Senin, 17 November 2014

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN



 
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEJAHATAN 
DAN PENGGABUNGAN PERKARA 

OLeh :

WARMAN PRIATNO, SH

Perlindungan terhadap korban kejahatan apabila kita cermati secara teliti ternyata bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung yang dirumuskan dalam kebijakan formulatif yaitu perlindungan abstrak dimana cenderung mengarah pada perlindungan masyarakat dan individu. Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu kejahatan terisolir atau tidak mendapat perhatian sama sekali, terlebih lagi dengan meningkatnya perhatian terhadap pembinaan nara pidana yang sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban, maka tidak mengherankan jika perhatian kepada korban semakin jauh dari peradilan pidana yang oleh Sthepen Schafer dikatakan sebagai cinderella dari hukum pidana. Tegasnya, perlindungan terhadap korban kejahatan penting eksistensinya oleh karena penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlada bagaiah berakhir dengan penjatuhan dan usainya hukuman kepada pelaku. Dengan titik tolak demikian maka sistem peradilan pidana hendaknya menyesuaikan, menselaraskan kualitas dan kuantitas penderitaan dan kerugian yang diderita korban.[1]

Terhadap pelaksanaan hukum pidana, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik, maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana penegakan hukum demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat, bahkan mengulangi (rekonstruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan baik di tingkat penyidikan maupun setelah kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Tidak jarang pula saksi korban karena keterbatasan pengetahuan dibentak – bentak atau dimaki – maki oleh oknum aparat penegak hukum dalam melaporkan kejahatan yang alaminya. Atau yang lebih miris lagi korban ini sudahlah jatuh tertimpa tangga pula. Artinya ketika mereka kehilangan harta benda mereka akibat suatu tindak pidana pencurian, malah dimintai uang lagi oleh oknum polisi dengan alasan untuk biaya transportasi penyelidikan, penangkapan dan lain-lain sebagainya. Aneh memang perlakuan terhadap korban dinegeri ini. Akibatnya banyak dari masyarakat yang tidak mau untuk melaporkan perihal kejahatan yang menimpanya. Maka tak heran bila seringkali bila timbul suatu kejahatan di dalam masyarakat maka dihakimi sendiri oleh masyarakat tertentu. 

