REDAKSI PUTUSAN PENGADILAN DALAM PENJATUHAN PIDANA PENJARA SEBAGAI
PENGGANTI “PEMBAYARAN UANG PENGGANTI” DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI:
SEBUAH GAGASAN TENTANG RANCANGAN AMAR PUTUSAN
Oleh : Dr.H.Soedarmadji, SH.MHum.
A. PENDAHULUAN
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga dalam
memberantasnya juga diperlukan lembaga yang luar biasa (extra ordinary institution). Kejahatan tersebut dapat diberantas
dengan cara pre-emtif (yaitu menyelesaikan akar penyebab terjadinya tindak
korupsi), cara preventif (yaitu melakukan pencegahan melalui hukum
administrasi, hukum perdata, dan hukum lain yang terkait), dan cara represif (yaitu
melalui penerapan hukum pidana).
Lembaga-lembaga yang luar biasa tersebut harus ada dalam setiap “cara
pemberantasan,” baik pre-emtif (misalnya mensejahterakan keluarga orang yang
berpeluang melakukan korupsi), cara preventif (misalnya menciptakan lembaga pengawas
keuangan negara yang tangguh), dan cara represif (misalnya menciptakan pengadilan
yang terpercaya).
Pemberantasan tindak pidana korupsi melalui cara represif selalu melibatkan hakim sebagai pemutus perkara. Dalam konteks inilah diperlukan hakim-hakim yang profesional, dalam rangka menghasilkan putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi yang berkualitas. Putusan pengadilan yang berkualitas adalah putusan yang didasarkan pada asapek keadilan, dengan tanpa mengesampingkan aspek kepastian hukum dan aspek kemanfaatan. Semua putusan pengadilan wajib dibuat berdasarkan ketentuan hukum, dan tidak dapat dibenarkan adanya alasan hakim yang menyatakan bahwa demi kepentingan masyarakat dan keadilan, hukum dapat dikesampingkan.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidan khusus, karena itu ancaman pidananya juga khusus tidak sebagaimana tindak pidana lainnya, yaitu meliputi pidana pidana mati, pidana penjara, dan pidana denda (ppidana pokok). Selain itu mungkin juga dijatuhi beberapa pidana tambahan, antara lain pembayaran uang pengganti (Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dalam beberapa perkara, beberapa jenis pidana tersebut dapat dijatuhkan secara bersamaan karena diancam secara kumulatif (yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pembayaran uang pengganti). Namun pada tindak pidana korupsi yang tergolong gratifikasi, pembayaran uang pengganti tidak harus dijatuhkan.
Hukum yang terkait dengan pelaksanaan kewenangan hakim dalam kapasitasnya sebagai pemutus perkara di pengadilan dalam pidana tindak korupsi adalah hukum pidana materiel (yaitu KUHP, UU Tipikor), dan hukum formel (yaitu KUHAP dan UU Tipikor, serta ketentuan pelaksanaan KUHAP baik berupa PP maupun ketentuan hukum yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung). Dalam konteks beracara, agar putusan pengadilan dapat berkkualitas, maka sebagian prasyarat yang harus ada adalah hakim yang profesional,progesif, dan ketentuan hukum acara yang adil dan jelas.
Berkaitan dengan pelaksanaan putusan pidana oleh jaksa, peranan “isi putusan pengadilan” sangat vital. Karena itu, putusan pengadilan harus memenuhi syarat materiel dan syarat formel, serta dapat dilaksanakan (executiable).Ketika suatu putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka jaksa akan dapat mengekseskusi secara tepat. Khusus berkaitan dengan eksekusi pembayaran uang pengganti, selama ini sering terjadi kendala. Dari sisi putusan pengadilan, biasanya dalam amar putusan tidak dicantumkan secara detail mengenai arah eksekusi putusan. Hal ini dapat dipahami karena memang dalam hukum pidana materiel juga ancaman pidananya tidak detail, terutama berkaitan dengan permasalahan “bagaimana jika terpidana hanya mampu membayar sebagian uang pengganti”, bagaimana eksekusi pidana penjara sebagai “pengganti” dari uang pengganti tersebut?
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Mungki Hadipratikto,tunggakan terhadap uang pengganti dalam tindak pidana korupsi yang ada pada kejaksaan di seluruh Indonesia mencapai 5 trilyun rupiah.[1] Bahkan secara umum juga terungkap bahwa pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana ada dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I Tahun 2009, pembayaran uang pengganti yang belum tertagih dari para terpidana korupsi adalah senilai 8,15 triliun rupiah. Kejaksaan Agung Republik Indonesia belum melakukan tindakan apapun untuk menagih tunggakan pembayaran uang pengganti tersebut.[2]Sebagai gambaran khusus, di Kejaksaan Tinggi Maluku, seperti contoh kasus dana keserasian sebesar Rp. 35,5 miliyar. Dari kerugian keuangan negara sebesar Rp. 35,5 milyar terpidana hanya mampu mengembalikan sebesar Rp. 220 juta. Contoh kasus ini terpidana telah mengembalikan sebagian uang yang dikorupsi sebelum perkaranya disidangkan di pengadilan.[3]
Berdasarkan hasil penelitian, eksekusi pidana dalam putusan pembayaran uang pengganti yang tidak dapat dibayar seluruhnya oleh terpidana korupsi, disebabkan oleh 5 hal yaitu sebagai berikut.
a.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tidak mengatur apabila terpidana hanya membayar sebagian pembayaran uang
pengganti.
b.
Kejaksaan belum menggunakan fungsi eksekutorialnya
secara maksimal dalam menagih pembayaran uang pengganti.
c.
Terpidana korupsi lebih memilih menjalani hukuman
subsider pidana penjara/hukum badan daripada membayar uang pengganti.
d.
Penyitaan terhadap harta kekayaan terpidana
dilakukan setelah perkara tindak pidana korupsi berkekuatan hukum tetap.
e.
tidak digunakannya gugatan perdata untuk
penyelesaian pembayaran uang pengganti.[4]
Makalah singkat ini tidak akan membahas mengenai adilkah suatu pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti diganti dengan pidana penjara, melainkan hanya mengkaji (a) apa dasar dibolehkannya hakim membuat putusan yang memuat ukuran pidana penjara (subsider) yang detail sebagai pengganti pembayaran uang pengganti yang tidak dibayar oleh terdakwa, dan (b) bagaimana membuat redaksi rincian pembayaran uang penggantibeserta pidana penjara subsider dalam suatu amar putusan perkara tindak pidana korupsi yang mudah di-ekseskusi oleh jaksa.
B.
PEMBAYARAN UANG PENGGANTI SEBAGAI SALAH SATU JENIS PIDANA TAMBAHAN PADA
PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI, DAN PERMASALAHAN EKSEKUSINYA
Secara teoretik, pengertian tindak pidana korupsi
selalu terkait dengan istilah “korupsi”.
Istilah korupsi tersebut berasal dari kata Bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus”,
berarti kerusakan atau kebobrokan. Tindakan korupsi selalu dikaitkan dengan ketidakjujuran
seseorang di bidang keuangan.[5] Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ‘korupsi’
diartikan, penyelenggaraan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan
pribadi.[6]Dalam terminologi Hukum, istilah corruptberarti berlaku immoral; memutarbalikkan kebenaran. Istilah
corruption dapat berarti menyalahgunakan
wewenang, untuk menguntungkan dirinya sendiri.[7] Dalam konteks kriminalisasi,
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam istilah tersebut tidak mempunyai efek
yuridis sama sekali, sebelum dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, agar kualifikasi tindak pidana korupsi di Indonesia tegas dan terukur, dan ancaman pidananya jelas, maka legislator di Indonesia menerbitkan UU tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1999 yang kemudian diubah tahun 2001 (selanjutnya disebut UU Pemberantasan Tipikor)
Berdasarkan pemikiran tersebut, agar kualifikasi tindak pidana korupsi di Indonesia tegas dan terukur, dan ancaman pidananya jelas, maka legislator di Indonesia menerbitkan UU tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1999 yang kemudian diubah tahun 2001 (selanjutnya disebut UU Pemberantasan Tipikor)
Ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia tidak sesederhana yang dibanyangkan dan dipahami oleh sebagian orang, yaitu seolah-olah tindak pidana korupsi hanyalah kejahatan yang berkaitan dengan Pegawai Negeri dan beberapa perbuatan menggelapkan uang negara, atau perbuatan-perbuatan yang ujung-ujungnya merugikan negara. Mengenai apa yang dianggap oleh sebagian orang itu, sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari ketentuan pidana korupsi. Pengertian tindak pidana korupsi telah jelas diatur dalam 13 pasal dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN Tahun 2001 Nomor 134; TLN No. 4150), yang pada intinya adalah perbuatan setiap orang (orang per orang maupun badan hukum) yang memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dan merugikan negara. Berdasarkan 13 pasal tersebut, terdapat 30 rumusan tentang tindak pidana korupsi. Dari 30 rumusan tindak pidana tersebut, dapat dikelompokkan menjadi menjadi 7 kelompok, yaitu Kerugian Keuangan Negara, Suap Menyuap, Pemerasan, Penggelapan dalam Jabatan, Perbuatan Curang, Benturan Kepentingan dalam Pengadaan (conflick of interest), serta Gratifikasi. Romli Atmasasmita mengungkapkan, BPKP melakukan penelitian pada sekitar tahun 1999-an dan menemukan 14 (empat belas) jenis korupsi di Indonesia, yaitu berbentuk pemerasan pajak, pembayaran fiktif, manipulasi perjalanan dinas, pelelangan proforma, manipulasi tanah, manipulasi kredit, penetapan harga kontrak yang terlalu tinggi (mark-up), kelebihan pembayaran, ke-tekor-an kas, penggunaan dana yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, uang komisi, penggelapan uang negara, pemalsuan dokumen, dan pungutan liar (Pungli).[8] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengertian tindak pidana korupsi sangat luas, namun secara tegas sudah diatur dalam UU.
Sebagaimana berlaku pada tindak pidana umumnya, pelaku tindak pidana korupsi diancam dengan pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokoknya diatur sebagaimana dalam Pasal 10 KUHP, yaitu pidana mati, pidana penjara (semumur hidup dan sementara waktu), pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan, diatur lebih detail dalam UU Pemberantasan Tipikor. Salah satu jenis pidana tambahan adalah pembayaran uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor. Pidana tambahan dalam tindak pidana Korupsi lain dapat berupa:
a.
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang
tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana
tempat tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut;
b.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c.
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu
paling lama 1 (satu) tahun;
d.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada terpidana;
e.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling
lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut;
f.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti, dipidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak melebihi ancaman maksimal dari pidana pokoknya sesuai ketentuan
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo.
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan
dalam putusan pengadilan.
Berdasarkan jabaran di atas dapat dipahami bahwa karena pembayaran uang pengganti merupakan pidana tambahan, maka penjatuhannya tidak mungkin secara mandiri, melainkan selalu mengikuti pidana pokok.
Pelaksanaan (eksekusi) pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tipikortersebut
hanya dapat dijatuhkan maksimal sebanyak harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi tersebut dan waktu pembayarannya paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang
tetap.Namun dalam praktik seringkali eksekusi putusan sulit dilakukan oleh
jaksa sehingga seringkali ada tunggakan pembayaran dalam upaya pengembalian
kerugian Negara. Salah satu sebabnya
adalah putusan pengadilan yang tidak rinci. Mahkamah Agung (MA) dalam banyak
putusan hanya memuat “menjatuhkan uang pengganti sebesar ...” tanpa
mencantumkan durasi (jangka waktu) pidana penjara subsider sebagai cara untuk
memaksa terdakwa mengembalikan uang ke Negara.[9]
Isi amar putusan yang jelas sangat diperlukan oleh jaksa, apalagi berkaitan dengan pembayaran uang pengganti. Urgensi tersebut dapat disimpulkan dari isi Surat Jaksa Agung kepada para jaksa di seluruh Indonesia sebagai berikut. Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada tanggal 2 April 1993 melalui surat Nomor : B- 184/ F/ Fpk/ 4/1993 tentang Putusan Pengadilan yang Tidak memuat hukuman Tambahan berupa uang Pengganti, ternyata terungkap bahwa dari penelitian Jaksa Agung berdasarkan laporan Kejaksaan Tinggi tentang adanya Putusan Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi yang tidak memuat hukum berupa pembayaran uang pengganti sedangkan Jaksa Penuntut Umum menuntut tambahan tersebut, maka apabila dalam putusan Pengadilan Negeri hukuman tambahan berupa pembayaran pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, tidak termuat dalam Putusan Hakim berupa penolakan penjatuhan hukuman tambahan agar Penuntut Umum menyatakan banding. Kemudian diungkap juga bahwa apabila putusan Banding tidak memuat hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti maka agar Penuntut Umum menyatakan kasasi, Sepanjang Jaksa Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa dengan tidak menyebutkan uang pengganti didalam Amar Putusan sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebagai salah satu pertimbangan untuk memulihkan kerugian keuangan negara, yang saat ini negara sangat memerlukan dana pembangunan, hakim mempertimbangkannya tetapi pertimbangannya tidak tepat atau tidak mempertimbangkannya sama sekali, sehingga hakim salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya.
C.
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA YANG MERDEKA SEBAGAI DASAR
KETIDAKBERPIHAKAN HAKIM DALAM MEMBUAT PUTUSAN PENGADILAN DI INDONESIA
Kekuasaan kehakiman di Indonesia merupakan kekuasaan yang merdeka. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketidakberpihakan Kekuasaan Kehakiman tersebut juga mengandung makna perlindungan bagi hakim sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh lain yang mungkin berasal antara lain dari: Lembaga-Iembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif mapun legislatif, dan lain-lain;Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman sendiri;Pengaruh-pengaruh dari pihak yang berperkara;Pengaruh dan tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional; danPengaruh-pengaruh yang bersifat "trial by the press." Kekuasaan hakim yang merdeka dapat mendorong terciptanya putusan pengadilan yang adil.Berdasarkan pemikiran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia merupakan kekuasaan yang merdeka, yaitu bebas dari campur tangan pihak lain, termasuk kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hakim sebagai pelaksana inti kekuasan kehakiman wajib menjaga independensinya (kemerdekaannya) untuk memperbaiki kualitas putusannya.
Peranan hakim dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) sangat besar dan menentukan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana. Hal tersebut bukan hanya terkait dengan pelaksanaan dari sistem peradilan, tetapi yang utama adalah usaha dari sistem peradilan dalam mencapai tujuannya, yaitu usaha yang rasional dari masyarakat dalam upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan.[10] Tujuan akhir dari sistem peradilan pidana adalah perlidungan masyarakat agar dapat mencapai kesejahteraan.
Berkaitan dengan tugas hakim, Schuyt berpendapat bahwa tugas utama hakim dan badan peradilan adalah:
a.
menerapkan dan
menegakkan hukum substantif yang menjadi landasan negara hukum, dengan
mengadakan pengujian hukum yang senantiasa dikembangkan;
b.
menegakkan dan
memelihara hukum, yaitu dengan menerapkan asas dan aturan-aturannya;
c.
menerapkan asas
perlakuan yang sama terhadap pencari keadilan; dan
d.
pengawasan terhadap
kekuasaan dan pelaksanaannya dilakukan oleh unsur-unsur negara dan pemerintah.[11]
Dalam konteks pelaksanaan tugas hakim dalam bidang pemidanaan, KUHP di Indonesia tidak memberikan suatu pedoman pidana yang dapat dipakai sebagai dasar oleh hakim dalam penjatuhan pidana, karena itu sesungguhnya hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan teori yang dapat dijadikan pijakan dalam penjatuhan pidana.[12] Dalam menjalankan kebebasan dalam menentukan pidana inilah hakim sebagai manusia dapat menggunakan daya tafsirnya untuk menentukan pidana yang sesuai dijatuhkan untuk terdakwa. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas hakim, I Nyoman Nurjaya menjelaskan bahwa hakim harus melakukan penalaran deduktif (deductive reasioning) dengan bekal pola pikir yang disebut silogisme; menetapkan kesimpulan dari adanya dua premis, yaitu premis mayor berupa peristiwanya, dan premis minor berupa dasar hukumnya. Meskipun demikian, menurut Alfred Dening, bahwa kegiatan hakim tersebut bukan semata-mata menerapkan silogisme belaka, tetapi spirit hakim ikut menentukan keadilan.[13]
Langkah ini selaras tujuan pendidikan dan pelatihan hakim, yaitu sebagaimana dikemukakan dalam hasil studi Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamah Agung (Puslitbang MA), bahwa tujuan diklat adalah sebagai berikut.
1)
Meningkatkan profesionalisme di kalangan hakim serta mempertajam analisis hakim
terhadap kasus-kasus yang mereka hadapi.
2)
Memperkaya wawasan dan pola pikir peserta diklat
dalam rangka mengantisipasi perubaan dalam aspek
hukum dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi.
3)
memperluas wacana para peserta dengan teori dan
praktik tentang hukum yang berkaitan dengan tugas mereka.meningkatkan
pengetahuan dan wawasan hakim.
4)
Meningkatkan kemampuan dan keterampilan hakim
beracara.
5)
Menjadikan media tukar-menukar informasi dan
pengalaman antarpeserta diklat tentang kasus-kasus yang telah dan mungkin
timbul di masyarakat.
6)
Mendapatkan gambaran tentang persoalan dan kendala
yang dihadapi para hakim dalam melaksanakan tugasnya.
7)
Memperoleh diagnosis yang tepat terhadap munculnya
persoalan yang dihadapi para hakim.[14]
Putusan Hakim yang berkualitas adalah putusan yang didasarkan dengan pertimbangan hukum sesuai fakta yang terungkap di persidangan, sesuai undang-undang dan keyakinan hakim tanpa terpengaruh dari berbagai intervensi eksternal dan internal sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara profesional kepada publik (the truth and justice).[15]
Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa putusan hakim adalah suatu pernyataan hakim, dalam kapasitasnya sebagai pejabat yang diberi wewenang itu oleh UU, berupa ucapan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 anga 11 KUHAP, pengertian putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Putusan pengadilan dalam perkara pidana pada hakikatnya memuat uraian dakwaan dan pembuktian perkara, serta putusan tentang terbukti atau tidaknya suatu dakwaan, dalam bentuk putusan pemidanaan (ditentukan jenis pidana dan masa pidananya), atau putusan bebas, atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
D.
IDE TENTANG REDAKSI PUTUSAN PENGADILAN DALAM PENJATUHAN PIDANA PENJARA
SEBAGAI PENGGANTI PEMBAYARAN UANG PENGGANTI
Putusan pengadilan dalam
perkara pidana mengandung aspek formel maupun materiel. Karena itu putusan
pegadilan harus “benar secara formel” dan “adil secara materiel.” Pengertian “benar secara formel” artinya,
redaksi dan proses pembuatannya wajib mengikuti ketentuan hukum acara, baik
yang diatur dalam KUHAP, Peraturan Pemerintah maupun ketentuan internal di
lingkungan Mahkamah Agung. Sedangkan
pengertian “adil secara materiel,” adalah dalam setiap putusan pengadilan wajib
menguraikan tentang pembuktian unsur-unsur tindak pidana, beserta
pertimbangan-pertimbangan hakim sehingga menggambarkan konstruksi bahwa
perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan
pidana secara dengan bersalah sehingga layak dijatuhi pidana dengan jenis dan
beratnya pidana yang menggambarkan keadilan. Putusan pengadilan yang memenuhi
syarat dalam aspek meteriel maupun formel akan mudah dilaksanakan oleh jaksa.
Jangan sampai, suatu putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi
(misalnya) sulit dieksekusi oleh jaksa, baik dalam mengeksekusi terpidana,
perampasan alat bukti, maupun dalam mengeksekusi barang yang dapat digunakan
sebagai pembayaran uang pengganti (pidana tambahan).
Berkaitan
dengan putusan pengadilan, perlu diingat kembali bahwa sesuai dengan Pasal 193
ayat (3) KUHAP, Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Sesuai
dengan KUHAP, Surat Putusan pemidanaan, dan surat putusan bukan pemidanaan. Pasal
197mengatur sebagai berikut.
(1) Surat putusan pemidanaan memuat :
a.
kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI
KEADILANBERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal,
jenis kelamin,kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.
dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.
pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai
fakta dankeadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh daripemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahanterdakwa;
e.
tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat
tuntutan;
f.
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasarpemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundanganyang menjadi
dasar hukum dari putusan, disertaikeadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa;
g.
hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis
hakimkecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h.
pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah
terpenuhisemua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengankualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i.
ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan
denganmenyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenaibarang bukti;
j.
keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau
keterangandi mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentikdianggap
palsu;
k.
perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap
dalamtahananatau dibebaskan;
l.
hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama
hakimyang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f,
h, i,j, k dan i pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan
dalamundang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada ketentuan yang secara eksplisit melarang hakim membuat putusan yang redaksinya melebihi apa yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP, justru yang diatur adalah putusan pengadilan yang tidak memuat isi sebagaimana diatur dalam Pasal terrsebut. Dengan demikian, secara hukum, hakim boleh membuat putusan yang isinya menjelaskan secara detail tentang pelaksanaan pembayaran uang pengganti.
Berkaitan dengan perumusan pembayaran uang pengganti, dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf h, “pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.” Jika dicermati dalam ketentuan ini, maka ternyata tidak ada ketentuan yang mewajibkan hakim untuk membuat amar putusan pemidanaan secara detail, dan tidak ada pula larangan bagi hakim untuk membuat putusan pemidanaan yang detail. Dengan demikian, maka faktor penentu tantang baik buruknya (bukan adil atau tidaknya) isi amar putusan “pernyataan pemidanaan” adalah mudah atau tidaknya isi perintah pemidanaan dilaksanakan oleh jaksa.
Putusan perkara tindak pidana korupsi yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dapat dieksekusi oleh jaksa sesuai dengan ketentuan hukum. Karena itu, jika putusan tindak pidana korupsi sudah mempunyai kekuatan hukum tetap maka jaksa akan melaksanakan putusan pengadilan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 6 huruf (a) KUHAP, bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian, Pasal 1 ayat (1) KUHAP Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Pasal 30 ayat (1) angka (2) KUHAP diatur bahwa kejaksaan mempunyai wewenang dan fungsi melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pengertian putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dalam perkara pidana dapat diketahui dari Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah:
1. putusan pengadilan tingkat pertama
yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
2. putusan pengadilan tingkat banding
yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. putusan kasasi.
Berkaitan dengan penentuan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, berpedoman pada Surat Jaksa Agung No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009 tentang Petunjuk kepada Jaksa Penuntut Umum dalam membuat Surat Tuntutan yang di dalamnya memuat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yaitu sebagai berikut.
1. Kewajiban membayar uang pengganti
sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi yang dirugikan sebagai
akibat dari tindak pidana korupsi. Amar surat tuntutan: ‘membayar uang
pengganti kepada negara (institusi yang dirugikan) sebesar.......
2. Untuk memberikan rasa keadilan
kepada terpidana yang membayar uang pengganti tetapi hanya sebagian dari pidana
dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supaya ditambahkan klausul: “apabila terdakwa/terpidana membayar uang
pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan
diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai
pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti.
3. Terhadap kewajiban pembayaran
uang pengganti yang terdakwanya lebih dari satu orang supaya di dalam amar
tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa
dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan
kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi. Kesulitan eksekusi
yang terjadi baik menyangkut jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh
masing-masing terdakwa/terpidana maupun terhadap terpidana yang tidak membayar
(atau membayar sebagian) uang pengganti sehingga harus menjalani hukuman badan
sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti tersebut.
4. Apabila tidak diketahui secara
pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing
terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomani untuk menentukan
besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing
terpidana/terdakwa adalah menggunakan kualifikasi turut serta dalam Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHAP.
5. Untuk pelaksanaan petunjuk
penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan
administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan disertai bukti-bukti yang akurat
yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian
keuangan negara oleh Kejaksaan Agung.
Dalam UU Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa pelaksanaan keputusan hakim yang memperhatikan kemanusiaan dan keadilan. Langkah-langkah eksekusi putusan adalah sebagai berikut: Panitera membuat dan menandatangani surat keterangan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Setelah itu, jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan yang dikirim kepada Lembaga Pemasyarakatan (dalah hal eksekusi pidana penjara). Kalau Panitera belum dapat mengirimkan kutipan putusan, oleh karena surat putusan belum selesai pembuatannya, maka kutipan tersebut dapat diganti dengan suatu surat keterangan yang ditandatangani oleh Hakim dan Penitera dan yang memuat hal-hal yang harus disebutkan dalam surat kutipan tersebut. Jaksa setelah menerima surat kutipan atau surat keterangan tersebut, maka harus diusahakan agar putusan Hakim dijalankan secepatnya.
Proses eksekusi putusan pengadilan secara umum diatur dalam Bab XIX KUHAP. Eksekusi hanya bisa dilakukan dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap. Eksekusi dilakukan oleh jaksa sebagaiman a diatur pasal 1 angka 6 junctoPasal 270 KUHAP juncto pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-undang Kejaksaan. Pidana pembayaran uang pengganti tidak diatur di dalam KUHAP, namun diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor.
Dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti maka terpidana diberi tenggang waktu sebulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap untuk melunasinya. Jika dalam waktu yang ditentukan tersebut telah habis maka jaksa sebagai eksekutor negara dapat menyita dan melelang barat benda terdakwa (Pasal 18 ayat (2) UUPemberantasan Tipikor). Jaksa tidak dapat memperpanjang batas waktu terpidana untuk membayar uang penggantinya seperti pidana denda yang diatur pada pasal 273 (2) KUHAP. Pidana pembayaran uang pengganti dan pidana denda memiliki sifat yang berbeda hal ini dapat dilihat bahwasannya pidana uang pengganti merupakan pidana tambahan sedangkan pidana denda merupakan pidana pokok. Menurut Wiryono Prodjodikoro, walaupun jaksa tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran tetapi mengingat bunyi Pasal 18 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor maka jaksa masih dapat menentukan tahap-tahap pembayaran uang pengganti, tetapi tetap tidak melebihi tenggang waktu satu bulan tersebut.
Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 mengatur sebgaai berikut.
(1)
Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan
untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d.
pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana
dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18, juga tidak jelas tentang bagaimana jika
teridana hanya mampu membayar sebagian dari jumlah yang harus dibayar. Berkaitan dengan belum
adanya ketentuan, maka penulis mencoba mengemukakan ide tentang isi redaksi
putusan pemidanaan, khususnya dalam penjatuhan pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti. Ilustrasi uraian putusan adalah sebagai berikut
(misalnya terpidana dijatuhi pidana penjara selama 12 tahun, dan dijatuhi denda
1 milyar, dan diwajibkan membayar uang penggati 10 milyar, atau penjara
pengganti 10 tahun.Pedomannya adalah sebagai berikut.
a.
Jika terpidana hanya mampu membayar uang
pengembalian dengan jumlah sampai 10%dari jumlah uang penggati yang sudah
ditetapkan oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata hartanya
sudah habis), maka terpidana diwajibkan menjalani pidana penjara sebagai “pengganti”pembayaran
uang pengganti selama paling sedikit 9tetapi tidak melebihi 10 tahun.
b.
Jika terpidana mampu membayar uang pengembalian
dengan jumlah paling sedikit 10% dari jumlah uang pengganti yang sudah
ditetapkan oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata
hartanya sudah habis) tetapi belum mencapai 20%, maka terpidana diwajibkan menjalani
pidana penjara sebagai “pengganti” pembayaran uang pengganti selama paling
sedikit 8 tahun tetapi tidak melebihi 9
tahun.
c.
Jika terpidana mampu membayar uang pengembalian
dengan jumlah paling sedikit 20% dari jumlah uang pengganti yang sudah ditetapkan
oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata hartanya sudah
habis) tetapi belum mencapai 30%, maka terpidana diwajibkan menjalani pidana
penjara sebagai “pengganti” pembayaran uang pengganti selama paling sedikit 7
tahun tetapi tidak melebihi 8 tahun.
d.
Jika terpidana mampu membayar uang pengembalian
dengan jumlah paling sedikit 30% dari jumlah uang pengganti yang sudah
ditetapkan oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata
hartanya sudah habis) tetapi belum mencapai 40%, maka terpidana diwajibkan
menjalani pidana penjara sebagai “pengganti” pembayaran uang pengganti selama
paling sedikit 6 tahun tetapi tidak melebihi 7 tahun.
e.
Jika terpidana mampu membayar uang pengembalian
dengan jumlah paling sedikit 40% dari jumlah uang pengganti yang sudah
ditetapkan oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata
hartanya sudah habis) tetapi belum mencapai 50%, maka terpidana diwajibkan
menjalani pidana penjara sebagai “pengganti” pembayaran uang pengganti selama
paling sedikit 5 tahun tetapi tidak melebihi 5 tahun.
f.
Jika terpidana mampu membayar uang pengembalian
dengan jumlah paling sedikit 50% dari jumlah uang pengganti yang sudah
ditetapkan oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata
hartanya sudah habis) tetapi belum mencapai 60%, maka terpidana diwajibkan
menjalani pidana penjara sebagai “pengganti” pembayaran uang pengganti selama
paling sedikit 4 tahun tetapi tidak melebihi 5 tahun.
g.
Jika terpidana mampu membayar uang pengembalian
dengan jumlah paling sedikit 60% dari jumlah uang pengganti yang sudah
ditetapkan oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata
hartanya sudah habis) tetapi belum mencapai 70%, maka terpidana diwajibkan
menjalani pidana penjara sebagai “pengganti” pembayaran uang pengganti selama
paling sedikit 3 tahun tetapi tidak melebihi 4 tahun.
h.
Jika terpidana mampu membayar uang pengembalian
dengan jumlah paling sedikit 70% dari jumlah uang pengganti yang sudah
ditetapkan oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata
hartanya sudah habis) tetapi belum mencapai 80%, maka terpidana diwajibkan
menjalani pidana penjara sebagai “pengganti” pembayaran uang pengganti selama
paling sedikit 2 tahun tetapi tidak melebihi 3 tahun.
i.
Jika terpidana mampu membayar uang pengembalian
dengan jumlah paling sedikit 80% dari jumlah uang pengganti yang sudah
ditetapkan oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata
hartanya sudah habis) tetapi belum mencapai 90%, maka terpidana diwajibkan
menjalani pidana penjara sebagai “pengganti” pembayaran uang pengganti selama
paling sedikit 1 tahun tetapi tidak melebihi 2 tahun.
j.
Jika terpidana mampu membayar uang pengembalian
dengan jumlah paling sedikit 90% dari jumlah uang pengganti yang sudah
ditetapkan oleh pengadilan (sudah termasuk perampasan harta dan ternyata
hartanya sudah habis) tetapi belum mencapai 100%, maka terpidana diwajibkan
menjalani pidana penjara sebagai “pengganti” pembayaran uang pengganti selama
paling sedikit 6 bulan tetapi tidak melebihi 1 tahun.
Ide penulis, jika dilihat dari redaksi memang seperti aneh dan bersifat matematis, namun hal ini justru akan mempermudah jaksa untuk mengeksekusi putusan dan memudahkan uang kerugian negara dapat terbayar.
Ide penulis tentang perlunya penjelasan eksekusi pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti tersebut muncul karena secara faktual mayoritas putusan Pengadilan
Negeri atau Pengadilan Tinggi bahkan Mahkamah Agung, dalam mengadili terdakwa
pelaku perkara tindak pidana korupsi yang menjatuhkan pidana tambahan
pembayaran uang penggganti pada umumnya tidak menguraikan tentang “bagaimana
jika pembayaran uang pengganti tersebut hanya dibayar sebagian”. Contoh putusan-putusan PN tersebut diatas antara
lain sebagai berikut.
a.
Putusan
No. 22/Pid.B/2006/PN.Pwt , yang menghukum terdakwa membayar uang
pengganti, untuk terdakwa Indra Purnomo, S.E., sebesar Rp
32.007.250,- (tiga puluh dua juta tujuh ribu dua ratus lima puluh rupiah) dan
untuk terdakwa Khanif Fauzi, S.Ag, sebesar Rp 62.007.250, (enam puluh dua juta
tujuh ribu dua ratus lima puluh rupiah) jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti maka harta
bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, bila
terpidana tidak bisa membayar uang pengganti tersebut, maka untuk terdakwa
Indra Purnomo, SE dipidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan untuk terdakwa
Khanif Fauzi, S.Ag, dipidana penjara
selama 1 (satu) tahun
b. Putusan No. 27/Pid.B/2006/PN.Pwt, yang menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 31.444.790,- (tiga puluh satu juta empat ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus sembilan puluh rupiah) dengan ketentuan jika dalam jangka waktu 1 (satu bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, apabila tidak bisa membayar uang pengganti tersebut, maka untuk terdakwa dipidana penjara selama 7 (tujuh) bulan;
c. Putusan No. 73/Pid.B/2006/PN.Pwt, yang menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 117.529.000,- (seratus tujuh belas juta lima ratus dua puluh sembilan ribu rupiah) dengan ketentuan jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, bila terpidana tidak bisa membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 1 (satu) tahun;
d. Putusan No. 114/Pid. B/2007/PN.Pwt, yang menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 62.183.000,-m(enam puluh dua juta seratus delapan puluh tiga ribu rupiah) paling lambat 1 (satu) bulan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap, dan apabila setelah lewat 1 (satu) bulan terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta kekayaan Terdakwa dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti, dengan ketentuan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.
e. Putusan Nomor 117/Pid.B/2007. PN.Pwt., yang menghukum kepada terdakwa untuk membayar uang penganti sebesar Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) dan jika dalam waktu 1 (satu) tahun bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut, terdakwa dipidana selama 1 (satu) bulan.
f. Putusan No. 118/Pid.B/2007/PN.Pwt, yang memerintahkan kepada terdakwa agar membayar uang pengganti sebesar Rp 29.750.000,- (dua puluh sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah Putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan bila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut, terdakwa dipidana selama 1 (satu) bulan;
g. Putusan No. 113/Pid.B/2008/PN.Pwt, yang memerintahkan kepada terdakwa agar membayar uang pengganti sebesar Rp 39.165.571,49,- (tiga puluh sembilan juta seratus enam puluh lima ribu lima ratus tujuh puluh satu rupiah empat puluh sembilan sen) dan jika dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut, terdakwa dipidana penjara selama 6 (enam) bulan. [16]
Berdasarkan data putusan pengadilan di atas, selain tidak jelasnya amar
putusan tentang langkah eksekusi putusan pengadilan (jika uang pengganti hanya
di bayar sebagian), ternyata dapat dilihat bahwa hakim ada yang hanya melakukan
“ancaman subsider” pidana penjara yang sangat singkat (misalnya hanya 1 bulan),
sehingga dianggap ringan. Akibatnya, banyak terpidana korupsi yang memilih “pasang
badan” dari pada membayar uang pengganti.
Hal ini juga tampak dalam beberapa Putusan perkara tindak pidana korupsi
berikut.
a. Syarif Muda Hasibuan (di PN Medan) pada bulan Maret 2013. Terdakwa dijatuhi pidana penjara 14 bulan dan denda Rp 50 juta subsider dua bulan penjara. Selain itu, terdakwa diwajibkan membayar Uang Pengganti sebesar Rp 700.000.000, dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan maka harta bendanya dapat disita dan dilelang oleh jaksa, dan jika harta benda terdakwa tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dapat diganti dengan pidana penjara selama tujuh bulan penjara. [17]
b. Yanuelva alias Eva, melalui PN Semarang (tahun 2012) dijatuhi pidana penjara 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara, serta diwajibkan mengembalikan uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 39 miliar subsider empat tahun enam bulan penjara.[18]
Selain tidak jelasnya amar putusan pengadilan tentang perintah eksekusi,
ternyata terpidana
tindak pidana koruspsi kadang tidak segera membayar uang pengganti, meskipun
mampu membayar. Hal ini diketahui dari penelusuran Kompas di Departemen
Keuangan (Depkeu), ternyata baru sedikit terpidana korupsi yang membayar uang
pengganti, yaitu 17 orang. Dari sedikit tersebut, tak semua terpidana membayar
seluruh uang pengganti yang harus dibayar. Bahkan, di antara mereka, pembayaran
yang sudah dilakukan hanya sebagian kecil dari jumlah yang harus dibayarkan.
Misalnya, Mohamad Bob Hasan yang divonis Mahkamah Agung empat tahun, uang
pengganti yang harus dibayarkan adalah 243 juta dollar AS dan denda Rp 15 juta.
Namun, dari bukti setor ke Depkeu, Bob Hasan baru membayar uang pengganti Rp
14,126 miliar dan denda Rp 15 juta. Ricardo Gelael yang seharusnya tanggung
renteng bersama Tommy Soeharto membayar uang pengganti kerugian negara sebesar
Rp 96,6 miliar, ternyata berdasarkan bukti setor ke Depkeu telah membayar Rp
2,950 miliar.[19]Dalam
dokumen BPK yang dimiliki Kompas (22 Agustus 2007) disebutkan, eksekusi
terhadap uang pengganti Rp 6,66 triliun yang telah berkekuatan hukum tetap
belum berhasil ditagih oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurut anggota BPK,
Baharuddin Aritonang, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
tahun 2005, jumlah uang pengganti yang tercatat dalam rekening Kejagung Rp 6,9
triliun. Jumlah dana ini tersebar di sejumlah rekening. Setelah dilaporkan,
dana yang waktu itu sudah disetorkan ke Kantor Kas Negara Rp 2,5 triliun. Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman pada 12 Agustus
2007 menjelaskan, hingga Desember 2006, jumlah keseluruhan uang pengganti
perkara korupsi yang berumur 1 hingga 24 tahun mencapai Rp 6,996 triliun. Dari
jumlah tersebut, yang sudah dibayar oleh terpidana dan disetorkan ke kas negara
baru Rp 10,3 miliar. Pada Rapat Dengar Pendapat tanggal 28 November 2005, Abdul
Rahman melaporkan uang pengganti yang dieksekusi total Rp 2,747 triliun, denda
Rp 227 juta, dan biaya perkara Rp 24.500. Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam
RDP dengan Komisi III, 28 Juni 2007, melaporkan, pada tahun 2006 uang kerugian
negara yang sudah dibayar Rp 1,231 triliun. Lain lagi keterangan Jampidsus
Kemas Yahya Rahman kepada wartawan 13 Agustus 2007, uang pengganti yang disetor
tahun 2006 hanya Rp 10,3 miliar.
E.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dibolehkannya hakim
membuat putusan yang detail dalam amar putusan tentang ketentuan eksekusi
pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti didasarkan pada hakikat
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam membuat redaksi putusan pengadilan
dalam perkara tindak pidana korupsi, khususnya dalam menyusun redaksi
penjatuhan pidana penjara sebagai pengganti (subsider) pembayaran uang
pengganti, hakim dapat membuat sejelas mungkin sepanjang tidak melanggar KUHAP
dan ketentuan internal di lingkungan Mahkamah Agung. Hal ini semua dapat dilakukan karena hakim
mempunyai kebebasan yang ketentuannya dijamin oleh hukum. Terima kasih semoga
bermanfaat.
DAFTAR RUJUKAN
BUKU
Adji, Oemar Seno,
1980. Hukum-Hakim Pidana. Jakarta:
Erlangga.
Atmasasmita, Romli, 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi
Manusia & Penegakan Hukum.Bandung: CV. Mandar Maju.
Handoko, I. P.M. Ranu, 1997. Terminologi Hukum,Jakarta: Sinar Grafika.
Prodjohamidjojo, Martiman.2001. Penerapan Pembuktian
Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999).Bandung: CV Mandar Maju.
Muladi,
1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Nurjaya, I Nyoman.
1985. Segenggam Masalah Aktual tentang
Hukum Acara Pidana dan Kriminologi, Bina Cipta, Jakarta
Soekanto,
Soerjono dan R. Otje Salman, 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yandianto, 2000. Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Bandung: M-2S.
JURNAL ILMIAH
Hadipratikto, Mungki,Eksekusi Putusan Pidana Uang
Pengganti dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jurnal NESTOR Magister Hukum,
Universitas Tanjungpura
Lukas, Ade
Paul, Efektivitas Pidana Pembayaran Uang
Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Tindak Pidana Korupsi di
Pengadilan Negeri Purwokerto), Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Vol. 10 No. 2Mei2010.
HASIL PENELITIAN
Madusira, Muhammad Aras, Eksekusi
Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tesis, UGM.
2011, hlm. Xi
MAKALAH
Kebijakan Peradilan,
Sambutan Ketua MA pada Rakernas MA di Makassar September 2007.
KORAN
Gultom,
Binsar, Kualitas Putusan Hakim Harus
Didukung Masyarakat, Suara Pembaruan, 20 April 2006
INTERNET
Dewi, Novia Chandra, Uang Pengganti Kurang karena
Koruptor Pilih Jalani hukuman Subsider, dari website
http://www.detiknews.com, diakses Tanggal 9 September 2012.
Korupsi Dana Kesbangpol, Syarif Muda Dijatuhi 14 Bulan Penjara, Tribunnews.com, diakses tanggal 1 April 2013.
Mantan
Kadis Pasar Semarang Dipenjara 5 Tahun, http://regional.kompas.com,
diakses tanggal 1 April 2013.
Uang Pengganti; Ke Mana Larinya Dana Hasil Korupsi?,http://www.antikorupsi.org, diakses tanggal 1 April 2013.
Korupsi Ambon,
dari website http://www.kabarinvestigasi.com, diakses Tanggal 1 April 2013.
[1]Mungki Hadipratikto, Eksekusi Putusan Pidana Uang Pengganti dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum NESTOR Universitas Tanjungpura.
[2]Novia Chandra Dewi, Uang Pengganti
Kurang karena Koruptor Pilih Jalani hukuman Subsider, dari website
http://www.detiknews.com, diakses Tanggal 9 September 2012.
[3]Ambon Expres, 14 Oktober 2009, Korupsi
Ambon, dari website
http://www.kabarinvestigasi.com, diakses Tanggal 1 April 2013.
[4]Muhammad Aras Madusira, Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti dalam
Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tesis, UGM. 2011, hlm. xi
[5] Martiman Prodjohamidjojo. Penerapan
Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999).Bandung: CV Mandar Maju,
2001, hlm. 8.
[6] Yandianto, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, M2S, Bandung:, 2000, hlm.284.
[7] I.P.M. Ranu Handoko, “Terminologi
Hukum”, Sinar Grafika, Jakarta:, 1996, hlm.177.
[8] Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia &
Penegakan Hukum.CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 124.
[10]
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. vii.
[11]Soerjono
Soekanto dan R. Otje Salman, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996, p. 113.
[12] Oemar Seno Adji. Hukum-Hakim Pidana. Erlangga, Jakarta,
1980, p. 12
[13] I Nyoman Nurjaya, op. cit., 1983, p. 304.
[14]Pusat
Penelitian dan Pengambangan Mahkamah Agung Republik Indonesia, op.cit, p 13.
[15] Binsar
Gultom, Kualitas Putusan Hakim Harus
Didukung Masyarakat, Suara Pembaruan, 20 April 2006
[16]Ade Paul
Lukas, Efektivitas Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi
(Studi Putusan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Purwokerto), Jurnal
Dinamika Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Vol. 10 No.
2Mei2010
[17]Korupsi Dana Kesbangpol, Syarif Muda Dijatuhi 14 Bulan Penjara, Tribunnews.com, diakses tanggal 1 April 2013.
[18]Mantan Kadis Pasar Semarang Dipenjara
5 Tahun,
http://regional.kompas.com,
diakses tanggal 1 April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar