Senin, 17 November 2014

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA



POLITIK HUKUM PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA

Oleh :
WARMAN PRIATNO, SH[1]


BAB I
PENDAHULUAN

Sepanjang sejarah perdaban manusia selalu ada hukum yang dipatuhi untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umat manusia. Dimanapun manusia berada tidak akan bisa hidup tanpa adanya hukum. Hukum itu sendiri bersifat mengatur sendi sendi kehidupan masyarakat, karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang selalu ingin berkumpul dan berhubungan dengan manusia lainnya. Sebagai makhluk yang selalu ingin berinteraksi tentu diperlukan suatu kaidah bersama untuk dipatuhi sebagai pedoman bersama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kaidah itu dapat saja berupa tertulis ataupun tidak. Dalam mencapai kenyamanan dan ketenangan hidup bersama sudah barang tentu ada kesatuan aturan untuk dipatuhi dan ditaati secara bersama. Hukum adalah suatu kebutuhan untuk menjaga ketentraman dan melindungi hak – hak masyarakat lainnya. Dengan adanya hukum maka masyarakat akan merasa aman tanpa adanya ancaman dan gangguan dari masyarakat lainnya.
H. Salim HS, SH. MS mengemukakan pengertian hukum itu : keseluruhan dari aturan – aturan hukum, baik yang dibuat oleh Negara maupun yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat. [2]


Dr. E. Utrech, SH didalam bukunya yang berjudul “ Pengantar dalam Hukum Indonesia”, sarjana hukum bangsa Indonesia ini berpendapat, bahwa untuk memberikan definisi tentang hukum yang lengkap memang sulit namun demikian, menurut Utrecht perlu adanya satu pedoman untuk dipakai pedoman atau pegangan tentang apakah hukum itu ?.

Pedoman yang dimaksud Utrech, untuk dipakai sebagai pegangan, sebagai berikut : “ hukum adalah himpunan petunjuk – petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan”. Oleh karena pelanggaran – pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah kepada si pelanggar. [3]

Jeremy Bentham menganggap bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfataan dan kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat. Dengan adanya hukum ini masyarakat harus mengambil manfaat secara bersama. Hal ini didasari oleh adanya falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga masyarakat mendambakan kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya. Bentham berpendapat bahwa keberadaan Negara dan hukum semata – mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.[4]

Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian keadilan memiliki sifat normative sekaligus konstitutif bagi hukum. [5]

Ilmu hukum memiliki penggolongan mengenai hukum dengan berbagai sudut pandang, salah satunya adalah hukum pidana. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang hukum pidana tersebut penulis akan menguraikan sedikit pembahasan tentang pengertian hukum pidana.

Menurut Prof. SIMONS Hukum pidana adalah kesemuanya perintah – perintah dan larangan – langan yang diadakan oleh Negara dan diancam dengan suatu nestapa atau pidana barang siapa yang tidak menaatinya, kesemua aturan – aturan yang menentukan syarat – sayarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan – aturan untuk mengadakan (menjatuhi dan menjalankan pidana tersebut. [6]

Hukum pidana ini bertujuan untuk mencegah atau menghambat perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku, karena bentuk hukum pidana merupakan bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara. Hukum pidana dapat juga dibedakan juga atas hukum pidana materil dan hukum pidana formil.

Hukum pidana materil adalah peraturan atau norma hukum yang mengatur tentang perbuatan perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana, dan apa macam sanksi pidana yang dijatuhkan. Dengan kata lain hukum pidana materil adalah keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur perbutan seseorang atau badan yang dilakukan dengan salah dan melanggar huku pidana serta diancam dengan sanksi pidana. Sedangkan hukum pidana formil (hukum acara pidana) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana material.

Menurut Prof. VAN HATTUM, termasuk kedalam hukum pidana materil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan – tindakan yang mana adalah merupakan tindakan – tindakan yang dapat dihukum, siapah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan - tindakan orang tersebut. [7] Orang dapat menyebutnya sebagai hukum pidana yang abstrak. 

Van Hamel mengartikan bahwa hukum pidana adalah semua dasar – dasar dan aturan – aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde), yaitu yang melarang apa  yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa (sanksi) kepada yang melanggar tersebut. [8]

Dalam keseharian di dalam masyarakat juga muncul berbagai pengertian tentang hukum pidana. Ada yang mengatakan hukum pidana adalah suatu perbuatan criminal atau kejahatan, dan barangsiapa yang melanggarnya akan dikenakan sanksi berupa pemidanaan. Hukum pidana ini secara umum bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, karena hukum pidana sendiri memiliki sifat yang melarang agar tidak melakukan suatu perbuatan tertentu.

Hukum pidana merupakan sesuatu yang kita patuhi atau tidak kita patuhi dana apa yang dituntut oleh ketentuan – ketentuannya dikatakan sebagai ‘kewajiban’. Jika kita tidak patuh, kita dikatakan melanggar hukum, dan apa yang telah kita lakukan merupakan sesuatu yang secara legal salah, suatu pelanggaran kewajiban, atau sebuah kesalahan. Sebuah Undang – undang pidana memiliki fungsi social untuk membentuk dan mendefenisikan jenis- jenis perilaku tertentu sebagai seusuatu yang harus dihindari atau dikerjakan oelh orang – orang yang dikenainya, terlepas dari keinginan mereka.[9]
Hukum pidana ditujukan untuk mengatur kepentingan umum, karena sifatnya yang ditujukan untuk kepentingan umum tersebut, maka fungsi hukum pidana adalah sama dengan fungsi hukum pada umumnya yaitu : [10]
a.      Mengatur hidup kemasyarakatan
b.      Menyelenggarakan tata dalam masyarakat


BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tidak selalu memberikan dampak yang positif bagi masyarakat. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ini seringkali membuat persoalan baru ditengah masyarakat. Hukum terkadang belum mampu menyelesaikan persoalan baru yang muncul akibat kemajuan zaman. Berkembangnya tingkat pendidikan masyarakat juga mempengaruhi bagaimana perilaku masyarakat. Di dalam lingkungan keluarga contohnya, bilamana pada beberapa waktu yang lalu seorang bapak melakukan pemukulan dalam rangka memberikan pelajaran bagi anak yang sedikit agak nakal, akan tetapi jangan coba-coba memukuli anak kita dan sampai memberikan bekas pada tubuhnya hal ini akan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan kekerasan dalam rumah tangga.

Rumah tangga adalah lingkungan social terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Rumah tangga sebagai suatu unit terkecil tersebut dipimpin oleh seorang kepala keluarga yaitu bapak. Kadangkala didalam keluarga atau keluarga ini seringkali timbul konflik baik yang sifatnya spontan ataupun tidak. Sebagai lingkungan social rumah tangga ini juga dapat dipengaruhi oleh kehidupan rumah tangga lainnya matau dapat dipengaruhi juga oleh lingkungan masyarakat luar. Perkembangan Hukum dan hak azazi manusia dalam hal ini adalah mereka-mereka yang selalu mendendangkan kesetaraan gender membuat perubahan perilaku kehidupan dalam rumah tangga. Hal ini ditandainya dengan berapa banyak ibu-ibu rumah tangga yang berbondong-bondong melakukan pemberontakan untuk disamakan haknya dengan kaum laki-laki. Perempuan juga telah lantang menyuarakan agar mereka juga ikut dilibatkan dalam hal urusan laki-laki. Ternyata hal ini menimbulkan problema hukum yang baru. Atas keinginan persamaan hak dan kewajiban tersebut maka muncul suatu aturan yang menginginkan adanya perlindungan hukum terhadap rumah tangga khusunya perempuan dan anak.

Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.

Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.

Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan  setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Memang kita harus menyadari juga bagaimana perkembangan masyarakat saat sekarang ini yang sangat membenci akan kekerasan. Perlindungan keluarga ini adalah suatu bentuk tanggungjawab Negara dan tanggungjawab social masyarakat dalam rangka menjaga kenyamanan lingkungan bermasyarakat. Banyaknya perlakuan orang orang tertentu terhadap perempuan dan anak yang semena mena menyebabkan masyarakat melakukan gerakan untuk diaturnya suatu perbuatan yang melibatkan orang – orang dalam suatu rumah tangga tertentu.

Persoalan dalam rumah tangga ini merupakan hal yang sangat sensitive untuk diungkapkan menjadi suatu kasus yang dapat diajukan ke persidangan. Bagi sebagian orang mengekspos suatu kehidupan rumah tangga tersebut bukanlah suatu hal yang penting. Mereka beranggapan biarlah masalah dalam lingkungan keluarga mereka diselesaikan sendiri melalui forum keluarga besarnya pula. 

Kekerasan dalam rumah tangga akhir – akhir ini berkembang dengan pesat. Hal tersebut dipicu oleh berbagai factor, antara lain adalah factor partiarkat, ekonomi, gender, lingkungan, relasi kuasa yang timpang, dan role modeling (perilaku hasil meniru) miasalnya pengaruh media masa terutama televise yang banyak menayangkan hal-hal yang berbau kekerasan sehingga timbul kecenderungan untuk meniru sehingga meningkatkan kesadaran hukum masyarakat khususnya pada kaum wanita.

Penyebab paling besar terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah fakta bahwa lelaki dan perempuan kekuasaannya tidak sama di dalam masyarakat. Suami menganggap bahwa perempuan yang menjadi isteri adalah sah milik mereka lewat perkawinan, sehingga mereka boleh berbuat apa saja terhadap perempuan yang menjadi isterinya itu, tanpa seorangpun yang berhak melarangnya. [11]

Dalam peraturan perundang undangan di Indonesia, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini diatur dalam undang – undang No. 23 Tahun 2004. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[12]

Pada bagian konsiderans dijelaskan UU no. 23 Tahun 2004 dibentuk dengan 3 (tiga) pertimbangan utama yaitu, bahwa :[13]
1.      Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus ;
2.      Korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
3.      Dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga ;

Dalam pasal 2 ayat (1) Undang – undang No. 23 Tahun 2004 menetukan bagaimana ruang lingkup rumah tangga yaitu meliputi :
1.      suami, isteri, dan anak;
2.      orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau ;
3.      Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.Kondisi ini semakin ironis diamana banyak pihak isteri yang tidak mau melaporkan kekerasan yang dilakukan suaminya.

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a.       Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga ;
b.      Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga ;
c.       Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga ;
d.      Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a.        Kekerasan fisik ;
b.       Kekerasan psikis ;
c.        Kekerasan seksual ;
d.       Penelantaran rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga tentu akan menimbulkan dampak / akibat tersendiri baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi anggota keluarga terutama anak.

Dalam membahas tentang perbuatan kekerasan dalam rumah tangga ini muncul suatu pertanyaan yang sangat sederhana untuk dijawab. Untuk apa diciptakannya undang undang Kekerasan Dalam rumah tangga. Sebegitu gentingkah keadaan negeri ini terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Ini perlu menjadi perenungan bagi kita. Apakah Negara sudah dalm keadaan darurat kekrasan dalam rumah tangga. Jawabnya, adalah anak. Anak adalah generasi muda bangsa yang seringkali terlupakan. Anak harus dihindarkan dari kekerasankarena dapat dikhawatirkan berdampak negative bagi perkembangan prilaku anak atau timbulnya traumatic yang selalu membayangi dirinya akibat kekerasan yang dialami didekatnya.

Dengan memperhatikan betapa besarnya dampak atas permasalahan kekerasan dalam rumah tangga bagi kelangsungan hidup dan masa depan bagi isteri dan anak, maka hakim juga dituntut harus arif dab bijaksana dalam menentukan hukuman terhadap terdakwa yang telah terbukti nelakukan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini bila tidak diperhatikan oleh hakim tentu akan mengakibatkan kesengsaraan yang lebih bagi mereka yang terlibat kasusu kekerasan dalam rumah tangga. Karena semakin lama anggota keluarga mereka dijatuhi hukuman maka akan semakin lama mereka dapat berkumpul kembali dalam keluarga yang utuh. Selain itu semakin lama seorang kepala keluarga dihukum maka semakin lama pula anggota kelurganya kesulitan dalam penafkahannya.

Undang undang nomkor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga selain mengatur ketentuan pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana. Selain itu undang – undang ini juga mengatur tentang kewajiban aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja social relawan pendamping, atau pembimbing rohani u ntuk melindungi korba agar mereka lebih sensitive dan responsive terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Sehinggga dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan meminimalisasi kekerasan dalam rumah tangga dan terciptanya kerukunan dalam rumah tangga yang melahirkan generasi-generasi penerus yang baik, karena kehidupan dalam rumah tangga sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak sebagai generasi-generasi penerus bangsa.

Anak mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam berbangsa, bernegara, bermasyarakat maupun berkeluarga. Oleh karena itu kondisinya maka diperlukan perlakuan yang khusus agar dapat berkembang secara wajar baik fisik, mental dan rohaninya. Untuk itu anak perlu dihindarkan dari perbuatan pidana yang dapat mempengaruhi perkembangan fisi, mental dan rohaninya tersebut.

Secara khusus undang – undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, dalam pasal 10 diatur tentang hak-hak korban yaitu :

Korban berhak mendapatkan :
1.      perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
2.      pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis ;
3.      penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban ;
4.      pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5.      pelayanan bimbingan rohani.

Dalam ketentuan undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang mana dengan hak-hak tersebut maka saksi dan atau korban merasa nyaman dan terlindungi sehingga mau melaporkan apa yang telah terjadi kepada dirinya dengan bebas dari segala tekanan atau rasa takut sebagaimana dalam pasal 5 Undang Undang No. 13 Tahun 2006 tersebut tentang perlindungan saksi dan korban menyatakan :

Seorang Saksi dan Korban berhak :

a.        Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b.       Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.        Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.       Mendapat penerjemah;
e.        Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.         Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g.       Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h.       Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i.          Mendapat identitas baru;
j.          Mendapatkan tempat kediaman baru;
k.        Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
l.          Mendapat nasihat hukum; dan/atau
m.     Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir

Berkembangnya budaya patriarkat meletakkan laki – laki sebagai makhluk superior dan perempuan sebagai makhluk inferior. Dngan keyakinan ini, laki-laki kemudian dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. [14] Oleh karena itu timbul kejahatan yang berbasis gender, seperti kekerasan dalam rumah tangga ini.
Bentuk – bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga :

Undang – undang Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga membagi kekerasan dalam rumah tangga tersebut menjadi 4 (empat) macam :

1.      Kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan fisik dapat dibedakan menjadi :
a.      Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, menyundut, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan :
-        Cedera berat
-        Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
-        Pingsan
-        Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
-        Kehilangan salah satu pancaindra
-        Mendapat cacat
-        Menderita sakit lumpuh
-        Terganggunya daya piker selama 4 minggu lebih
-        Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
-        Kematian korban

b.      Kekerasan fisik ringan
-        Cedera ringan
-        Rasa sakit dan luka fisik yang tidak termasuk kategori berat

2.      Kekerasan Psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis dapat dibedakan menjadi :

a.      Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan, dan penghinaan dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi social, tindakan dan / atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, kekerasan dan / atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomi yang masing masing bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut :
-      Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantunga obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan / atau menahun
-      Gangguan stress pasca trauma
-      Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
-      Depresi berat atau distruksi diri
-      Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan / atau bentuk psikotik lainnya
-      Bunuh diri


b.      Kekerasan psikis ringan seperti :
-     Ketakutan dan perasaan terteror
-     Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
-     Gangguan tidur, makan dan disfungsi seksual
-     Gangguan fungsi tubuh ringan lainnya
-     Fobia atau depresi temporer

3.      Kekerasan seksual, adalah pemaksaan hubungan sksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain utntuk tujuan komersial dengan upaya paksaan hubungan seksual, pelecehan seksual (rabaan, ciuman, sentuhan) tanpa persetujuan.
Kekerasan seksual berat berupa :
-        Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lainnya yang menimbulkan rasa muak atau jijik, terteror, terhina, dan merasa dikendalikan
-        Paksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki
-        Paksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan menyakitkan
-        Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan tertentu atau pelacuran
-        Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang harusnya dilindungi
-        Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera

       Kekerasasan seksual ringan berupa : pelecehan seksual secara verbal       seperti gurauan porno, siulan, ejekan dan lainnya

4.      Penelantaran Rumah Tangga diatur dalam pasal 9 Undang Undang KDRT :

1.           Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

2.           Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan kekerasan dalam rumah tangga ini pada umumnya dilakukan oleh laki- laki selaku kepala keluarga yang ada dalam ruang lingkup rumah tangga. Perempuan seringkali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga ini. Akan tetapi sebagian besar para perempuan tersebut enggan untuk melaporkan berbagai hal kekerasan dalam rumah tangga yang mereka alami. Kenapa demikian, karena sebagian besar dari perempuan yang rata-rata adalah ibu rumah tangga merasa takut apabila hal ini dilaporkan maka mereka takut untuk ditinggalkan atau bahkan sampai diceraikan oleh suaminya.

BAB III
PENUTUP
Hukum adalah serangkaian aturan – aturan yang diciptakan dalam rangka mencapai ketenangan, ketentraman dan keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Dengan adanya kaidah hukum diharapkan dapat menyelesaikan persoalan – persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Hakim selaku pejabat yudisial dalam menerapkan aturan hukum diharapakan tidak sekedar menjadi terompet undang – undang. Hakim adalah benteng terakhir dimana masyarakat akan menggantungkan harapan dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi. 
Dalam berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, kebanyakan setelah pelaku menjalani pidana penjara maka keluarga besar masing – masing pihak akan mendesak pihaknya untuk bercerai. Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan, dimana seorang laki-laki yang telah dibuat masuk penjara oleh istrinya dengan dalil kekrasan dalam rumah tangga maka ia akan menceraikan dan memilih untuk meninggalkan perempuan tersebut. 
Seperti buah simalakama dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Disatu sisi Negara membuat suatu aturan undang – undang dalam rangka melindungi kepentingan hak asasi rumah tangga dalam hal ini segaian besar adalah kepentingan perempuan. Sedangkan disis lain perempuan akan merasa tersandera dengan adanya pelaporan yang ia lakukan terhadap suaminya. Disinilah perlunya kebijakan dan kearifan seorang aparat penegak hukum dalam menangani suatu pengaduan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga. Tanpa mengurangi kepentingan hukum korban sebagaimana dalam ketentuan undang – undang tentu lebih bijaksana lagi mementingkan kelangsungan keluarga secara utuh. Sehingga apa yang menjadi tujuan keluarga tersebut tidak terganggu hanya karena gemercik badai dalam rumah tangganya. Namun sebaliknya perempuan dan anak bukanlah sasaran untuk memperlihatkan suatu kekuasaan dan kekuatan. Mereka adalah amanah yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi. Bilamana terjadi suatu hal yang sudah tidak dapat ditolelir atau untuk dimaafkan maka hukum harus ditegakkan.


DAFTAR PUSTAKA
Dr. Aziz Syamsuddin, SH. SE. MH, MAF, Tindak Pidana Khusus (Jakarta : Sinar Grafika, 2011)
Dr. Bernard L.Tanya, SH.MH, Dr. Yoan. N. Simanjuntak, SH.MH, Markus Y. Hage, SH. MH, Teori Hukum (Surabaya : CV.KITA, 2006)

H. Salim HS, SH. MS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum (Jakarta : Rajawali Pers, 2010)

H.L.A Hart, Konsep Hukum (Bandung : Nusamedia, 2010)
Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta : Rieneka Cipta, 2008)

Nurnaningsih Amriani, SH. MH, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Hak Asasi Manusia, Varia Peradilan Tahun XXIX No. 335 Oktober 2013, Jakarta

Drs. P.A.F Lamintang, SH, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2011)

R.Soeroso, SH Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 1992)
Rita Serena Kalibouse, Perempuan Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Mitra Perempuan, 1999), No. 3 Juli 1999

Prof. Dr. Teguh Prasetyo, SH. M. Si, Hukum Pidana (Jakarta : Rajawali Pers, 2011) Umar Said Sugiarto, SH. MS Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)

Prof. Dr. Zainuddin Ali, MA, Filsafat Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)


[1] Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas angkatan 2013, diajukan dalam tugas mata kuliah Politik Hukum. Dosen Dr. Suharizal, SH. MH
[2] H. Salim HS, SH. MH, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum (Jakarta : Rajawali Pers, 200) hal. 26
[3] R.Soeroso, SH Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 1992) hal. 35-36
[4] Prof. Dr. Zainuddin, MA, Filsafat Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) hal. 59
[5] Dr. Bernard L.Tanya, SH.MH, Dr. Yoan. N. Simanjuntak, SH.MH, Markus Y. Hage, SH. MH, Teori Hukum (Surabaya : CV.KITA, 2006) hal. 134
[6] Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta : Rieneka Cipta, 2008) hal. 8
[7] Drs. P.A.F Lamintang, SH, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2011) hal. 11
[8] Umar Said Sugiarto, SH. MS Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2012) hal. 235
[9] H.L.A Hart, Konsep Hukum (Bandung : Nusamedia, 2010), hal. 43
[10] Prof. Dr. Teguh Prasetyo, SH. M. Si, Hukum Pidana (Jakarta : Rajawali Pers, 2011) hal. 30
[11] Nurnaningsih Amriani, SH. MH, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Hak Asasi Manusia, Varia Peradilan Tahun XXIX No. 335 Oktober 2013, Jakarta, hal. 90
[12] Dr. Aziz Syamsuddin, SH. SE. MH, MAF, Tindak Pidana Khusus (Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hal. 101
[13] Konsideran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
[14] Rita Serena Kalibouse, Perempuan Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Mitra Perempuan, 1999), No. 3 Juli 1999, hal. 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar