Sabtu, 29 November 2014

PIDANA PENJARA DAN PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI



PIDANA PENJARA DAN PELAKU PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA BAGI DIRI SENDIRI

Oleh : WARMAN PRIATNO, SH


BAB I
PENDAHULUAN


Sepanjang sejarah perdaban manusia selalu ada hukum yang dipatuhi untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umat manusia. Dimanapun manusia berada tidak akan bisa hidup tanpa adanya hukum. Hukum itu sendiri bersifat mengatur sendi sendi kehidupan masyarakat, karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang selalu ingin berkumpul dan berhubungan dengan manusia lainnya. Sebagai makhluk yang selalu ingin berinteraksi tentu diperlukan suatu kaidah bersama untuk dipatuhi sebagai pedoman bersama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kaidah itu dapat saja berupa tertulis ataupun tidak. Dalam mencapai kenyamanan dan ketenangan hidup bersama sudah barang tentu ada kesatuan aturan untuk dipatuhi dan ditaati secara bersama. Hukum adalah suatu kebutuhan untuk menjaga ketentraman dan melindungi hak – hak masyarakat lainnya. Dengan adanya hukum maka masyarakat akan merasa aman tanpa adanya ancaman dan gangguan dari masyarakat lainnya. 

Sudikno Mertokusumo mengemukakan pengertian hukum itu : keseluruhan kumpulan peraturan – peraturan atau kaidah – kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.[1]

Menurut Prof. Dr. P. Borst hukum itu adalah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan [2]

Dari pengertian yang diungkapkan oleh ahli tersebut dapat dijalankan sebagai berikut : 1. Hukum itu merupakan peraturan atau norma yaitu petunjuk atau pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia artinya hukum bukan suatu kebiasaan. 2. Norma hukum ditujukan pada kelakuan atau perbuatan manusia dalam masyarakat, dengan demikian pengertian hukum adalah pengertian social. Dimana ada masyarakat disitu ada hukum (ubi society ubi ius), sebaliknya dimana suatu daerah tidak ada masyarakat maka hukumpun tidak akan ada disana. 3. Pelaksanaan peraturan hukum itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi, berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar atau merupakan ganti rugi bagi yang menderita.

Hukum diadakan dengan tujuan agar menimbulkan tata atau damai yang lebih dalam lagi yaitu keadilan di dalam masyarakat mendapatkan bagian dan kedudukan yang sama. Dan akhirnya dapat terwujud / terlaksana adanya  cuum ciuquo  tribuere (masing masing anggota masyarakat mendapatkan bagian yang sama). Hukum diciptakan untuk melindungi kepentingan masyarakat secara universal. Manusia yang beraneka ragam kebutuhan dan perilaku harus tunduk pada satu aturan yang sama. 

Penganut aliran utilitarianisme yang dipelopori oleh Jeremy Bentham menganggap bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfataan dan kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat. Dengan adanya hukum ini masyarakat harus mengambil manfaat secara bersama. Hal ini didasari oleh adanya falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga masyarakat mendambakan kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya. Bentham berpendapat bahwa keberadaan Negara dan hukum semata – mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.[3]

Menurut Gustav Radbruch, Einfuhrung indie Rechtwissenschaft, Stuttgart, 1961 mengatakan bahwa hukum itu bertujuan : 

1. Keadilan untuk keseimbangan,
2. Kepastian untuk ketepatan dan
3. Manfaat untuk kegunaan [4].

Roscoe Pound dengan teorinya hukum sebagai sarana social engineering, bermakna penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Hukum, tidak lagi dilihat sekedar sebagai tatanan penjaga status quo, tetapi juga diyakini sebagai system pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara terencana.[5]

Ilmu hukum memiliki penggolongan mengenai hukum dengan berbagai sudut pandang, salah satunya adalah hukum pidana. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang hukum pidana tersebut penulis akan menguraikan sedikit pembahasan tentang pengertian hukum pidana. 

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar - dasar dan aturan-aturan untuk : [6]

1.      Menentukan perbuatan – perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2.      Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3.      Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Hukum pidana ini bertujuan untuk mencegah atau menghambat perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku, karena bentuk hukum pidana merupakan bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara. Hukum pidana dapat juga dibedakan juga atas hukum pidana materil dan hukum pidana formil.

Hukum pidana materil adalah peraturan atau norma hukum yang mengatur tentang perbuatan perbuatan apa yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana, dan apa macam sanksi pidana yang dijatuhkan. Dengan kata lain hukum pidana materil adalah keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur perbutan seseorang atau badan yang dilakukan dengan salah dan melanggar huku pidana serta diancam dengan sanksi pidana. Sedangkan hukum pidana formil (hukum acara pidana) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana material.

Menurut Prof. VAN HAMMEL, hukum pidana materil itu menunjukkan asas – asas dan peraturan – peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman, sedangkan hukum pidana formal menunjukkan bentuk – bentuk dan jangka – jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil. [7]

POMPE mengatakan hukum pidana adalah semua peraturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macam-macam pidana itu.[8]

Dari beberapa uraian tentang hukum pidana diatas dapat dilihat bahwa hukum pidana itu merupakan hukum publik yang mengatur antara hubungan Negara dengan warga negarannya. Hukum pidana itu dapat juga diartikan sebagai suatu kaidah atau norma yang mengatur tentang segala sesuatu yang dilarang dan perbuatan mana yang dilarang tersebut bila dilanggar maka akan dikenakan sanksi berupa pidana tertentu. Sebagian orang juga mengatakan hukum pidana ini identik dengan criminal atau kejahatan.

Hukum pidana merupakan sesuatu yang kita patuhi atau tidak kita patuhi dana apa yang dituntut oleh ketentuan – ketentuannya dikatakan sebagai ‘kewajiban’. Jika kita tidak patuh, kita dikatakan melanggar hukum, dan apa yang telah kita lakukan merupakan sesuatu yang secara legal salah, suatu pelanggaran kewajiban, atau sebuah kesalahan. Sebuag Undang – undang pidana memiliki fungsi social untuk membentuk dan mendefenisikan jenis- jenis perilaku tertentu sebagai seusuatu yang harus dihindari atau dikerjakan oelh orang – orang yang dikenainya, terlepas dari keinginan mereka.[9]

Hukum pidana ditujukan untuk mengatur kepentingan umum, karena sifatnya yang ditujukan untuk kepentingan umum tersebut, maka fungsi hukum pidana adalah sama dengan fungsi hukum pada umumnya yaitu : [10]
a.      Mengatur hidup kemasyarakatan
b.      Menyelenggarakan tata dalam masyarakat












BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tidak selalu memberikan dampak yang positif bagi masyarakat. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ini seringkali membuat persoalan baru ditengah masyarakat. Hukum terkadang belum mampu menyelesaikan persoalan baru yang muncul akibat kemajuan zaman. Salah satu permasalahan yang sangat krusial dalam masyarakat dewasa ini adalah penyalahgunaan narkotika. Dimana – mana dinegeri ini masyarakat sudah biasa mendengar penyalahgunaan narkotika. Tidak hanya remaja, orang tua, petani, pengusaha, pejabat bahkan aparat penegak hukumpun bisa terjebak dalam jurang yang bernama narkotika.

Indonesia saat ini tidak hanya sebagai daerah transit maupun pemasaran narkotika, melainkan sudah menjadi daerah produsen narkotika. Hal ini dibuktikan dengan terungkapnya pabrik - pabrik pembuatan narkotika dalam bentuk besar dari  luar negeri ke Indonesia. Karena saat ini letak Indonesia yang sangat strategis dan tidak jauh dari segi tiga emas (Laos, Thailand, dan Myanmar) dan daerah bulan sabit (Iran, Afganistan, dan Pakistan) yang merupakan daerah penghasil opium terbesar di dunia, menjadikan Indonesia sebagai lalu lintas gelap narkotika. [11]

Penyalahgunaan narkotika di kalangan masyarakat luas mengisyaratkan kepada kita untuk peduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulangi, karena bahaya yang ditimbulkan dapat mengancam keberadaan generasi muda yang kita harapkan kelak akan menjadi pewaris dan penerus perjuangan bangsa di masa yang akan datang.