Bukti konkret lainnya dalam perlindungan hukum yang sangat timpang jika dibandingkan dengan perlakuan terhadap pelaku kejahatan misalnya, sejak awal proses pemerikasaan hak-haknya dilindungi, pelaku kejahatan berhak memperoleh bantuan hukum bagi mereka yang disangka melakukan tindak pidana tertentu misalnya kejahatan yang diancam pidana lebih dari lima tahun, maka akan disediakan Penasehat Hukum baginya oleh Negara secara Cuma-cuma, memperoleh perlakuan yang baik, dijauhkan dari penyiksaan, diberitahukan tentang kejahatan yang disangkakan kepadanya, hak memperoleh pemidaan secara manusiawi, bahkan hak untuk meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan dalam proses perkara pidana, singkatnya segala hak dan atribut yang melekat pada pelaku tindak pidana sebagai manusia dikemas dalam KUHAP. Selanjutnya terhadap tersangka yang akan dilakukan penangkapan haruslah disertai dengan Surat Perintah dan apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut maka dapat di Pra Peradilankan oleh Tersangka. Begitupun dengan tindakan hukum berupa penahanan. Selain itu banyaknya bermunculan teori – teori hukum yang membahas bagaimana perlindungan terhadap pelaku, hak – hak seorang tersangka, terdakwa dan lain sebagainya sehingga membuat semakin terhormatnya pelaku kejahatan sebaliknya membuat korban semakin terciut. Jeremy Bentham dengan teori utilitariasme (kemanfaatan), dimana dalam teorinya ini mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan itu adalah dalam rangka memberikan manfaat agar seseorang itu tidak mengulangi perbuatannya dan masyarakat juga tidak melakukan tindak pidana.[2]
Sementara, terhadap korban kejahatan seringkali mendapat ancaman, intervensi dari pihak tertentu yang tidak menginginkan perkaranya diajukan ke persidangan. Bahkan terhadap perkara yang melibatkan orang kuat tidak jarang korban ini diancam akan dibunuh. Ada yang dikucilkan dari masyarakat bila melaporkan dugaan tindak pidana yang dialaminya karena pelakunya adalah orang yang memiliki pengaruh di masyarakat.
Polisi, Jaksa dan Hakim sudah dianggap sebagai perwakilan dari korban kejahatan yang berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan tersebut. Hal ini sangat ironis mengingat betapa pentingnya perlindungan terhadap korban yang sama halnya dengan pelaku kejahatan tersebut. Apa yang telah dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil dari Negara dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan dianggap sudah cukup dalam menyelesaikan persoalan kejahatan. Pemandangan yang sering dijumpai di depan mata kita, bagaimana ketika seorang saksi korban yang sudah diperiksa di pengadilan mereka seolah – olah bukan orang yang dirugikan lagi. Ada kecenderungan pembiaran dari Negara terhadap kepedulian korban kejahatan. Sebagai contoh dalam korban kejahatan pemerkosaan. Betapa hebat trauma yang dialami oleh korban kejahatan tersebut sehingga jangankan untuk dilakukannya rekonstruksi, mendengar cerita pemerkosaan itu saja mereka sudah menjerit-jerit. Setelah pembacaan putusan di pengadilan mereka dibiarkan saja pulang ke rumahnya dengan membawa pulang trauma berat dan dibawah bayang-bayang cemooh dan gunjingan masyarakat sekitarnya. Dimana tanggungjawab Negara terhadap warga negaranya yang mengalami depresi berat akibat suatu perbuatan orang lain (kejahatan) yang tidak ia kehendaki. Apakah mereka sudah bukan warga Negara lagi meskipun haknya sudah dilaksanakan oleh Negara melalui Penuntutan di pengadilan. Atau kita sepakati saja tindak pidana ini sebagai suatu musibah atau bencana alam. Tentunya tidak demikian.
Pengertian Perlindungan menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tantang Perlindungan Saksi dan Korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan / atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini”. Sedangkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”
Arief Gosita mengatakan, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. Selanjutnya Muladi mengemukankan pengertian bahwa Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termauk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam peraturan perundang-undangan lain juga memberikan pengertian tentang korban yaitu :
  1. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan / atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”
  2. Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan pihak manapun.
Dalam ruang lingkup viktimologi korban memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita atau mengalami kerugian, tetapi juga terhadap kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah.[3] Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas kejahatan disebabkan korban seringkali memiliki peranan yang penting bagi terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang luas dan mendalam tentang korban kejahatan, diharapkan dapat memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang pada ahirnya bermuara pada menurunnya kuantitas dan kualitas kejahatan.

Sistim peradilan pidana di Indonesia juga memberikan kesan akan keterasingan korban sebagaimana terlihat masih kurangnya pembahasan terhadap korban, peraturan hukum pidana juga belum sepenuhnya mengatur tentang korban beserta haknya sebagai pihak yang dirugikan dan lain sebagainya. Secara selintas maka pengaturan korban kejahatan dalam hukum positif menurut SPP Indonesia meliputi ketentuan Psl. 14 c ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut :
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana, hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagian saja, yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada itu juga, yang kurang dari masa percobaan itu.”

Ketentuan sebagaimana tersebut di atas mensiratkan bahwa ada perlindungan abstrak atau tidak langsung yang diberikan UU sebagai kebijakan formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan tersebut meliputi penjatuhan hukuman oleh hakim dengan menetapkan syarat umum dan syarat khusus berupa ditentukan terpidana mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Akan tetapi ternyata aspek ini sifatnya abstrak atau perlindungan tidak langsung karena sifat syarat khusus tersebut berupa penggantian kerugian adalah fakultatif, tergantung penilaian hakim. Oleh karena itu, dengan asas keseimbangan individu dan masyarakat (asas monodualistik) seharusnya perlindungan terhadap korban kejahatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sifatnya imperatif.[4]

Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah dimulai adanya perlindungan terhadap korban kejahatan secara individu, dengan tetap melakukan pembinaan kepada pelaku kejahatan. Perlindungan korban dalam konteks ini berarti tetap menempatkan kepentingan korban sebagai salah satu bagian mutlak yang dipertimbangkan dalam proses penyelesaian perkara pidana seperti korban memungkinkan untuk mengontrol suatu perkara yang menempatkan dirinya sebagai korban yaitu dapat melakukan upaya pra peradilan, jika suatu perkara dihentikan penyidikan atau penuntutannya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan karena diberikannya hak kontrol ini dapat memberi jaminan bahwa perkara pidana dimaksud dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Lebih jauh lagi, selain itu KUHAP juga memberi peluang kepada korban untuk mengajukan gugatan ganti kerugian yang digabungkan dengan perkara pidana bersangkutan sebagaimana ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.

Dimensi ini merupakan awal diperhatikannya korban dalam proses pidana. Seorang korban dari suatu kejahatan dapat hadir dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan dua kualitas yang berbeda. Di satu sisi kehadiran korban dalam pemeriksaan perkara pidana berfungsi sebagai saksi guna memberikan kesaksian dalam mengungkapkan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di persidangan pengadilan. Di lain sisi fungsi korban dalam proses perkara pidana adalah mengajukan gugatan ganti kerugian atas penderitaan dan kerugian yang dialami sebagai akibat kejahatan. Penjatuhan pidana terhadap sorang pelaku tindak pidana dibarengi oleh pembayaran ganti kerugian sebagai kompensasi atas perbuatan pidana yang telah dilakukan oelh pelaku terhadap korban.

Ketentuan dalam KUHAP yang terdapat dalam pasal 99 sampai dengan pasal 101 sebenarnya mengisaratkan adanya perlindungan hukum bagi korban kejahatan yang dirugikan secara materiil. Namun dalam prakteknya hal inilah yang diabaikan oleh Penuntut Umum atau Hakim dalam memeriksa suatu perkara pidana tersebut. Seseorang yang menjadi korban suatu kejahatan seyogyanya mengetahui bahwa ada kaidah hukum yang akan mengakomodir kerugian materiil dari seseorang yang menjadi korban kejahatan tertentu. Namun ketidaktahuan masyarakat ini menjadi tanggungjawab aparat penegak hukum dalam melindungi kepentingan hukum dari korban kejahatan. Artinya Polisi, Jaksa dan Hakim berkewajiban menyampaikan hak dari korban kejahatan ini untuk mendapatkan ganti kerugian sebagaimana dalam ketentuan undang undang.

Gagasan untuk memberi kompensasi kepada korban oleh Negara / masyarakat memang bergantung kepada kemampuan dan kondisi masing masing Negara. Namun hal ini sudah saatnya masalah ini dikembangkan. Kalau tersangka / terdakwa saja mendapat perlindungan dan bantuan dari Negara untuk memperoleh hak rehabilitasi, ganti rugi dan bantuan hukum Cuma-Cuma dalam hal tertentu maka wajar apabila korbanpun mendapatkan perhatian yang sama dari Negara. [5]. Pemahaman akan perbandingan anatar korban dan pelaku kejahatan ini harus kita maknai sebagai suatu pemerataan keadilan oleh Negara.

Argumentasi yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argumen kontrak social dan argumen solidaritas sosial. Yang pertama menyatakan bahwa Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi social terhadap kejahatan dan melarang tindakan – tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, bila terjadi kejahatan dan membawa korban, Negara harus bertanggungjawab untuk memerhatikan kebutuhan para korban tersebut. Yang disebut terakhir, menyatakan bahwa Negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warga negaranya mengalami kesulitan melalui kerjasama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana- sarana yang disediakan oleh Negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak. [6]

Perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni, penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dalam rangka konsep pengaturan terhadap perlindungan korban kejahatan, pertama – tama yang harus diperhatikan adalah esensi kerugian yang diderita si korban. Ternyata esensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat material atau penderitaan fisik saja melainkan juga yang bersifat psikologis. Hal ini dalam bentuk “trauma kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum “. Simpton dari sindrom tersebut dapat berupa “ kegelisahan, rasa curiga etnisme, depresi, kesepian, dan berbagai perilaku penghindaran lainnya. [7]

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hokum pidana (penal policy) itu tidak hanya focus pada offender melainkan kepada korban dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya apa yang tercantum pada pasal 5 angka (1) mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban terutama dalam hal adanya perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.mendapatkan informasi berupa perkembangan kasus yang dialaminya dalam proses persidangan hingga putusan hakim dari pengadilan, mengetahui terpidana dibebaskan, dan memperoleh kompensasi, restitusi, dan jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial. Dengan demikian, pembaharuan hokum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hokum pidana (penal policy) akan kembali pada nilai filosofi dasarnya yakni, Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.[8]

Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitan (fisik, mental, atau materill) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya perasaan sakit dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan gati kerugian karena dikhawatikan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.

Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, meliputi :
  1. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan ;
  2. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi ;
  3. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku ;
  4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum ;
  5. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya ;
  6. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis ;
  7. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan ;
  8. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dnegan kejahatan yang menimpa korban ;
  9. Hak atas kebebasan pribadi / kerahasiaan pribadi, seperti merahasiaakan nomor telepon atau identitas korban lainnya ;
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan:[9]
  1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga social, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
  2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  4. Pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. Pelayanan bimbingan rohani.
Paradigma lainnya yang terus berkembang adalah konsep restorative justice, Konseprestorative justice secara terbatas telah ditetapkan dalam sejumlah regulasi, misalnya dalam UU Peradilan anak. Konsep restorative justice juga tampak dimasukkan dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP, yang terlihat dengan munculnya berbagai model penghukuman yang bukan hanya hukuman penjara, dan mengatur model-model penyelesaian perkara diluar pengadilan untuk kejahatan-kejahatan tertentu. Penerapan konsep ‘restorative justice’ ini, merujuk pada praktik atas sistem keadilan modern, mempunyai kekuatan untuk mengembalikan posis korban dalam posisi penting, setara dengan jaminan hak-hak kepada para tertuduh.

Pembaruan hukum acara pidana, perlu melihat kembali berbagai pendekatan untuk memastikan perlindungan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan, dalam hal ini antara pelaku, saksi dan para korban. Model-model pendekatan semacam crime prevention model, due process, dan sebagainya, terus menghadapai tantangan, sehingga perlu mempertimbangkan berbagai model lainnya untuk mengefektifkan sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya.

Salah satu model yang perlu dipertimbangkan adalah model pendekatan hak-hak korban (victims rights approach), yang dikombinasikan dengan dengan pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan ini bukan semata-mata menjadikan korban sebagai pihak yang mempengaruhi semua keputusan, tetapi juga menghormati hak-hak tertuduh. 

Pendekatan ini menekankan pada bagaimana menempatkan korban kejahatan sebagai jantung dari sistem peradilan pidana (the heart of criminal justice system). Terdapat setidaknya 3 hal untuk melakukan pendekatan ini; pertama, pemusatan secara praktis, yakni memastikan sistem administrasi dan keuangan tersedia untuk menjamin bahwa pelayanan dan fasilitas disediakan secara konsisten dan otomomatis kepada semua korban, tidak hanya dipengadilan, dan dengan adanya badan-badan khusus atau pelayanan saksi-saksi. Hal ini termasuk hak-hak pelayanan standar seperti informasi, layanan psikologis, pelayanan yang disediakan kepada korban dalam memberikan bukti-bukti, dan sebagainya. Keberhasilannya, sangat ditentukan pada penegak hukum atau aparatus yang proaktif dengan dukungan sumber daya yang memadai. Sikap proaktif ini penting khususnya ketika menghadapi kebutuhan saksi dan korban.

Kedua, pemusatan kultural, yakni adanya perubahan kultur aparat peradilan pidana untuk memastikan berjalannya proses peradilan yang berpusat kepada korban. Misalnya, penyediaan ruang terpisah kepada saksi-saksi dan korban adalah memberikan dampak pada intimidasi kepada mereka. Penekanan pada aspek kedua ini adalah semua praktisi dan aparat harus memahami tujuan proses peradilan pidana yang berpusat pada korban. Kultur yang perlu berubah misalnya, penundaan proses peradilan yang sering terjadi yang sering disebakan aparat penegak hukum tidak sungguh-sunguh, karena efektivitas manajemen kasus harus dilandasi pada antusiasme semua penegak hukum untuk bekerja sama mencapai tujuan. Perubahan kultur lainnya adalah memastikan tingkat partisipasi korban, mpdel memperlakukan dan penanganan korban, dan sebagainya.

Ketiga, pemusatan pada keterangan (narasi) korban. Dalam banyak kasus, terdapat permasalahan ketika korban memberikan keterangan dalam proses peradilan, yang disebabkan karena adanya interupsi, memaksa korban memberikan keterangan  dengan cara yang tidak biasa dan tidak alami, dan memberikan pertanyaan yang menghasilkan jawaban yang singkat. Proses peradilan yang berbasiskan pada pemusatan korban seharusnya memberikan ruang bagi korban untuk mengkonstruksikan narasinya secara penuh. Namun, hal ini tidak berarti bahwa korban diijinkan untuk mengancam pelaku, saksi-saksi dari pelaku, dan sebainya. Artinya, tetap akan ada batasan-batasan tertentu meski sistem yang dilakukan berbasis pada pemusatan kepada korban.

Aspek lain yang penting dalam konteks pembaruan hukum pidana adalah, memastikan jaminan hak-hak korban. The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985, merupakan salah satu capaian penting terkait dengan hak-hak korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaaan. Dalam Deklarasi ini terdapat pengakuan bahwa suatu kejahatan menyebabkan penderitaan kepada korban (crime does harm to victims). Kemudian, serangkaian dalam perjanjian internasional (international treaty), baik kovenan atau konvensi banyak mengakui dan mengatur hak-hak korban kejahatan secara lebih spesifik.
Pokok-pokok hak korban kejahatan diantaranya mencakup :
  1. Untuk untuk diakui (rights to recognition); seseorang harus diakui sebagai korban terlepas apakah pelaku teridentifikasi, tertangkap, diadili,atau dihukum, dan terlepas apakah ada hubungan antara pelaku dan korban.
  2. Hak atas informasi (right to information); korban berhak mendapatkan informasi, misalnya korban akan menerima informasi saat itu juga ketika melakukan kontak pertama dengan penegak hukum (polisi atau penenegak hukum lainnya). Informasi diberikan dengan cara yang paling efektif, dengan penggunaan teknologi mutakhir. Informasi tersebut setidaknya mencakup; i) bentuk pelayanan yang dapat diterima, bentuk dukungan yang bisa diakses misalnya kesehatan, pelayanan sosial dan pelayanan yang relevan lainnya,  ii) tentang kapan dan bagaimana mereka dapat melaporkan kejahatan dan apakah mereka dapat memilih untuk melaporkan atau tidak, iii) prosedur tentang proses penegakan hukum, iv) peranan mereka dalam peradilan, v) dalam situasi apa mereka akan mendapatkan perlindungan, vi) dalam situasi apa mereka akan mendapatkan bantuan hukum, vii) syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mendapatkan kompensasi, dan sebagainya. Korban juga berhak atas informasi; i) hasil dan perkembangan laporan mereka, ii) perkembangan kasusnya, iii) putusan pengadilan.
  3. Hak atas pendampingan (right to assistance); korban dapat menerima pendampingan material, medis, psikologis, dan sosial dari pemerintah, lembaga sosial, komunitas, dan sebagainya. Pendampingan itu dapat dilakukan melalui badan-badan khusus atau lainnya. Pendampingan dapat berupa; i) pendampingan seketika (misalnya pendampingan medis, dukungan material-shelter, rumah dan transportasi, dan lainnya), ii) pendampingan jangka menengah (keberlanjutan pelayanan dari pendampingan seketika, pelayanan psikologis dan intervensi spiritual, pendampingan untuk kebutuhan finansial, dan lainnya), iii) pendampingan jangka panjang (keberlanjutan pendampingan sebelumnya, memastikan kembalinya korban ke komunitas, pendampingan korban dalam proses peradilan, dan lain sebagainya).
  4. Hak atas reparasi (rights to reparations); restitusi dari pelaku, kompensasi dari negara, rehabilitasi, kepuasan, dan sebagainya.
  5. Hak untuk berpatisipasi (right to participation); Para korban harus mampu berpatisipasi dan terwakili dan proses peradilan untuk mempertahakan kepentingannya. Kepentingan para korban adalah mempunyai suara terkait dengan keamanannya, reparasi kepada mereka dan keadilan. Hak atas partisipasi ini membuat mereka akan mempertahankan kepentingannya dengan cara yang sama dengan pelaku.


[1] Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, PT Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 122-123
[2] Dr. Chairul Huda, SH. MH, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 133
[3] Drs. Dikdik M. Arief Mansur, SH. MH, Elisatris, SH. MH, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 34
[4] Lilik Mulyadi, Upaya hukum yang dilakukan korban kejahatan Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana Dalam putusan Mahkamah Agung RI, Jurnal Hukum dan Peradilan Nomor 1 Volume 1, Mahkamah Agung RI, Jakarta. Hlm. 7 
[5] Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1998. Hlm . 67
[6] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Universitas Diponegoro, 2002, hlm 176
[7] Indrawaldi, SH. MH, Pemidanaan dan Kompensasi Finansial, Varia Peradilan No. 334 September 2013, Mahkamah Agung RI Jakarta, hlm. 91
[8] Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,hal. 212
[9] Ketentuan Undang Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

2 komentar: