PIDANA
PENJARA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN
Oleh
:
WARMAN
PRIATNO[1]
BAB
I
PENDAHULUAN
Subjek hukum pidana terdiri
dari segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban. Dalam hukum
pidana Indonesia yang termasuk subjek hukum itu adalah manusia dan korporasi[2]. Setiap orang mempunyai
hak untuk mendapat perlindungan hukum terhadap kepentingannya, akan tetapi
mereka juga mempunyai kewajiban untuk mentaati peraturan-peraturan hukum yang
berlaku di negara dimana mereka tinggal dan saling menghormati terhadap
kepentingan yang ada. Begitu juga dengan keinginan setiap orang akan kebutuhan
atau kepentingannya dapat terpenuhi, oleh karena itu agar tujuan tersebut dapat
tercapai setiap orang harus mengetahui
hak dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak
dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan kaedah, tetapi merupakan perimbangan
kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada
kewajiban pada pihak lawan. Hak dan kewajiban merupakan kewenangan yang
diberikan kepada seseorang oleh hukum[3].
Setiap
perbuatan seseorang yang dilakukan dapat menimbulkan hak dan kewajiban tertentu
di dalam hubungan hukum yang disebut dengan istilah perbuatan hukum. Dimana
akibat dari perbuatan itu memang dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan
tersebut.
Manusia
dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari masalah pelanggaran hukum, baik
yang merugikan negara, masyarakat maupun kepentingan pribadi diwilayah yang
memiliki suatu sistem tertentu sesuai dengan kepribadian, nilai historis,
filosofis bagi rakyat atau masyarakat di negara tersebut. Semua perbuatan yang
bertentangan dengan asas hukum tersebut pelanggaran hukum.
Segala
perilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku akan mengganggu ketentraman dan
ketertiban dalam kehidupan manusia. Penyelewengan terhadap ketentuan hukum
biasanya oleh masyarakat dianggap sebagai suatu kejahatan. Mengenai kejahatan
sebagaimana dikatakan Bambang Waluyo bahwa : “kenyataan telah membuktikan,
bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit diberantas
secara tuntas”[4].
Menurut
Frederich Karl Von Savigny yang dikutip oleh Theo Huijbers yang dikutip oleh
Petrus P Panjaitan dan Samuel Kikilaitety menyatakan bahwa:” Hukum merupakan
salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat,
moral, tata negara, karena itu hukum adalah sesuatu yang bersifat supra
individual, suatu gejala masyarakat, tetapi sesuatu yang lahir dalam sejarah
berkembang dalam sejarah dan lenyap dalam sejarah”[5].
Dari
pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa dimana ada masyarakat, disitu ada hukum
: Ubi Societas Ibi Ius. Dimanapun
kita berada selama ada masyarakat, maka disana akan ada hukum. Hukum di manapun
akan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Hukum selalu tumbuh dari suatu
kebutuhan hidup yang nyata, cara pandangan hidup bangsa dan masyarakatnya yang
keselurahannya merupakan kebudayaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku
Dalam
hukum pidana pelanggaran terhadap ketentuann hukum disebut tindak pidana.
Beberapa pendapat tentang pengertian tindak pidana (Strafbaar Feit), sebagaimana dikatakan D. Simons bahwa :” Memberikan batasan Strafbaar feit adalah perbuatan salah
dan melawan hukum, yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab, dan Prof. Van Hammel mengemukakan
perumusannya sama seperti Simons, hanya saja Van Hammel menambah satu syarat
yaitu perbuatan itu harus pula patut dipidana. Tindak pidana merupakan suatu
serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain.
Dalam
hukum pidana sebagaimana dikemukakan Moeljatno bahwa : hukum tentang kejahatan
adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, pidana adalah
reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja
ditimpakan negara pada pembuat delik. Lebih lanjut Muladi dan Barda Nawawi
Arief membedakannya dalam arti umum dan dalam arti konkrit. Dalam arti umum
proses pemidanaan merupakan wewenang pembuat peraturan perundang-undangan, hal
ini pemerintah berdasarkan asas legalitas, sedangkan dalam arti konkrit pemidanaan berkaitan dengan penetapan
pidana melalui infrasruktur penitensier (Hakim,
Lembaga Pemasyarakatan dan sebagainya) dengan demikian hukum pidana ini
merupakan aturan tertulis yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang dan
berkonsekuensi sanksi pidana bagi pelanggarnya[6].
Terhadap pelanggaran
ketentuan hukum atau tindak pidana dikenakan sanksi Adapun jenis-jenis sanksi
pidana yang diterapkan dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam Pasal 10
KUHP yaitu : a pidana pokok yang terdiri Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana
Kurungan, Pidana Denda, Pidana Tutupan, dan pidana tambahan yaitu Pencabutan
Hak-Hak Tertentu, Perampasan Barang-Barang Tertentu, Pengumuman Putusan Hakim[7].
BAB II
PEMBAHASAN
Kejahatan
atau tindak pidana selalu berkembang mengikuti pergerakan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat kemajuannya dalam era globalisasi
ini. Penanganan dalam menghadapi perkembangan kejahatan atau tindak pidana
tersebut ditangani oleh kepolisian yang kemudian ditindaklanjuti dalam tahap
peradilan sampai adanya keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan mereka bersalah dan patut diberikan ganjaran atau hukuman pidana.
Pelimpahan dan pelaksanaan suatu hukuman pidan tersebut selanjutnya diberikan
kewenangannya kepada pihak lembaga pemasyarakat (LAPAS) untuk dilaksanakan
sesuai dengan keputusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, yang kemudian
para nara pidana tersebut menjadi warga binaan Lembaga Permasyarakatan
tersebut.[8] Lembaga Permasyarakatan
merupakan tempat untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan dimana
pengertian Klien Pemasyarakatan itu sendiri merupakan nara pidana yang menjadi
warga binaan.
Sebagai
salah satu sarana penanggulangan kejahatan, pidana penjara merupakan jenis
pidana yang telah mendunia, karena jenis pidana ini dapat dijumpai dalam semua
peraturan hukum pidana Negara – Negara manapun. Namun bagaimana efektifitas
pidana penjara ini R. M Jackson mengemukakan, bahwa pidana penjara termasuk
jenis pidana yang relative kurang efektif. [9]
Segala jenis hukuman (selain hukuman mati dan hukuman seumur hidup)
yang diberikan kepada narapidana, bertujuan agar para narapidana yang melanggar
hukum (melakukan tindak pidana)
menyadari kekeliruannya, dan insyaf tidak akan mengulangi lagi perbuatan
melanggar hukum tersebut.
Istilah pemasyarakatan
sendiri muncul setelah adanya istilah penjara, di mana pada sistem penjara
tujuan utamanya adalah memberikan penderitaan kepada pelaku tindak pidana, agar
mereka merasa jera dan tidak akan mengulangi tindak pidana setelah mereka lepas
nantinya. Narapidana merupakan objek kekejaman bagi petugas Lembaga
Pemasyarakatan tanpa mengenal perikemanusiaan, oleh karena itu sistem penjara
tidak sesuai lagi dengan sistem kemerdekaan Indonesia sebagai negara hukum.
“Sistem Pemasyarakatan
diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi
manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat
aktif berperan dalam pembangunan, dam dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab”[10].
Pengertian
pemasyarakatan dimulai sejak Sahardjo menyampaikan pidato penganugerahan gelar
Doctor Honoris Causa pada tanggal 5 juli 1963 dengan judul: “Pohon Beringin
Pengayom Hukum Pancasila/Manipol Usdek.” Adapun sebagian isi pidatonya yang
menyangkut nasib terpidana di dalam penjara adalah sebagai berikut: “tujuan
pidana penjara ialah pemasyarakatan dari rumusan ini terang, bahwa tidak saja
masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana,
melainkan juga orang yang tersesat di ayomi dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu
nyata, bahwa menjatuhkan pidana tidak dapat dengan penyiksaan, melainkan dengan
bimbingan, terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana
hilang kemerdekaan”[11].
Dari
pidato ini lahirlah periode pemasyarakatan. Pada tanggal 27 April 1964
dilakukan konferensi dinas kepala-kepala penjara se-Indonesia di Lembang
Bandung merupakan tonggak sejarah
perbaikan nasib para narapidana selama menjalani hukuman.
Sistem
penjara diganti menjadi sistem pemasyarakatan, tujuannya untuk memperbaiki
citra buruk penjara yang sangat kejam, ganas serta tidak memperhatikan hak-hak
narapidana. Dasar memperbaiki keadaan penjara yang buruk itu termuat dalam
Surat Keputusan Direktorat Pemasyarakatan No. KP . 10 .13 / 31. Jakarta 8
februari 1965. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu
proses terapeutik dimana narapidana pada waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan
dianggap berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakatnya, mempunyai
hubungan negatif dengan beberapa unsur-unsur masyarakat dan karena itu perlu
mendapatkan pembinaan agar nantinya dapat menyatu kembali dengan utuh didalam
masyarakat dengan nilai keharmonisan[12].
Dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan
bahwa didalam Sistem Pemasyarakatan terdapat beberapa istilah yang perlu
diperhatikan yaitu[13]:
1. Pemasyarakatan adalah
kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem
pemidanaan dalam tara peradilan;
2. Sistem Pemasyarakatan adalah
suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu antara
Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat
aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab;
3. Lembaga Pemasyaraaktan
yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan;
4. Balai Pemasyarakatan
yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan
klien pemasyarakatan;
5. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah
narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan;
6. Terpidana adalah
seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap;
7. Narapidana adalah
Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaaan di LAPAS;
8. Anak Didik Pemasyarakatan adalah:
a.
Anak
Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di LAPAS Anak paling lama samapai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b.
Anak
Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
c.
Anak
Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama berumur
18 (delapan belas) tahun.
9. Klien Pemasyarakatan yang
selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS.
Tujuan
yang hendak dicapai dari pemasyarakatan adalah agar tidak terjadi dendam
diantara sesama warga masyarakat akibat kejahatan. Dengan demikian.
Pemasyarakatan adalah suatu proses interaktif di mana unsur-unsur tertentu
masing-masing bias menjalankan perannya secara wajar. Unsur-unsur yang termasuk
dalam proses interaktif tersebut adalah : narapidana, petugas Lembaga
Pemasyarakatan serta masyarakat yang saling berkepentingan semuanya
bersama-sama masyarakat.
Adapun
prinsip-prinsip Lembaga pemasyarakatan:
1. Orang
yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang
baik dan berguna dalam masyarakat;
2. Penjatuhan
pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari Negara;
3. Rasa
tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan bimbingan;
4. Negara
tidak berhak membuat seseoarang terpidana lebih buruk atau lebih jahat dari
pada sebelum ia masuk lembaga;
5. Selama
kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat
dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;
6. Pekerjaan
yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya
diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja, pekerjaan yang
diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan;
7. Bimbingan
dan didikan harus berdasarkan pancasila;
8. Tiap
orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah
tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa itu penjahat;
9. Narapidana
itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan;
10. Sarana
fisik bangunan lembagadewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan
sistem pemasyarakatan.
Dari
prinsip-prinsip diatas, pemikiran dan tujuan Sahardjo menetapkan pemasyarakatan
sebagai tujuan pidana penjara yaitu antara lain:
1. Sebagai
upaya mengatasi kecenderungan buruk yang terjadi di penjara pada masa kolonial
Belanda, dimana pada masa ini, walaupun penjara sudah “modern” namun dalam
pelaksanaannya banyak menimbulkan efek negatif dari pelaksanaan hukuman,
disamping itu juga, perlakuan terhadap narapidana yang cenderung mengabaikan hak-haknya;
2. Pemasyarakatan
sebagai tujuan pidana penjara adalah suatu cara untuk membimbing terpidana agar
bertobat, dengan jalan mendidik. Dalam hal ini, bimbingan dan didikan diarahkan
untuk membentuk kesadaran hukum maupun kesadaran
bermasyarakat.
Pemasyarakatan
sebagai tujuan pidana penjara adalah suatu proses dimana metodenya adalah
sistem pemasyarakatan. Dalam hal ini sistem pemasyarakatan dijadikan suatu
pedoman maupun arah pembinaan yang harus dipedomani oleh petugas maupun
narapidana pada saat menjalani pidana.
Disamping
bertujuan mengembalikan narapidana kemasyarakat pemasyarakatan juga bertujuan
agar narapidana tidak terasing dari lingkungan sosialnya, yang dilakukan
melalui asimilasi. Dalam pada itu juga ada keterkaitkan emosi yang hendak
dicapai dari keterlibatan masyarakat dalam proses penerimaan kembali. Oleh
karena itu, masyarakat menjadi salah satu unsur yang berpengaruh dalam proses
pemulihan hubungan sosial, di sini masyarakat atau keluarga yang dirugikan
setidak-tidaknya dapat mempercayai proses pembinaan dan didikan yang dijalani
narapidana.
Dalam
Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa
Lembaga Pemasyarakatan menjalankan sistem Pemasyarakatan pelaksanaannya
berdasarkan asas:
1. Pengayoman;
2. Persamaan
perlakuan dan pelayanan;
3. Pendidikan;
4. Pembimbingan;
5. Penghormatan
harkat dan martabat manusia;
6. Kehilangan
kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;
7. Terjaminnya
hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Asas-asas
tersebut harus ditaati oleh Lembaga Pemasyarakatan dalam menjalankan sistem
pemasyarakatan adapun pengertian dari asas tersebut adalah[14]:
Yang
dimaksud “pengayoman” (angka 1)
adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi
masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana yang dilakukan oleh Warga
Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna didalam masyarakat.
Yang
dimaksud dengan “persamaan perlakuan dan
pelayanan” (angka 2) adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama
kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.
Yang
dimaksud dengan “pendidikan dan
pembimbingan” (angka 3 dan angka 4) adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan
dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa
kekeluargaan, keterampilan pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk
menunaikan ibadah.
Yang
dimaksud dengan “penghormatan harkat dan
martabat manusia” (angka 5) adalah bahwaa sebagai orang yang tersesat Warga
Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.
Yang
dimaksud dengan “kehilangan kemerdekaan
merupakan satu-satunya penderitaan” (angka 6) adalah Warga Binaan
Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS
untuk jangka waktu tertentu, sehingga Negara mempunyai kesempatan penuh untuk
memperbaikinya. Selama di LAPAS, Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh
hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya
tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum,
pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga atau rekreasi.
Sedangakan
yang dimaksud dengan “terjaminnya hak
untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu” (angka 7) adalah
bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada dalam LAPAS, tetapi harus
tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakatdan tidak boleh diasingkan
dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat yang bebas, dan
kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti
mengunjungi keluarga.
Pembinaan terhadap narapidana dan anak didik didasarkan
kepada Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun1990, tanggal 10 April 1990, telah menetapkan empat tahap proses pembinaan
narapidana dan anak didik melalui Lembaga Pemasyarakatan, yaitu:
1. Tahap admisi-orientasi (0-1/3);
2. Tahap asimilasi (1/3-1/2);
3. Tahap lepas bersyarat (1/2-2/3) dan;
4. Tahap bebas (2/3-habis masa pidana).
Tahap pertama
; terhadap
setiap Narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian
untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab ia
melakukan tindak pidana dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat
diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban
itu sendiri, serta dari petugas instansi yang menangani perkaranya.
Pembinaan ini disebut pembinaan tahap awal, dimana
kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan
perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang
waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus narapidana sampai dengan
1/3 (sepertiga) dari masa pidananya.
Pembinaan ini masih dilakukan dalam Lapas dan pengawasannya maksimum (maksimum security).
Tahap kedua; jika proses
pembinaan terhadap Narapidana yang bersangkutan telah berlangsung
selama-lamanya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim
Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain keinsyafan,
perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lapas,
maka kepada Narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan
di tempatkan pada Lapas melalui medium
security.
Tahap Ketiga; jika proses
pembinaan terhadap narapidana
telah dijalani ½ dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat
Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, baik secara fisik ataupun
pembinaannya diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua
bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai
dengan ½ dari masa hukumannya. Pada pembinaan ini masih dilaksanakan di dalam lapas dan pengawasannya sudah mamasuki tahap medium security. Tahap kedua dimulai
sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam
tahap lanjutan ini narapidana
sudah memasuki tahap assimilasi dan selanjutnya dapat diberikan Pembebasan
Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan minimum security.
Tahap Keempat; jika proses
pembinaan telah menjalani 2/3 dari masa yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya
9 bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir yaitu kegiatan berupa
perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya
tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dan narapidana yang bersangkutan. Pembinaan pada tahap ini
terhadap narapidana yang
memenuhi syarat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan
pembinaan ini dilakukan di luar Lapas oleh BAPAS. Pembimbingan adalah pemberian
tuntutan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan YME, intelektual,
sikap dan perilaku profesional kesehatan jasmani dan rohani klien
pemasyarakatan.
Berdasarkan pola pembinaan di atas, maka Sistem
Pemasyarakatan pada hakekatnya membutuhkan tenaga-tenaga ahli seperti psyhiater, psycolog, sosiolog,
kriminolog, dokter, dan lain-lain. Tugas-tugas tersebut bukan saja besar
cakupannya tetapi juga sangat berat dalam pelaksanaannya, apa lagi hal tersebut
dikaitkan dengan “Sistem Peradilan Pidana terpadu” (Integrarted Criminal Justice System), maka Lembaga Pemasyarakatan
merupakan ujung tombak dalam upaya penegakan hukum.
Sejak tahun 1964, penjara
sudah berubah menjadi “Lembaga Pemasyarakatan“. Prinsip-prinsip perlakuan
terhadap pelanggar hukum, terpidana dan narapidana sudah berubah dari prinsip
kepenjaraan menjadi prinsip pemasyarakatan yang kemudian disebut dengan sistem
pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk mencapai tujuan
pembinaan melalui program-program pendidikan dan rehabilitasi Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP). Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, Warga Binaan
Pemasyarakatan dibina dan diamankan untuk jangka waktu tertentu agar nantinya
dapat hidup kembali di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana disebut dalam
Pasal 3 Undang – undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai
berikut : “Sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan
Pemasyarakatan agar dapat kembali secara sehat dengan masyarakat, sehingga
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab”.
Sedangkan tujuan
memasyarakatkan narapidana antara lain : 1. Berusaha agar narapidana atau anak
didik tidak melanggar hukum lagi di masyarakat kelak. 2. Menjadikan narapidana
atau anak didik sebagai peserta yang aktif dan kreatif dalam pembangunan. 3.
Membuat narapidana atau anak didik kelak berbahagia di dunia dan akhirat.
Narapidana juga dapat segera kembali kepada keluarga dan lingkungan
masyarakatnya sehingga dapat kembali aktif berperan dalam pembangunan serta
hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.
BAB III
PENUTUP
Ironis, hampir
seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia
selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam
menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana
“kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di
restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju
keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya
penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang
dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang
disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong
untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya
dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa
diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan
“pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku
kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam
institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.
Kebutuhan dan
keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses restorative
justice. Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam
proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang
dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana
diabaikan. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke
dalam masyarakat. Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan
pertukaran informasi antara korban dan pelaku tindak pidana secara langsung dan
terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan di antara keduanya sebagai
hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Jakarta,
2008,
Bambang
Waluyo. 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta,
Dwidja
Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana
Penjara di Indonesia, Jakarta
Ishaq,
Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta,
2008,
Muladi dan Barda
Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum
Pidana, Alumni, Bandung,
Dr. H. P. Panggabean,
SH. M.S, Penanganan berbagai Hak – hak
warga binaan LP dalam pratik sehari – hari, VARIA
Peradilan No.332 Juli 2013. Mahkamah Agung RI, Jakarta
Petrus
Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety. 2007, Pidana Penjara Mau Kemana, HIC, Jakarta.
Shinta Agustina dan
Yusrida, Penerapan Pidana Penjara Jangka Pendek Dalam Kerangka Sistem
Pemasyarakatan, JURNAL HUKUM YUSTISIA, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
No. 11 Th XI/2002, Padang.
Kutipan dari sebagian
pidato pada acara pengngkatan gelar Doctor
Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia kepada Sahardjo. Yang dikutip oleh Petrus
Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
Undang-Undang
No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
.
Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1955 Nomor 77.
[6] Muladi dan Barda Nawawi
Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, hlm
14.
[8] Dr. H.
P. Panggabean, SH. M.S, Penanganan
berbagai Hak – hak warga binaan LP dalam pratik sehari – hari, VARIA
Peradilan No.332 Juli 2013. Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal 40
[9] Shinta Agustina dan Yusrida,
Penerapan Pidana Penjara Jangka Pendek Dalam Kerangka Sistem Pemasyarakatan,
JURNAL HUKUM YUSTISIA, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS No. 11 Th XI/2002, Padang, hal. 10
Terima kasih atas makalahnya, sangat bermanfaat, Kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkat kinerja dan menerapkan apa-apa yang sudah dituangkan dalam UU, agar fungsi pemasyarakatan dapat berjalan sebagaimana mestinya, salam Lapas Sarolangun
BalasHapus