : Jenderal Hoegeng, Polisi
Tidur dan Patung Polisi.[3] Adegium ini sering
dijadikan bahan olok olokan dalam masyarakat betapa sulitnya mencari sosok
polisi yang benar benar dicintai dan dekat dengan masyarakat. Bila kita piker
secara mendalam apa yang menjadi perbincangan tentu ada benarnya juga. Banyak
polisi muda saat sekarang ini yang sudah tidak mengenal Hoegeng tersebut. Hal
ini menandakan betapa polisi sendiri sudah tidak penting untuk mengenal sosok
polisi yang menjadi tokoh polisi masyarakat tersebut
Sebagaimana disadari, tugas Polri begitu banyak (misal
sebagai alat negara, penegak hukum, pengayom masyarakat) sehingga potensi untuk
bertabrakan amat besar. Banyak sekali kepentingan yang harus diamankan,
sehingga saat melakukan strategi kriminalisasi atau dekriminalisasi atas suatu penyimpangan
sosial , misalnya, polisi tidak mempergunakan pertimbangan hukum dan ketertiban
(law and order). Tetapi malah memasukkan dan mengutamakan pertimbangan
poltik, pertahanan-keamanan-ekonomi dan lainlain. Oleh karena itupula perilaku
institusi polri boleh menjadi sulit diduga. Dalam beberapa hal, agenda kerja
serta agenda kepentingan Polri tidak sama dengan agenda masyarakat. Ketimbang
sebagai lembaga masyarakat yang mengatur masyarakat itu sendiri, Polri lebih
dopersepsi sebagai simbol represi negara atas masyarakat. Berangkat dari sini,
maka perlawanan anggota masyarakat terhadap personil polisi dapatlah dilihat
dari perspektif itu.[4]
Kepolisian adalah penegak hukum yang langsung
berhadapan dengan masyarakat. Polisi pada hakikatnya adalah hukum yang hidup,
karena ditangan Polisi hukum dapat diwujudkan khususnya dalam bidang hukum
pidana. Salah satu tujuan hukum yaitu menciptakan ketertiban dalam masyarakat,
yang antara lain dilakukan melawan kejahatan. Polisilah yang akan menentukan
secara konkrit penegakan ketertiban yaitu siapa yang harus ditundukkan dan
siapa yang harus dilindungi. Melalui Polisi, hukum yang bersifat abstrak ditransformasikan
menjadi nyata. Dapat disebutkan bahwa, pekerjaan Polisi adalah penegakan hukum
ini optima forma, Polisi adalah hukum yang hidup. Melalui Polisi janji-janji
dan tujuan hukum untuk mengamankan serta melindungi masyarakat menjadi kenyataan
[5]. Hal
yang menarik adalah, hukum bekerja dengan cara memberikan pembatasan-pembatasan.
Khusus hubungan dengan pekerjaan Kepolisian dan Kejaksaan,
pembatasan-pembatasan tersebut berupa kontrol terhadap keleluasan Polisi dalam
melakukan pemeliharaan ketertiban atau menghentikan kejahatan.
Wewenang menggeledah, menahan, selalu diikuti
dengan pembatasanpembatasan. Di tengah masyarakat, Polisi sering dilihat
sebagai yang sehari-harinya menafsirkan hukum. Menafsirkan hukum menjadi
jembatan antara hukum dengan tujuan-tujuan sosial yang diinginkan. Penafsiran
hukum juga memungkinkan diatasinya konflik antara hukum dan ketertiban. Seorang
Polisi misalnya, tidak akan melaksanakan suatu ketentuan hukum, kalau
pelaksanaannya justru akan menimbulkan ketidaktertiban dalam masyarakat.
Praktik-praktik tersebut, menunjukan pelaksanaan tugas Kepolisian dan Kejaksaan
tidak selalu sama benar dengan yang tertera dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam kontek inilah Polisi harus menentukan pilihan dan diperhadapkan dengan
masalah diskresi untuk memutuskan suatu persoalan yang dihadapi.
Pemberian diskresi kepada Polisi pada
hakikatnya bertentangan dengan prinsip bertindak berdasarkan hukum. Diskresi
menghilangkan kepastian terhadap sesuatu yang akan terjadi, sedangkan salah satu
fungsi hukum adalah menjamin kepastian. Hukum hanya dapat menentukan kehidupan
bersama secara umum, sebab begitu hukum mengatur secara sangat rinci, dengan
memberikan scenario langkah-langkah secara lengkap, maka pada waktu itu pula
kehidupan masyarakat akan mengalami kemacetan dan terbelenggu oleh aturan hukum
tersebut. Oleh karena itu diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan
oleh hukum itu sendiri.
Tindakan diskresi yang diputuskan oleh Polisi
dalam menghadapi persoalan hukum di lapangan secara langsung pada saat itu juga
dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya adalah diskresi yang
bersifat individual. Sebagai contoh untuk menghindari terjadinya penumpukan
arus lalu lintas disuatu ruas jalan, petugas Kepolisian member isyarat untuk
terus berjalan kepada pengemudi kendaraan meskipun saat itu lampu mengatur lalu
lintas berwarna merah. Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk
menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran
hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi
individual. Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena
dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada
kebijakan-kebijakan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan
kesepakatan diantara mereka.
Poin penting dari kajian ini adalah melihat
wewenang penggunaan kewenangan diskresi oleh Polisi dalam proses pemeriksaan
perkara pidana, stresingnya pada model pengawasan atau kontrol terhadap penggunaan
diskresi yang diperankan oleh hakim dalam proses penegakan hukum pidana, sebab
selama ini terkesan bahwa penggunaan diskresi oleh Polisi maupun Jaksa lepas
dari pengawasan maun kontrol dari lembaga yang berwenang sehingga diskresi
dapat digunakan tidak tidak wajar atau salah dimanfaatkan dalam proses penegakan
hukum tindak pidana.
B. KEWENANGAN PENGGUNAAN
DISKRESI OLEH POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA
Tujuan utama dari suatu negara hukum adalah, adanya konstitusi
yang menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, serta adanya
pembatasan terhadap kekuasaan dan wewenang lembaga-lembaga negara. Tujuan ini kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan pembangunan khususnya pembangunan di
bidang hukum dengan tujuan meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan
hukum, pelayanan dan kepastian hukum serta mewujudkan tata hukum nasional yang
mengabdi pada kepentingan nasional. Di samping itu pula menetapkan kedudukan
dan peranan badan-badan atau lembaga-lembagan penegak hukum. Pembangunan hukum
tidak hanya dipahami dengan berfungsinya badan-badan penegak hukum dan
terbentuknya berbagai aturan-aturan hokum yang hendak ditegakkan, namun
pembangunan hukum lebih pada memperhatikan peningkatan pelaksanaan penegakan
hukum secara konsisten dan konsekuen, peningkatan kualitas aparatur penegak
hukum yang profesional dan bertanggung jawab, serta penyediaan sarana dan
prasarana pendukung tegakkannya hukum.
Demikian juga dalam konteks pembangunan
hukum, penerapan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan lugas
tetapi tetap memperhatikan aspek kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia
berdasarkan asas keadilan dan kepastian hukum. Artinya bahwa untuk mencapai
pembangunan hukum dengan menegakkan aturan hukum tidak terbatas pada adanya
penerapan aturan secara normatif saja, namun dalam rangka pencapaian penegakan
hukum, perlu untuk dipahami dengan baik tentang faktor-faktor yang berpengaruh
dalam penegakan hukum itu. Hal ini juga merupakan landasan dalam rangka
penegakan hokum pidana terutama kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia
sebagai perwujudan pembangunan di bidang hukum dalam rangka peningkatan kesejahteraan
sosial dan perlindungan sosial.
Pembangunan nasional di bidang hukum yang
merupakan kebijakan social memiliki tujuan tidak hanya sekedar agar
aturan-aturan hukum yang formalistis itu diterapkan terhadap setiap kasus yang
dijumpai, malainkan juga ingin mencapai kesejahteraan dan perlindungan sosial.
Sebagaimana ungkapan Barda Nawawi Arief, bahwa kebijakan atau upaya penanggulangan
kejahatan pada hakikatnya adalah merupakan bagian integral dari kebijakan
sosial (social policy) yang menuju pada perlindungan sosial dan kesejahteraan
sosial[6].
Berdasarkan atas pemikiran tersebut, jelas bahwa dipergunakannya aturan aturan pidana
dalam rangka penanggulangan kejahatan bukan satu-satunya cara dalam penegakan
hukum pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan
kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti, ada
keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial dan ada
keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal
dan non penal[7].
Hal ini dapat dipahami bahwa, ketika kebijakan kriminal itu merupakan bagian
integral dari kebijakan sosial, maka tugas-tugas atau pekerjaan yang harus
dilakukan oleh pelaku penegak hukum dalam rangka mencapai tujuan kebijakan
sosial yaitu kesejahteraan sosial didak seluruhnya dapat diatur secara limitatif
dalam suatu rumusan aturan mempunyai konsekuensi, bahwa apa yang dilakukan oleh
Polisi tidak akan menyimpang dari seperangkat aturan bagi penegakan hukum itu,
seperti perundang-undangannya sendiri, doktrin-doktrinnya, serta asas-asasnya
yang lazim diterima dalam dunia hukum pidana. Tidak heran kalau kemudian muncul
sebutan, bahwa Polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan sebagainya[8].
Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi lain untuk Polisi,
selain sebagai aparat penegak hukum, sehingga pertanggungjawaban yang harus
diberikannya juga semata-mata terhadap menegakkan hukum.
Kepolisian, dengan tugas utama menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat
manakala terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk
diajukan kepada kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan
memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan
pidana. Dalam konteks pemahaman seperti itu, polisi tidak mempunyai panggilan
lain kecuali menerapkan atau menegakkan hukum. Apabila Polisi telah membuktikan
bahwa sekalian perintah hukum telah dijalankan, maka selesai dan sempurnalah tugasnya.
Gaya pemolisian seperti itu, dikenal dengan sebutan “polisi antagonis”, yaitu ;
polisi yang memposisikan dirinya berhadap-hadapan dengan rakyat[9].
Namun apa yang menjadi tugas Polisi, tidak
selamanya dapat dijalankan sesuai aturan formal yang berlaku, sebab terdapat
kondisi-kondisi tertentu yang dihapi oleh Polisi yang wajib dimana dalam
menjalankan tugas terutama dalam poroses penegakan hukum pidana Polisi harus
mengambil suatu kebijakan (diskresi) terhadap permasalahan yang dihadapi di
lapangan yang pada awalnya tidak dapat diprediksi atau diduga haal tersebut
bisa terjadi. Situasi atau kondisi yang dihadapi oleh Polisi dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya dalam rangka penegakan hukum pidana, yang mengharuskan
Polisi tidak dapat menghindar dari kewenangan melakukan diskresi. Situasi atau kondisi-kondisi
yang mengharuskan Polisi menerapkan kebijakan (diskresi) tersebut disebabkan
karena Adanya suatu pilihan yang diperhadapkan bagi pejabat untuk memilih berdasarkan
putusan yang rasional dan mendasar. Namun, setiap pilihan itu mengandung arti
bahwa memang ada beberapa alternatif dimana antithesis pada diskresi itu adalah
situasi dimana hukum memberikan suatu solusi yang tepat dan benar terhadap
suatu kasus.
Dalam praktiknya, aparat penegak hukum belum
seluruhnya memiliki kode etik atau jika sudah memiliki ternyata rumusan norma
yang disusun terlalu abstrak, tidak memiliki upaya pemaksa yang keras dan tegas
seperti yang ada pada hukum positif berbentuk undang-undang. Tidak adanya
pedoman keras dan tegas yang disusun dalam kode etik profesi sehingga
menyulitkan pengawasan penerapan diskresi oleh aparat penegak hukum. Kode etik
yang ada pada Polisi dan Kejaksaan belum bisa menjadi patokan atau belum
mempunyai kekuatan mengikat secara individu maupun kelenbagaan untuk mengontrol
penggunaan diskresi tersebut. Perlu ditekankan disini bahwa proses diskresioner
menjadi bermakna dalam kaitannya dengan kewajiaban umum bagi Polisi maupun
Jaksa yang berwenang untuk memberikan suatu putusan atau kebijakan dalam
menghadapi suatu masalah hukum tindak pidana. Adanya kewajiban diskresi ini
dalam semua kasus, adalah karena tiadak terdapat adanya suatu jawaban yang
benar. Jadi kewajiban fundamental bagi Polisi maupun Jaksa untuk memberikan apa
alasan justifikasi yang dapat dipertanggung jawabkan dari putusan (diskresi)
yang diambilnya.
C. TOLAK UKUR PENGGUNAAN
DISKRESI OLEH POLISI DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA.
Peran Polisi secara umum dikenal sebagai
pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat juga sebagai aparat penegak hukum
dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan yang langsung
berhadapan dengan masyarakat. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan bahwa Kepolisian Negara RI bertujuan
untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan
dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan
pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri
menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis kepolisian.
Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum polisi senantiasa menghormati hukum
dan hak asasi manusia. Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap
insan kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral. Keberhasilan
penyelenggaraan fungsi kepolisian dengan tanpa meninggalkan etika profesi
sangat dipengaruhi oleh kinerja Polisi yang direfleksikan dalam sikap dan
perilaku pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya. Dalam Pasal 13 UU Kepolisian
ditegaskan tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Mengingat modus operandi dan teknik kejahatan
semakin canggih, seiring perkembangan dan kemajuan jaman maka profesionalisme
polisi amat diperlukan dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum. Apabila
polisi tidak profesional maka proses penegakan hukum akan timpang, akibatnya
keamanan dan ketertiban masyarakat akan senantiasa terancam sebagai akibat
tidak profesionalnya polisi dalam menjalankan tugas. Tugas polisi disamping
sebagai agen penegak hukum (law enforcement agency) dan juga sebagai pemelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Polisi adalah ujung
tombak dalam integrated criminal justice system. Di tangan polisilah terlebih
dahulu mampu mengurai gelapnya kasus kejahatan. Polisi dituntut mampu menyibak
belantara kejahatan di masyarakat dan menemukan pelakunya. Polisi harus
melakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan bukti-bukti guna
membuat terang suatu kejahatan dan menemukan pelakunya. Berbagai macam jenis
kejahatan yang telah ditangani pihak kepolisian dalam memberantas kejahatan
jalanan demi untuk meningkatkan suasana yang aman dan tertib sebagaimana yang
menjadi tanggung jawab pihak kepolisian. Maraknya tindak kejahatan Polri harus
tetap menjaga kamtibmas yang belakangan ini banyak terjadi terutama terhadap
aksi demonstrasi yang mengarah anarkhis. Begitu urgennya keberadaan polisi bagi
masyarakat, maka dapat diibaratkan seperti kolam dengan ikannya. Masyarakat
dengan polisi tidak dapat dipisahkan.
Konflik antara polisi dengan masyarakat juga
sering terjadi karena ketidakprofesionalan dalam menjalankan tugas misalnya
melakukan penyidikan tanpa surat dan dasar hukum yang kuat, melakukan
penangkapan dan penahanan tanpa prosedur, melakukan kekerasan kepada tersangka
dan sebagainya. Terhadap demonstran yang anarkhis, kekerasan dapat dibenarkan
selama dalam batas-batas yang wajar, namun tetap harus dilakukan secara
selektif dan terkendali. Tindakan keras dari kepolisian harus tetap berdasarkan
aturan-aturan hukum yang berlaku dan menghormati HAM. Pada demonstran yang
bertindak brutal dan anarkhis harus diperiksa sesuai dengan hukum yang berlaku.
Akan tetapi terkadang dalam menghadapi situasi di lapangan dengan berbagai kompleksitas
masalah yang dihadapi, Polisi dihadapkan pada suatu keputusan dimana ia harus
memilih suatu tindakan yang terkadang di luar batas-batas aturan yang
mengaturnya. Pada posisi inilah polisi dituntut menggunakan kewenangan diskresi
yang melekat dalam tugas-tugas Kepolisian.
Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk
mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah
pelanggaran hokum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sangatlah penting
bahwa diskresi ini dapat dilakukan dengan benar dengan mempertimbangkan segala
aspek atau hal hal diatas disertai etika yang baik. Oleh karena itu dengan
diskresi ini maka tindakan yang diambil oleh Polisi harus benar sesuai dengan
aturan hukum. Tindakan diskresi yang diputuskan oleh Polisi di lapangan secara
langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari
atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk
menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, petugas
kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaaraan
meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah dan sebagainya.
Adapun tindakan untuk mengesampingkan
perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku
pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan
diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut merupakan tindakan
diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau
berpedoman pada kebijaksanaan-kebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal
tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka. Selain pantas untuk
dilakukan diskresi juga merupakan hal yang penting bagi pelaksanaan tugas
polisi karena beberapa alasan :
A. Undang-undang ditulis
dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai
detail bagi petugas dilapangan,
B. Hukum adalah sebagai alat
untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah
satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut.
C. Pertimbangan sumber daya
dan kemampuan dari petugas kepolisian.
Dalam kenyataannya hukum memang tidak bisa
secara kaku untuk diberlakukan kepada siapapun dan dalam kondisi apapun seperti
yang tercantum dalam bunyi perundang-undangan. Pandangan yang sempit didalam hokum
pidana bukan saja tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana, tetapi akan membawa
akibat kehidupan masyarakat menjadi berat, susah dan tidak menyenangkan. Hal
ini dikarenakan segala gerak aktivitas masyarakat diatur atau dikenakan sanksi
oleh peraturan. Jalan keluar untuk mengatasi kekuatan-kekuatan itu oleh hukum
adalah diserahkan kepada petugas penegak hukum itu sendiri untuk menguji setiap
perkara yang masuk didalam proses, untuk selanjutnya diadakan
penyaringan-penyaringan yang dalam hal ini disebut dengan diskresi.
Bila diskresi diterapkan secara salah maka
akan terjadi penyimpangan, Diskresi yang dilakukan dalam menangani berbagai
masalah atau pelanggaran hukum tidak ada aturan atau batasan yang jelas
sehingga sering menyimpang dari ketentuan atau prinsip dari diskresi. Masalah
dalam pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh polisi adalah : Pertama bersifat
individual oleh petugas polisi di lapangan yang menjadi dasar adalah apa yang
diketahui atau dimengerti oleh petugas dilapangan yang dianggap benar.
Pelaksanaan hukum secara selektif merupakan
bentuk diskresi birokrasi di mana pengambil kebijaksanaan kepolisian menentukan
prioritas organisasi kepada para petugas di lapangan. Ditinjau dari segi hukum
pidana formal, tindakan Polisi untuk mengesampingkan perkara pidana tidak bisa
dibenarkan begitu saja karena sifat hukum pidana yang tak kenal kompromi.
Sedangkan alasan-alasan sosiologis yang biasa digunakan dalam praktek, bersifat
subjektif dan sangat situasional dan ini memerlukan landasan hukum yang tegas
agar terdapat kepastian hukum baik bagi penyidik maupun bagi masyarakat.
Ditinjau dari pelaksanaan operasional Kepolisian, tindakan mengesampingkan
perkara juga dilakukan, dengan pertimbangan masing-masing perkara itu bisa
berbeda-antara satu tempat dengan tempat lain.
Tindakan tersebut di atas dilakukan oleh para
petugas kepolisian dapat dikerenakan adanya kekaburan pemahaman hukum yang
berkaitan dengan kewenangan diskresi, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para
pejabat dalam birokrasi, yang mendukung atau merestui tindakan diskresi
dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya dan untuk
keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Hal tersebut juga dapat diakibatkan
kurang baiknya sistem kontrol (pseudo control). Hal lain yang mempengaruhi
adalah dari masyarakatnya yang kadang enggan untuk menyelesaikan perkaranya
dengan jalur hokum. Dapat dipahami bahwa, diskresi menjadi kewenangan yang
tidak bias dilepaspisahkan dari tugas kepolisian, namun tolak ukur yang
digunakan pada tataran imlementasi belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya
aturan yang jelas mengenai penggunaan diskresi oleh Polisi, sehingga kewenangan
diskresi ini berpotensi untuk disalah gunakan.
Oleh karena itu, paling tidak kewenangan diskresi
dapat dilakukan dengan pertimbangan tertentu sebagai batasan-batasan tolak ukur
bagi Kepolisian dalam proses penegakan hukum pidana, sehingga, kewenangan
diskresi tidak terkesan unlimited atau tanpa batasan yang jelas. Oleh karena
itu dapat dikemukakan beberapa asas sebagai pengangan yang menjadi tolak ukur
bagi penggunaan diskresi oleh Polisi dalam menegakkan hukum pidana antara lain:
1. Asas keperluan
Tugas dan wewenang kepolisian dalam
menegakkan hukum harus berdasarkan pada peraturan yang berlaku, namun dalam
pelaksanaannya di lapangan oleh Polisi sering ditemukan kendala-kendala seperti
tidak ada peraturan pelaksanaan daru undang-undang yang ada, ketidak jelasan
peraturan perundang-undangan, dan/atau undang-undang tidak mengaturnya. Kendala
kendala seperti ini memungkinkan penggunaan diskresi oleh Polisi dalam satu proses
penegakan hukum. Namun penting untuk diingat bahwa diskresi tidak selalu
menjadi keharusan dijalankan dalam menangani suatu masalah hukum, dan hanya
dapat dilakukan bila masalah yang ditangan benar-benar sudah sangat mendesak
untuk diselesaikan sehingga dalam kondisi ini tepat untuk digunakan diskresi.
Jadi terdapat situasi yang menentukan sehingga diskresi perlu untuk dilakukan
oleh Polisi. Jadi tidak semua masalah hukum pidana membutuhkan adanya diskresi
dari Kepolisian.
2. Asas lugas dan integritas
Asas lugas dan integritas ini menghendaki
agar penerapan diskresi Kepolisian dapat digunakan secara bertanggungjawab,
terbuka, jujur, dan tidak memihak serta objektif dan tidak untuk kepentingan
pribadi atau orang lain. Demikian juga dalam menggunakan diskresi kepolisian
perlu untuk dipertimbangkan secara logis dan sistematis dengan mengkaji masalah
dari berbagai aspek, tentang perlu tidaknya diterapkan diskresi, dan
memprediksi akibat yang timbul dari penerapan diskresi tersebut serta bagaimana
mengantisipasinya. Di samping itu, sebelum seorang Polisi mengambil keputusan untuk
melakukan suatu tindakan (diskresi), wajib mempertimbangkan secara menyeluruh
mengenai objek, subjek dan mekanisme diskresi yang diambil. Objek diskresi
adalah muatan diskresi, sedangkan subjek diskresi terdiri dari si pengambil diskresi
(bila diskresi itu dilakukan oleh seorang Polisi, maka harus memikirkan dampak
terhadap institusinya, demikian juga bila diskresi dilakukan secara kelembagaan
atau institusi, maka perlu untuk dipertimbangkan institusi dan individu Polisi
secara khusus di mata masyarakat, misalnya dalam berbagai kondisi tertentu,
keputusan atau diskresi polisi dalam menggunakan senjata dengan melakukan
penembakan untuk menghalau atau menertibkan para demonstran, atau berbagai aksi
kelompok masyarakat dalam menuntut berbagai hak-hak mereka, sudah tentu harus
dipertimbangkan dengan matang, karena hal ini memiliki dampak yang sangat luas
terhadap institusi Kepolisian itu sendiri sebab hal ini bisa memunculkan isu
yang kembali digunakan oleh berbagai pihak untuk menyerang institusi Kepolisian
karena tindakan diskresi tersebut dianggap melanggar hak-hak asasi manusia.
Dalam beberapa contoh kasus di Amerika
sebagaaimana diuraikan dalam bab sebelumnya misalnya, bahwa diskresi Polisi
dalam penggunaan senjata dibatasi sekalipun dalam hal menanggulangi kejahatan
tindak pidana. Senjata dapat dilakukan apabila pelaku kejahtan tersebut
dianggap dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu kontrol terhadap
penggunaan diskresi penting untuk dilakukan agar penggunaan diskresi dapat
berjalan dengan baik dan diprediksi tidak akan menimbulkan masalah baru.
3. Asas manfaat dan tujuan
Tindakan diskresi terhadap subjek tertentu
(pelaku tindak pidana) tentunya dapat diperhitungkan nilai manfaat dan tujuan
dari penggunaan diskresi tersebut yaitu berdasarkan tujuan diterapkannya hukum
pidana atau sesuai dengan tujuan pemidanaan. Menurut Mardjono Reksodiputro,
tujuan kebijakan pidana adalah :
1) Mencegah individu dan masyarakat menjadi korban ;
2) Mencegah yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana
tidak mengulangi lagi perbuatan mereka dan apaabila si pelaku tindak pidana kembali
telah kembali berintigrasi dengan masyarakat serta hidup sebagai warga negara
yang taat pada hokum ;
3) Melindungi orang yang tidak bersalah dan menghukum perbuatan
yang melawan hukum.
Apabila pemidanaan ditinjau dari segi
orientasinya, dikenal adanya 2 macam teori pemidanaan, yaitu :
1. Teori Absolut (pembalasan), yaitu teori yang berorientasi ke
belakang berupa pembalasan yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan.
2. Teori Relatif (tujuan), yaitu teori yang berorientasi ke depan
berupa penyembuhan luka, baik luka individual maupun luka sosial.
Di dalam masyarakat modern, tampaknya ada kecenderungan untuk mengarah
pada teori gabungan. Hal ini juga terjadi di Indonesia, yang perwujudannya
tampak pada Ketentuan Pasal 50 Konsep KUHP Baru tahun 2000, yang menyebutkan;
“Pemidanaan bertujuan :
a. mencegah dilakukannya
tindak pidana dengan menegakkan norma hokum demi pengayoman masyarakat ;
b. memasyarakatkan terpidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah
pada terpidana.”
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam
Konsep KUHP tersebut, Sudarto mengemukakan :
“Dalam tujuan pertama tersimpul pandangan perlindungan masyarakat
(social defence), sedang dalam tujuan kedua dikandung maksud rehabilitasi dan resosialisasi
terpidana. Tujuan ketiga sesuai dengan pandangan hukum adat mengenai “adat
reactie”, sedangkan tujuan yang keempat bersifat spiritual yang sesuai dengan
sila pertama Pancasila”.[10]
Dalam beberapaa kasus misalnya, terkait
dengan kejahatan yang dilakukan anak-anak di bawah umur,22 atau oleh seorang
nenek yang mengambil beberapa buah kakao, atau bahkan oleh seorang anak yang
dituduh mencuri sendal jepit seorang Polisi. Kita semua sepakat bahwa pelakunya
tetap harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, sesuai dengan asas
equality before the law, namun jika melihat pada kerangka perlindungan anak,
maupun kondisi seorang nenek, maupun anak yang melakukan pencurian sandal jepit
tersebut tentunya tidak bijaksana apabila perlakuan pada anak dibawah umur sama
dengan perlakuan terhadap orang dewasa karena secara fisik dan psikis, kondisi
anak-anak masih labil dibandingkan orang dewasa. Atau perlakuan terhadap
seorang nenek yang mengambil beberapa buah kakao dan seorang nenek yang mencuri
dua buah semangka hanya karena kondisi tertentu harus disamakan seperti
seseorang yang dituduh atau didakwa melakukan tindak pidana korupsi (koruptor)
atau tindak pidana berat lainnya. Disinilah pentingnya diskresi (kepolisian)
diterapkan.
Dengan demikian penggunaan diskresi oleh
Polisi dalam konteks penegakan hukum pidana harus sejalan dengan tujuan
pemidanaan itu sendiri. Sebab apa yang dimaksud dengan diskresi, Roeslan Saleh
memberikan pengertian sebagai kemungkinan menentukan sendiri keputusan yang
diambil dari beberapa kemungkinan sebagai alternatif.[11] Dalam
proses penegakan hukum, diskresi semakin jelas hak-hak penegak hukum dengan
menjadikannya pencari keadilan sebagai obyek. Dalam hubungan antara penegak
hukum dan pencari keadilan, diskresi ternyata memang banyak menimbulkan
masalah. Jika aparat penegak hukum dengan bebas menetapkan keputusan sebagai
kewenangan diskresinya atas dasar keinginan atau kepentingannya sendiri tentang
hal-hal yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan, maka sangat mungkin
tindakannya akan merugikan kepentingan masyarakat umum. Keadaan yang demikian
akan lebih meresahkan masyarakat atau pencari keadilan, manakala aparat penegak
hukum menerapkan diskresi dengan kekuatan dan kekuasaan, seperti menahan
seseorang atau menjatuhkan pidana penjara dengan bukti yang kurang, tetapi
dipaksa-paksakan alasan hukumnya. Tindakan semacam ini tentu jauh dari tujuan
pemidanaan sebagaimana digariskan dalam KUHP.
4. Asas keseimbangan
Muatan diskresi adalah hasil pertimbangan
yang dikaji secara keseluruhan termasuk berat ringannya kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan tidak diskriminatif antara pelaku dan
korban. Selanjutnya asas keseimbangan ini dapat berarti pengendalian terhadap
kewenangan penggunaan diskresi oleh Polisi baik pengendalian bersifat internal
(di dalam tubuh institusi tersebut) maupun pengendalian secara eksternal (di
luar tubuh institusi) atau pengendalian formal (istitusi yang berwenang) maupun
informal (masyarakat secara umum). Di samping asas-asas tersebut diatas yang
dapat digunakn sebagai tolak ukur dalam penggunaan diskresi oleh Polisi, lebih
konkrit lagi agar penerapan diskresi Kepolisian tidak dipandang sebagai alat
rekayasa dari aparat kepolisian untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka
penerapannya harus dilandasi dasar hukum yang kuat.
Beberapa perundang-undangan yang dapat
dijadikan dasar hukum penerapan diskresi, khususnya dalam proses penegakan
hukum pidana, antara lain :
1. Pasal 15 ayat (2) huruf k Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan : Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya
berwenang: melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian ;
2. Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan : Dalam rangka menyelenggarakan
tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang
untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ayat (2)
UU Kepolisian menyebutkan, tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika
memenuhi syarat sebagai berikut :
1) tidak bertentangan dengan suatu aturan hokum ;
2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan ;
3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya ;
4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa ;
5) menghormati hak asasi manusia.
3. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan: untuk kepentingan umum,
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4. Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana yang menyebutkan Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena
kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP
menyebutkan: yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari
penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hokum
1) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan
jabatan;
2) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
b. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
c. Menghormati hak asasi manusia.
5. Pasal 7 ayat (1) huruf j Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, yang pada pokoknya memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya
dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab.
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP mengataur hal yang sama
dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP.
Selain penerapan diskresi kepolisian harus mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, diskresi pun dapat diberlakukan dengan mendasarkan pada hukum
adat/kebiasaan setempat. Misalnya, di Bali seringkali penyelenggaraan
kegiatan/upacara adat disertai dengan kegiatan sabung ayam, yang mana
berdasarkan hukum pidana nasional, dapat dikategorikan sebagai tindakan
perjudian sebagaimana diatur dalam Pasal 303 KUHP. Namun aparat kepolisian
tidak serta merta menangkapi orang-orang yang sedang melakukan sabung ayam,
sekalipun polisi memiliki wewenang untuk melakukannya. Akan tetapi dengan
melihat bahwa kegiatan sabung ayam juga merupakan bagian dari kebudayaan / adat
Bali, kepolisian menggunakan hak (diskresi) nya untuk tidak menangkap atau membubarkan
orang-orang yang melakukan sabung ayam.
Perlu diperhatikan, sekalipun aparat
kepolisian memiliki kewenangan bertindak atas dasar penilaiannya sendiri, hal
ini tidak boleh ditafsirkan secara sempit, sehingga aparat kepolisian dengan
mudah menerapkan kewenangan diskresi. Oleh karena itu, lahirnya diskresi tidak
dapat dipisahkan dari adanya suatu wewenang kepolisian secara umum serta adanya
hukum yang mengatur untuk bertindak, sehingga diskresi harus dilakukan dalam
kerangka adanya wewenang yang diberikan oleh hukum.
Selanjutnya terkait penerapan diskresi
kepolisian dalam menyelesaikan kasus pidana, ada beberapa pertimbangan yang
bisa dikedepankan sebagai pegangan, antara lain :
a. Mempercepat proses penyelesaian perkara. Hal ini dilakukan mengingat
melalui jalur formal, perkara yang sedang diperiksa akan selesai dalam jangka waktu
lama.
b. Menghindarkan terjadinya penumpukan perkara. Tugas dan tanggung
jawab yang diemban oleh aparat kepolisian dari hari ke hari semakin bertambah, sehingga
tindakan diskresi dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk mengurangi
beban pekerjaan.
c. Adanya keinginan agar perkara selesai secara win-win solution,
mengingat melalui cara-cara formal dapat dipastikan akan ada pihak yang kalah
dan ada yang menang;
d. Adanya perasaan ibah (belas kasihan) dari pihak korban,
sehingga korban tidak menghendaki kasusnya diperpanjang. Tidak serta-merta
karna lantara punya motif lain Polisi mala mau meneruskan kasus yang sudah mau
diakhiri oleh para pihak dengan jalan damai dengan adanya proses gati rugi
terhadap korban.
D. KESIMPULAN
Diskresi Kepolisian dan diskresi Kejaksaan
dalam proses penegakan hukum pidana pada umumnya telah diatur dalam ketentuan
undangundang. Namun tolak ukur diskresi Polisi dan Jaksa yang didasarkan pada kepentingan
umum atau kepentingan masyarakat dalam tataran praktiknya masih sangat abstrak
untuk diterapkan dalam pelaksanaan diskresi kepolisian dan kejasaan yang
terkait dengan kebijakan penegakan hukum pidana. Karena kriterian atau tolak
ukur kepentingan umum dalam penggunaan diskresi
kepolisian dan kejaksaan masih abstrak, menyebabkan kewenangan
penggunaan diskresi dalam beberapa kasus proses tindak pidana salah diterapkan.
Di samping itu pula bahwa tidak ada lembaga
yang memiliki kewenangan untuk menilai penggunaan diskresi oleh polisi dan
jaksa dalam suatu proses penegakan hukum pidana, ketentuan yang terkait dengan
hal tersebut tidak jelas dan masih samar.
[1]
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas 2013
[2]
Budi Hatees, Ulat di Kebun Polri, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2013, hlm 4
[3]
Catatan Prof. (Ris) Dr. Hermawan Sulistyo, POlisi Tidak Boleh Tidur dalam
buku Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani,
YPKIK, Jakarta, 2009, hlm XV
[4]
Adrianus Meliala, Problema Reformasi
Polri.Jakarta, 2002 Trio Repro, hal 8
[5]
Satjipto Rahardjo, Penegakan
Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis,
Genta Publising, Yogyakarta, 2009, hlm. 11
[6]
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampe Kejahatan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 2
[7]
Barda Nawawi Arief, Masalah-Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Aditya, Bakti, Bandung,
2001, hlm. 77-81
[8]
Mahrus Ali, Paradigma
Baru dalam Penggunaan Diskresi oleh Polisi dan Jaksa dalam Penegakan Hukum
Pidana (Sistem Peradilan Pidana Progresif; Alternatif Dalam Penegakan
Hukum Pidana), Pascasarjana FH UII
Yogyakarta, 2007, hlm. 1
Penerbit Kompas, Jakarta, 2007,
hlm. 30-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar