Sabtu, 29 November 2014

PIDANA PENJARA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN



PIDANA PENJARA DALAM SISTEM PEMASYARAKATAN 
Oleh :

WARMAN PRIATNO[1]

BAB I
PENDAHULUAN

Subjek hukum pidana terdiri dari segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban. Dalam hukum pidana Indonesia yang termasuk subjek hukum itu adalah manusia dan korporasi[2]. Setiap orang mempunyai hak untuk mendapat perlindungan hukum terhadap kepentingannya, akan tetapi mereka juga mempunyai kewajiban untuk mentaati peraturan-peraturan hukum yang berlaku di negara dimana mereka tinggal dan saling menghormati terhadap kepentingan yang ada. Begitu juga dengan keinginan setiap orang akan kebutuhan atau kepentingannya dapat terpenuhi, oleh karena itu agar tujuan tersebut dapat  tercapai setiap orang harus mengetahui hak dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

      Hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan kaedah, tetapi merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lawan. Hak dan kewajiban merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum[3].

            Setiap perbuatan seseorang yang dilakukan dapat menimbulkan hak dan kewajiban tertentu di dalam hubungan hukum yang disebut dengan istilah perbuatan hukum. Dimana akibat dari perbuatan itu memang dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut.

            Manusia dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari masalah pelanggaran hukum, baik yang merugikan negara, masyarakat maupun kepentingan pribadi diwilayah yang memiliki suatu sistem tertentu sesuai dengan kepribadian, nilai historis, filosofis bagi rakyat atau masyarakat di negara tersebut. Semua perbuatan yang bertentangan dengan asas hukum tersebut pelanggaran hukum.

Segala perilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang  berlaku akan mengganggu ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan manusia. Penyelewengan terhadap ketentuan hukum biasanya oleh masyarakat dianggap sebagai suatu kejahatan. Mengenai kejahatan sebagaimana dikatakan Bambang Waluyo bahwa : “kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit diberantas secara tuntas”[4].

Menurut Frederich Karl Von Savigny yang dikutip oleh Theo Huijbers yang dikutip oleh Petrus P Panjaitan dan Samuel Kikilaitety menyatakan bahwa:” Hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, tata negara, karena itu hukum adalah sesuatu yang bersifat supra individual, suatu gejala masyarakat, tetapi sesuatu yang lahir dalam sejarah berkembang dalam sejarah dan lenyap dalam sejarah”[5].

Dari pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa dimana ada masyarakat, disitu ada hukum : Ubi Societas Ibi Ius. Dimanapun kita berada selama ada masyarakat, maka disana akan ada hukum. Hukum di manapun akan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Hukum selalu tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara pandangan hidup bangsa dan masyarakatnya yang keselurahannya merupakan kebudayaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku

Dalam hukum pidana pelanggaran terhadap ketentuann hukum disebut tindak pidana. Beberapa pendapat tentang pengertian tindak pidana (Strafbaar Feit), sebagaimana dikatakan D. Simons bahwa :Memberikan batasan Strafbaar feit adalah perbuatan salah dan melawan hukum, yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab, dan Prof. Van Hammel mengemukakan perumusannya sama seperti Simons, hanya saja Van Hammel menambah satu syarat yaitu perbuatan itu harus pula patut dipidana. Tindak pidana merupakan suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain.

Dalam hukum pidana sebagaimana dikemukakan Moeljatno bahwa : hukum tentang kejahatan adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. Lebih lanjut Muladi dan Barda Nawawi Arief membedakannya dalam arti umum dan dalam arti konkrit. Dalam arti umum proses pemidanaan merupakan wewenang pembuat peraturan perundang-undangan, hal ini pemerintah berdasarkan asas legalitas, sedangkan dalam arti  konkrit pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrasruktur penitensier (Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan sebagainya) dengan demikian hukum pidana ini merupakan aturan tertulis yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang dan berkonsekuensi sanksi pidana bagi pelanggarnya[6].

Terhadap pelanggaran ketentuan hukum atau tindak pidana dikenakan sanksi Adapun jenis-jenis sanksi pidana yang diterapkan dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam Pasal 10 KUHP yaitu : a pidana pokok yang terdiri Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, Pidana Denda, Pidana Tutupan, dan pidana tambahan yaitu Pencabutan Hak-Hak Tertentu, Perampasan Barang-Barang Tertentu, Pengumuman Putusan Hakim[7].
    BAB II
PEMBAHASAN

Kejahatan atau tindak pidana selalu berkembang mengikuti pergerakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat kemajuannya dalam era globalisasi ini. Penanganan dalam menghadapi perkembangan kejahatan atau tindak pidana tersebut ditangani oleh kepolisian yang kemudian ditindaklanjuti dalam tahap peradilan sampai adanya keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan mereka bersalah dan patut diberikan ganjaran atau hukuman pidana. Pelimpahan dan pelaksanaan suatu hukuman pidan tersebut selanjutnya diberikan kewenangannya kepada pihak lembaga pemasyarakat (LAPAS) untuk dilaksanakan sesuai dengan keputusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, yang kemudian para nara pidana tersebut menjadi warga binaan Lembaga Permasyarakatan tersebut.[8] Lembaga Permasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan dimana pengertian Klien Pemasyarakatan itu sendiri merupakan nara pidana yang menjadi warga binaan.
Sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan, pidana penjara merupakan jenis pidana yang telah mendunia, karena jenis pidana ini dapat dijumpai dalam semua peraturan hukum pidana Negara – Negara manapun. Namun bagaimana efektifitas pidana penjara ini R. M Jackson mengemukakan, bahwa pidana penjara termasuk jenis pidana yang relative kurang efektif. [9]
Segala jenis hukuman (selain hukuman mati dan hukuman seumur hidup) yang diberikan kepada narapidana, bertujuan agar para narapidana yang melanggar hukum (melakukan tindak pidana) menyadari kekeliruannya, dan insyaf tidak akan mengulangi lagi perbuatan melanggar hukum tersebut.

Istilah pemasyarakatan sendiri muncul setelah adanya istilah penjara, di mana pada sistem penjara tujuan utamanya adalah memberikan penderitaan kepada pelaku tindak pidana, agar mereka merasa jera dan tidak akan mengulangi tindak pidana setelah mereka lepas nantinya. Narapidana merupakan objek kekejaman bagi petugas Lembaga Pemasyarakatan tanpa mengenal perikemanusiaan, oleh karena itu sistem penjara tidak sesuai lagi dengan sistem kemerdekaan Indonesia sebagai negara hukum.

“Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dam dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”[10].

Pengertian pemasyarakatan dimulai sejak Sahardjo menyampaikan pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa pada tanggal 5 juli 1963 dengan judul: “Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila/Manipol Usdek.” Adapun sebagian isi pidatonya yang menyangkut nasib terpidana di dalam penjara adalah sebagai berikut: “tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan dari rumusan ini terang, bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang tersesat di ayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata, bahwa menjatuhkan pidana tidak dapat dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan, terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana hilang kemerdekaan”[11].

Dari pidato ini lahirlah periode pemasyarakatan. Pada tanggal 27 April 1964 dilakukan konferensi dinas kepala-kepala penjara se-Indonesia di Lembang Bandung  merupakan tonggak sejarah perbaikan nasib para narapidana selama menjalani hukuman.

Sistem penjara diganti menjadi sistem pemasyarakatan, tujuannya untuk memperbaiki citra buruk penjara yang sangat kejam, ganas serta tidak memperhatikan hak-hak narapidana. Dasar memperbaiki keadaan penjara yang buruk itu termuat dalam Surat Keputusan Direktorat Pemasyarakatan No. KP . 10 .13 / 31. Jakarta 8 februari 1965. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses terapeutik dimana narapidana pada waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan dianggap berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakatnya, mempunyai hubungan negatif dengan beberapa unsur-unsur masyarakat dan karena itu perlu mendapatkan pembinaan agar nantinya dapat menyatu kembali dengan utuh didalam masyarakat dengan nilai keharmonisan[12].

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa didalam Sistem Pemasyarakatan terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan yaitu[13]:
1.      Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tara peradilan;
2.      Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab;
3.      Lembaga Pemasyaraaktan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan;
4.      Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan;
5.      Warga Binaan Pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan;
6.      Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
7.      Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaaan di LAPAS;
8.      Anak Didik Pemasyarakatan adalah:
a.      Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama samapai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b.      Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c.       Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama berumur 18 (delapan belas) tahun.
9.      Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS.

Tujuan yang hendak dicapai dari pemasyarakatan adalah agar tidak terjadi dendam diantara sesama warga masyarakat akibat kejahatan. Dengan demikian. Pemasyarakatan adalah suatu proses interaktif di mana unsur-unsur tertentu masing-masing bias menjalankan perannya secara wajar. Unsur-unsur yang termasuk dalam proses interaktif tersebut adalah : narapidana, petugas Lembaga Pemasyarakatan serta masyarakat yang saling berkepentingan semuanya bersama-sama masyarakat.

Adapun prinsip-prinsip Lembaga pemasyarakatan:
1.      Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat;
2.      Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari Negara;
3.      Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan bimbingan;
4.      Negara tidak berhak membuat seseoarang terpidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga;
5.      Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;
6.      Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan;
7.      Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila;
8.      Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa itu penjahat;
9.      Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan;
10. Sarana fisik bangunan lembagadewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

Dari prinsip-prinsip diatas, pemikiran dan tujuan Sahardjo menetapkan pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara yaitu antara lain:
1.      Sebagai upaya mengatasi kecenderungan buruk yang terjadi di penjara pada masa kolonial Belanda, dimana pada masa ini, walaupun penjara sudah “modern” namun dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan efek negatif dari pelaksanaan hukuman, disamping itu juga, perlakuan terhadap narapidana yang cenderung mengabaikan  hak-haknya;
2.      Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara adalah suatu cara untuk membimbing terpidana agar bertobat, dengan jalan mendidik. Dalam hal ini, bimbingan dan didikan diarahkan untuk membentuk kesadaran hukum maupun  kesadaran bermasyarakat.

Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara adalah suatu proses dimana metodenya adalah sistem pemasyarakatan. Dalam hal ini sistem pemasyarakatan dijadikan suatu pedoman maupun arah pembinaan yang harus dipedomani oleh petugas maupun narapidana pada saat menjalani pidana.

Disamping bertujuan mengembalikan narapidana kemasyarakat pemasyarakatan juga bertujuan agar narapidana tidak terasing dari lingkungan sosialnya, yang dilakukan melalui asimilasi. Dalam pada itu juga ada keterkaitkan emosi yang hendak dicapai dari keterlibatan masyarakat dalam proses penerimaan kembali. Oleh karena itu, masyarakat menjadi salah satu unsur yang berpengaruh dalam proses pemulihan hubungan sosial, di sini masyarakat atau keluarga yang dirugikan setidak-tidaknya dapat mempercayai proses pembinaan dan didikan yang dijalani narapidana.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa Lembaga Pemasyarakatan menjalankan sistem Pemasyarakatan pelaksanaannya berdasarkan asas:
1.      Pengayoman;
2.      Persamaan perlakuan dan pelayanan;
3.      Pendidikan;
4.      Pembimbingan;
5.      Penghormatan harkat dan martabat manusia;
6.      Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;
7.      Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Asas-asas tersebut harus ditaati oleh Lembaga Pemasyarakatan dalam menjalankan sistem pemasyarakatan adapun pengertian dari asas tersebut adalah[14]:

Yang dimaksud “pengayoman” (angka 1) adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana yang dilakukan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna didalam masyarakat.

Yang dimaksud dengan “persamaan perlakuan dan pelayanan” (angka 2) adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.

Yang dimaksud dengan “pendidikan dan pembimbingan” (angka 3 dan angka 4) adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

Yang dimaksud dengan “penghormatan harkat dan martabat manusia” (angka 5) adalah bahwaa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

Yang dimaksud dengan “kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan” (angka 6) adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada  dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga Negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga atau rekreasi.

Sedangakan yang dimaksud dengan “terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu” (angka 7) adalah bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada dalam LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakatdan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.

Pembinaan terhadap narapidana dan anak didik didasarkan kepada Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.02-PK.04.10 Tahun1990, tanggal 10 April 1990, telah menetapkan empat tahap proses pembinaan narapidana dan anak didik melalui Lembaga Pemasyarakatan, yaitu:
1.      Tahap admisi-orientasi (0-1/3);
2.      Tahap asimilasi (1/3-1/2);
3.      Tahap lepas bersyarat (1/2-2/3) dan;
4.      Tahap bebas (2/3-habis masa pidana).

Tahap pertama ; terhadap setiap Narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab ia melakukan tindak pidana dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban itu sendiri, serta dari petugas instansi yang menangani perkaranya.

Pembinaan ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan ini masih dilakukan dalam Lapas dan pengawasannya maksimum (maksimum security).

Tahap kedua; jika proses pembinaan terhadap Narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lapas, maka kepada Narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan di tempatkan pada Lapas melalui medium security.

Tahap Ketiga; jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, baik secara fisik ataupun pembinaannya diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian yaitu yang pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa hukumannya. Pada pembinaan ini masih dilaksanakan di dalam lapas dan pengawasannya sudah mamasuki tahap medium security. Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Dalam tahap lanjutan ini narapidana sudah memasuki tahap assimilasi dan selanjutnya dapat diberikan Pembebasan Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan minimum security.

Tahap Keempat; jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 dari masa yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir yaitu kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dan narapidana yang bersangkutan. Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi syarat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaan ini dilakukan di luar Lapas oleh BAPAS. Pembimbingan adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan YME, intelektual, sikap dan perilaku profesional kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

Berdasarkan pola pembinaan di atas, maka Sistem Pemasyarakatan pada hakekatnya membutuhkan tenaga-tenaga ahli seperti psyhiater, psycolog, sosiolog, kriminolog, dokter, dan lain-lain. Tugas-tugas tersebut bukan saja besar cakupannya tetapi juga sangat berat dalam pelaksanaannya, apa lagi hal tersebut dikaitkan dengan “Sistem Peradilan Pidana terpadu” (Integrarted Criminal Justice System), maka Lembaga Pemasyarakatan merupakan ujung tombak dalam upaya penegakan hukum.

Sejak tahun 1964, penjara sudah berubah menjadi “Lembaga Pemasyarakatan“. Prinsip-prinsip perlakuan terhadap pelanggar hukum, terpidana dan narapidana sudah berubah dari prinsip kepenjaraan menjadi prinsip pemasyarakatan yang kemudian disebut dengan sistem pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk mencapai tujuan pembinaan melalui program-program pendidikan dan rehabilitasi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Di dalam Lembaga Pemasyarakatan, Warga Binaan Pemasyarakatan dibina dan diamankan untuk jangka waktu tertentu agar nantinya dapat hidup kembali di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana disebut dalam Pasal 3 Undang – undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai berikut : “Sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat kembali secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab”.

Sedangkan tujuan memasyarakatkan narapidana antara lain : 1. Berusaha agar narapidana atau anak didik tidak melanggar hukum lagi di masyarakat kelak. 2. Menjadikan narapidana atau anak didik sebagai peserta yang aktif dan kreatif dalam pembangunan. 3. Membuat narapidana atau anak didik kelak berbahagia di dunia dan akhirat. Narapidana juga dapat segera kembali kepada keluarga dan lingkungan masyarakatnya sehingga dapat kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.
















BAB III
PENUTUP
Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi  yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.
 Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses restorative justice. Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan. Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat. Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Jakarta, 2008, 

Bambang Waluyo. 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta,

Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,  Jakarta
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, 2008, 
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,

Dr. H. P. Panggabean, SH. M.S, Penanganan  berbagai Hak – hak warga binaan LP dalam pratik sehari – hari, VARIA Peradilan No.332 Juli 2013. Mahkamah Agung RI, Jakarta


Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety. 2007, Pidana Penjara Mau Kemana, HIC, Jakarta.
Shinta Agustina dan Yusrida, Penerapan Pidana Penjara Jangka Pendek Dalam Kerangka Sistem Pemasyarakatan, JURNAL HUKUM YUSTISIA, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS No.  11 Th XI/2002, Padang.
Kutipan dari sebagian pidato pada acara pengngkatan gelar Doctor  Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia  kepada Sahardjo. Yang dikutip oleh Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
.
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1955 Nomor 77.



[1] Mahasiswa Pascasarjana Universitas Andalas angkatan 2013
[2] Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Jakarta, 2008,  hlm 4.
[3] Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, 2008,  hlm 82.
[4] Bambang Waluyo. 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 3.
[5] Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety. 2007, Pidana Penjara Mau Kemana, HIC, Jakarta, hlm 109.
[6] Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm 14.
[7] Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[8] Dr. H. P. Panggabean, SH. M.S, Penanganan  berbagai Hak – hak warga binaan LP dalam pratik sehari – hari, VARIA Peradilan No.332 Juli 2013. Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal 40
[9] Shinta Agustina dan Yusrida, Penerapan Pidana Penjara Jangka Pendek Dalam Kerangka Sistem Pemasyarakatan, JURNAL HUKUM YUSTISIA, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS No.  11 Th XI/2002, Padang, hal. 10
[10] Pasal 2 Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
[11] Kutipan dari sebagian pidato pada acara pengngkatan gelar Doctor  Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia  kepada Sahardjo. Yang dikutip oleh Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety.
[12] Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,  Jakarta, hlm 99.
[13] Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1955 Nomor 77.
[14] Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614.

1 komentar:

  1. Terima kasih atas makalahnya, sangat bermanfaat, Kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkat kinerja dan menerapkan apa-apa yang sudah dituangkan dalam UU, agar fungsi pemasyarakatan dapat berjalan sebagaimana mestinya, salam Lapas Sarolangun

    BalasHapus