Narkotika menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan - golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.[12]

Menurut pendapat Soerdjono Dirjosisworo, narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khalayan – khayalan. Sifat – sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia dibidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit, dan lain – lain.[13]

Dalam ketentuan undang undang narkotika tersebut disebutkan bahwa narkotika itu hanya diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan. Pada posisi ini narkotika diijinkan untuk dipergunakan. Untuk narkotika golongan I tidak diperbolehkan dipergunakan dalam pelayanan kesehatan. Peruntukannya hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Penyalahgunaan terhadap narkotika ini adalah seseorang yang menggunakan narkotika ini secara tanpa hak atau melawan hukum. Kejahatan narkotika ini adalah suatu kejahatan yang merugikan diri sendiri (victimless crime). Kejahatan tanpa korban ini bukan berarti penyalahgunaan narkotika ini menimbulkan korban secara kasat mata bagi orang lain, namun yang menjadi korban tersebut adalah diri sendiri selaku pengguna narkotika tersebut. Penyalahgunaan narkotika pada saat sekarang ini sudah sampai pada titik nadir dan sudah membahayakan bagi bangsa Indonesia. Diberbagai media pada hari ke hari kita selalu menyaksikan berapa banyak anak bangsa yang terlibat dan mati akibat penyalahgunaan narkotika.

Para pelaku kejahatan ini bermula dengan cara coba - coba sampai pada ketagihan atau ketergantungan. Biasanya pada saat mencoba narkotika tersebut para pengedar akan memberikan secara Cuma – Cuma kepada calon korbannya. Kemudian bila korban tersebut sudah mulai ketergantungan disanalah korban tersebut disuruh untuk membelinya sampai akhirnya orang tersebut ikut melakukan praktek peredaran gelap narkotika.

Narkotika bisa didibaratkan sebagai mesin pembunuh yang menewaskan sejumlah orang setiap harinya. Apa persoalan yang menyebabkan makin hari kejahatan ini semakin banyak. Seolah – olah narkotika ini tidak dilarang lagi. Apakah masyarakat kita tidak mengerti akan bahaya dari narkotika ini, atau apakah karena ancaman hukumannya sudah tidak ditakuti oleh masyarakat, atau penjatuhan pidana penjara bukanlah suatu solusi yang dapat membuat efek jera bagi masyarakat, atau masih pentingkah untuk melarang penyalahgunaan narkotika ?. ini tentu pertanyaan konyol yang mungkin dianggap sebagai suatu yang gila. Akan tetapi untuk apa memberlakukan suatu ketentuan hukum bilamana ketentuan itu tidak dipatuhi dan ketentuan hukum itu belum mampu memberikan penyelesaian terhadap suatu problema di tengah – tengah masyarakat. Pelaku tindak pidana narkotika sudah tidak takut lagi dijatuhi pidana penjara. Di seluruh pelosok jagad raya ini masarakat menyatakan perang terhadap narkotika. Narkotika ini telah merusak sendi kehidupan bangsa di seluruh dunia. Narkotika telah menghancurkan generasi muda bangsa. 

Modus operandi yang dipergunakan oleh pelaku tindak pidana narkotika semakin hari semakin canggih. Bila sebelumnya menganggut narkotika dengan menggunakan tas dalam kemasan tertentu, sekarang sudah dilakukan dengan memasukkan ke dalam bagian tubuh tertentu. Ada yang ditangkap membawa narkotika melalui tubuh binatang peliharaan, ada juga yang ditangkap membawa narkotika dalam kemasan makanan ringan, dan lain sebagainya. Ini membuktikan para pelakunya akan terus mempelajari pla bagaimana mengelabui aparatur yang berwenang dalam memberantas peredaran gelap narkotika ini. Menjalankan bisbis narkotika ini secara ekomomi memang sangat menjanjikan. Dari berbagai pengakuan para pelaku peredaran gelap narkotika ini menyatakan bahwa mereka dengan mudah untuk mendapatkan sejumlah uang. Himpitan ekonomi jugalah yang seringkali membuat seseorang memilih jalan pintas yang menyesatkan memasuki dunia hitam narkotika itu.

Menurut Hukum pidana Indonesia ada 2 (dua) jenis pidana yang dapat dijatuhkan dalam tindak pidana narkotika ini diantaranya :
1.      Pidana pokok
a.      Pidana mati
b.      Pidana penjara
c.       Pidana Kurungan
d.      Pidana Tutupan
e.      Pidana denda
2.      Pidana Tambahan
a.      Pencabutan hak – hak tertentu
b.      Perampasan barang – barang tertentu
c.       Pengumuman putusan hakim

Putusan hakim dalam berbagai perkara – perkara pidana narkotika secara umum belum mampu untuk memberikan efek jera bagi masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana narkotika. Para pelaku tindak pidana narkotika tersebut semakin hari kuantitasnya malah semakin banyak. Dalam berbagai kesempatan pemerintah melalui aparat – aparatnya selalu memberikan penyuluhan dan sosialisasi akan bahaya narkotika. Dimana – mana sekolahnya selalu ditanamkan untuk menjauhi narkotika. Baik itu berupa ceramah – ceramah maupun melalui spanduk – spanduk, poster dan lain sebagainya. Media pun tidak ketinggalan dalam mengkampanyekan akan bahaya narkotika. Lembaga Swadaya Masyarakatpun sudah menjamur yang mengklaim anti narkotika. Organisasi pemudapun di seluruh penjuru negeri ini menyatakan perang terhadap narkotika. Namun narkotika makin diperangi makin menjamur tumbuhnya. Ibarat pepatah mati satu tumbuh seribu.

Pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara narkotika ini disamping dianggap tidak mampu mengatasi persoalan peredaran gelap narkotika. Orang tidak takut lagi masuk penjara karena mengkonsumsi narkotika. Maka dari itu perlu suatu terobosan baru atau ketentuan yang lebih cerdas dalam rangka menyadarkan masyarakat agar menjauhi narkotika ini.

Dalam undang undang narkotika pelaku penyalahgunaan narkotika ini diatur dalam Pasal 127 yang berisi :

(1) Setiap Penyalah Guna :
a)     Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun ;
b)    Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun ;
c)     Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib  memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social.

Dari ketentuan pasal tersebut diatas, bilamana seseorang yang secara nyata adalah pengguna dan pencandu berat narkotika maka baginya wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social sebagaimana termaktub dalam ketentuan pasal 54 Undang - Undang narkotika. Pemaknaan yang tersirat dari ketentuan rehabilitasi diatas mewajibkan sesorang tersebut untuk menjalani rehabilitasi itu. Apapun caranya, pemerintah wajib memfasilitasi mereka yang dimaksud dalam pasal tersebut.

Persolan muncul disaat semua orang diputus direhabilitasi oleh hakim. Pemerintah belum mampu memberikan sarana dan prasarana bagi mereka yang telah diputus untuk direhabilitasi tersebut. Apa yang terjadi ? pusat rehabilitasi dijadikan komoditi oleh oknum – oknum yang tidak bertanggungjawab. Masyarakat tidak sanggup untuk masuk rehabilitasi karena membutuhkan biaya yang banyak. Sehingga para pengguna narkotika kembali menelan pil pahit menjalani pidana penjara. Sehingga apa yang menjadi tujuan dari pembentukan undang – undang bagi pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri ini tidak tercapai.

Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan pidana. Bagi mereka yang telah terbukti melakukan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri ini diberikan kesempatan dan fasilitas untuk direhabilitasi oleh Negara. Artinya pemidanaan bagi mereka tidak dilaksanakan.

Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana tidak hanya terpaku pada kepastian hukum, namun lebih dari itu kemanfaatan lebih penting untuk dijadikan pertimbangannya. Sementara itu, akibat negatif yang ditimbulkan oleh pidana penjara yang sering dilontarkan pada umumnya menyatakan, bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat – akibat negative terhadap hal – hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain adalah stigma atau cap jahat yang akan melekat pada diri terpidana sekalipun dia sudah tidak melakukan tindak pidana lagi, terampasnya kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homo seksual dikalangan terpidana, terampasnya juga kemerdekaan berusaha dari orang tersebut, yang mempunyai akibat serius bagi kehidupan sosial ekonomi keluarganya. Akibat lain yang sering disoroti adalah bahwa pengalaman penjara dapat menyebabkan terjadinya degradasi atau penurunan derajat dan harga diri manusia. [14]

Ada beberapa teori pemidanaan yang dikenal dan sangat banyak diterapkan yaitu :
1.        Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Teori absolut berpendapat bahwa : “Negara harus mengadakan hukuman terhadap para pelaku karena orang telah berbuat dosa (quiapacratum)”. Dalam bentuk yang asli, teori absolut berpijak pada pemikiran pembalasan, yaitu prinsip pembalasan kembali. Misalnya mata dengan mata, gigi dengan gigi, dan lain-lain.  Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Vos membagi teori pembalasan atau absolut ini atas dua macam, yaitu, pembalasan subjektif merupakan pembalasan terhadap kesalahan pelaku dan pembalasan objektif yaitu pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar.
2.        Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doeltheorie)

Teori relatif berpendapat, "Negara menjatuhkan hukuman kepada penjahat sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Tujuan hukuman itu adalah menakut-nakuti seseorang dari melaksanakan perbuatan jahat”. Teori relatif ini dibagi menjadi dua ajaran, yaitu ajaran prevensi umum (generate preventie) dan prevensi spesial (special preventie). Dalam ajaran prevensi umum, seseorang mungkin men­jadi pelaku, harus ditakut-takuti dari perbuatan jahat, dengan ancaman hukuman. Ajaran prevensi spesial memerhatikan agar pelaku yang sekali telah dijatuhkan hukuman. Karena telah merasakan sendiri, tidak akan cepat-cepat melakukan lagi suatu perbuatan jahat.
3.        Teori Gabungan (Gemengdetheorie)
Teori gabungan berpendapat : “Biasanya hukuman memerlukan suatu pembenaran ganda. Pemerintah mempunyai hak untuk menghukum, apabila orang berbuat kejahatan (apabila seseorang melakukan tingkah laku yang pantas dihukum) dan apabila dengan itu kelihatannya akan dapat mencapai tujuan yang bermanfaat”. Hak pemerintah menghukum penjahat yang melakukan kejahatan. Tujuannya adalah untuk memperbaiki dan melindungi masyarakat.

            Menentukan tujuan pemidanaan pada system peradilan menjadi persoalan yang dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti social. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam system atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. [15]
        
         Pemidanaan merupakan ultimum remedium atau penyelesaian terakhir atas suatu masalah, maka dalam menentukan pemidanaan menurut Memorie van Toelichting harus diperhatikan keadaan obyektif dari tindak pidana yang dilakukan, sehingga pemidanaan tidak hanya menimbulkan perasaan tidak nyaman terhadap pelaku (rechtguterverletzung), tetapi juga merupakan treatment komprehensif yang melihat aspek pembinaan bagi terdakwa sendiri untuk dapat sadar dan tidak akan mengulangi perbuatannya kembali dan juga harus melihat implikasi sosial kemasyarakatannya dalam kerangka tujuan pemidanaan yang preventif, edukatif dan korektif, sehingga mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat.
             
             Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan (social defence) serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat, negara, korban dan pelaku,  atas  dasar  tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung  unsur-unsur  yang  bersifat Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut   menjunjung   tinggi  harkat  dan   martabat  seseorang, Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan,  Keadilan, dalam arti bahwa   pemidanaan   tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh masyarakat serta dapat memiliki efek jera bagi masyarakat pada umumnya.

            Bahwa selain harus cocok dan sepadan dengan kesalahan pelaku tindak pidana (cq terpidana), pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan keadilan. Dimana keadilan menurut ajaran “prioritas baku” dari Gustav Radbruch harus selalu diprioritaskan, oleh karena itu manakala hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan atau dan kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. [16]

Bahwa tujuan penegakan hukum bukan menerapkan hukum, melainkan mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.  Karena itu, seyogyanya penegak hukum benar-benar memperhatikan “langkah-langkah sosial” yang  ditempuh  dalam  menyelesaikan  suatu pelanggaran hukum.[17];


BAB III
PENUTUP
Hukum adalah serangkaian aturan – aturan yang diciptakan dalam rangka mencapai ketenangan, ketentraman dan keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Dengan adanya kaidah hukum diharapkan dapat menyelesaikan persoalan – persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Hakim selaku pejabat yudisial dalam menerapkan aturan hukum diharapakan tidak sekedar menjadi terompet undang – undang. Hakim adalah benteng terakhir dimana masyarakat akan menggantungkan harapan dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi.

Dalam perkara penyalahgunaan narkotika juga demikian. Penjatuhan pidana penjara terhadap seseorang telah melakukan penyalahgunaan narkotika bagi dirinya sendiri bukanlah suatu solusi yang tepat dan cerdas dalam memberantas narkotika. Dengan memasukkan orang sebanyak – banyaknya kedalam penjara tidak akan mengurangi penyalahgunaan narkotika. Dibalik tembok penjarapun narkotika masih bisa didapatkan dengan mudah.  Rehabilitasi medis dan sosial merupakan langkah efektif dalam memberantas penyalagunaan narkotika secara perlahan – lahan. Mengobati suatu penyakit yang telah akut tidak akan semudah mendatangkan penyakit tersebut.









DAFTAR PUSTAKA


[1] H. Salim HS, SH. MS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum (Jakarta : Rajawali Pers, 2010) hal. 24
[2] R.Soeroso, SH Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 1992) hal. 27
[3] Prof. Dr. Zainuddin, MA, Filsafat Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) hal. 59
[4] Muhamaad Erwin, SH.M.Hum, Filsafat Hukum (Jakarta : Rajawali Pers, 2010) hal. 123
[5] Dr. Bernard L.Tanya, SH.MH, Dr. Yoan. N. Simanjuntak, SH.MH, Markus Y. Hage, SH. MH, Teori Hukum (Surabaya : CV.KITA, 2006) hal. 134
[6] Prof. Moeljatno, SH, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta : Rieneka Cipta, 2008) hal. 1
[7] Drs. P.A.F Lamintang, SH, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2011) hal. 10
[8] Umar Said Sugiarto, SH. MS Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2012) hal. 235
[9] H.L.A Hart, Konsep Hukum (Bandung : Nusamedia, 2010), hal. 43
[10] Prof. Dr. Teguh Prasetyo, SH. M. Si, Hukum Pidana (Jakarta : Rajawali Pers, 2011) hal. 30
[11] Realizhar Adillah Kharisma Ramadhan, Skripsi Efektifitas Pelaksanaan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Universitas Hasanuddin Makassar : 2013) hal. 2
[12] Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
[13] Timur Abimanyu, SH.MH, Perspektif Hukum Tindak Pidana Narkotik Menurut UU. No. 35 Tahun 2009 dan Tinjauan Hukum Terhadap Jenis Katinon Dalam Kategori Narkotik Serta Analisis Hukumnya, Varia Peradilan No. 336 November 2013, Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal. 32
[14] Shinta Agustina, SH.MH dan Yusrida, SH, Penerapan Pidana Jangka Pendek dalam Kerangka Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Unand, No. 11 Tahun IX/2002. Hal 11
[15] Hodio Potimbang, S.IP, SH. MH, Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Dalam Sistim Peradilan Pdana, Varia Peradilan No. 336 November 2013, Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal. 59
[16] Prof. Dr. Achmad Ali, SH.MH, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup : 2009) hal. 288
[17] Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL, Restorative Justice (suatu perkenalan), Varia Peradilan Nomor 247 Juni 2007, Mahkamah Agung Republik Indonesia