Senin, 17 November 2014

CYBER CRIME


CYBER CRIME dan ASPEK HUKUMNYA[1]

Oleh : 
WARMAN PRIATNO, SH
BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau yang dikenal dengan IPTEK dewasa ini ditambah dengan perkembangan masyarakat dan dunia internasional atau lebih populernya dengan istilah globalisasi tidak diragukan lagi telah membawa dampak yang sangat berarti terhadap perkembangan seluruh Negara di penjuru dunia. Dampak yang ditimbulkan dalam hal ini tentu saja dapat berupa dampak positif yang akan membantu kehidupan manusia maupun negatif yang sangat merugikan manusia.[2]hari ke hari semakin banyak masyarakat yang mulai memahami dan memanfatakan apa yang dinamakan teknologi informasi. 
Seiring dengan itu, Kemajuan teknologi informasi telah merubah hidup manusia menjadi lebih mudah karena teknologi selalu memanjakan manusia dengan segala kecanggihannya. Manusia yang selama ini dalam menjalankan aktifitasnya secara manual dengan menggunakan tenaga manusia sekarang sudah beralih menjadi penggunaan teknologi. Perkembangan teknologi informasi memasuki suatu cara baru dalam kehidupan yang dikenal e-life, yang diartikan sebagai kehidupan yang sudah dipengaruhi oleh berbagai media berbasiskan elektronik seperti e-commerce, e-government, e-banking, e-library, e-education dan lain sebagainya. Pekerjaan yang diselesaikan dengan penggunaan teknologi ini akan semakin mudah karena menggunakan media yang baru dan canggih dan berteknologi tinggi. Kemajuan teknologi ini banyak sekali mengandung nilai positif kepada masyarakat penggunanya karena dengan kehadiran teknologi informasi ini menjadikan semua pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien.

Peningkatan teknologi informasi melahirkan internet sebagai sebuah fenomena dalam kehidupan manusia yang memberikan manfaat luar biasa bagi perkembangan bisnis, pertukaran informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai informasi dapat disajikan dengan canggih dan mudah diperoleh baik dalam hubungan jarak jauh atau dekat dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi yang dihubungkan dengan media computer sebagai perangkat penunjang dan internet sebagai perangkat inti.[3] Manusia menganggap dunia ini tidak memiliki batas. Begitu hebat dan pesatnya perkembangan ini.

Namun demikian tidak semua kecanggihan teknologi informasi dipergunakan sepenuhnya untuk hal yang positif. Kemajuan teknologi ini juga memberikan ruang untuk terjadinya suatu kejahatan baru dengan motif dan modus yang canggih pula. Sudah cukup banyak kasus – kasus hukum yang terjadi dewasa ini dengan perantara teknologi informasi seperti pembobolan kartu kredit, pembajakan VCD, penipuan melalui system elektronik, serangan – serangan hacker yang tidak bertanggungjawab, pornografi melalui media elektronik, pencemaran nama baik melalui cyber, penyerobotan nama domain dan lain sebagainya.

Dengan adanya dampak negative yang merugikan sebagai akibat dari perkembangan informasi tersebut maka harus ada pula ketentuan hukum yang mengaturnya. Oleh karena kejahatan ini adalah adalah suatu kejahatan yang menggunakan modus baru dengan media elektronik maka pemberantasannya tentu harus dilakukan dengan cara yang canggih pula.

Kaidah hukum yang ada belum mampu untuk mengejar pelaku kejahatan mayantara (cyber crime) ini. Kenapa demikian karena kejahatan ini merupakan kejahatan yang tidak berdampak secara fisik atau tidak dlakukan langsung oleh seseorang namun melalui perantara sistim informasi atau elektronik. Bilamana biasanya tindak pidana pencurian itu dilakukan dengan mengambil milik orang lain secara langsung dan mengakibatkan kehilangan bagi orang tersebut, namun tidak demikian halnya dengan kejahatan mayantara (cyber crime) ini dimana pencurian dilakukan dengan meng-copy kan data yang ada dalam penguasaan seseorang dan mem-paste kedalam akun miliknya. Hal ini tentu bukanlah suatu pencurian yang mengakibatkan milik orang lain menjadi hilang sebagaimana diatur dalam KUHP. Permasalahan menjadi rumit ketika bergulirnya kasus Prita Mulyasari yang melakukan chat dengan seorang temannya tentang pelayanan di RSI Omni Internasional. Perbuatan prita Mulyasari tersebut akhirnya membawanya pada persoalan hukum. Tanpa adanya kaidah hukum yang tegas tentang pengaturan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan meresahkan masyarakat.

Terhadap apa yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai landasan berpijaknya suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan atau lebih populer dengan istilah asas legalitas menghendaki penentuan tindak pidana hanyalah berdasarkan pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.[4] Asas legalitas ini selalu saja menjadi batu sandungan untuk menindak suatu perbuatan yang memang belum ada paying hukumnya secara jelas.

BAB II
PEMBAHASAN

Istilah ‘cybercrime’ adalah salah satu istilah yang digunakan oleh para pakar cybercrime dan instrumen hukum internasional serta perundang-undangan cybercrime di beberapa negara untuk kejahatan yang terjadi dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Istilah-istilah lainnya adalah computer crime, virtual crime, online crime, digital crime, internet related crime, electronic crime, computer-related crime, computer-assisted crime, internet crime, ecrime, high tech crime.[5] Dalam Bahasa Indonesia penggunaan istilah sebagai padanan kata cybercrime atau sejenisnya juga beraneka ragam. Tidak ada istilah baku dalam bahasa Indonesia sebagai padanan kata ‘cybercrime’. Dalam berbagai literatur digunakan istilah yang bermacam-macam, antara lain : ‘tindak pidana mayantara’ (Barda Nawawi Arief), ‘kejahatan mayantara’ (Abdul Wahid dan Mohammad Labib), dan ada juga yang tetap menggunakan istilah ‘cyber crime’ (Widodo). Istilah ‘tindak pidana teknologi informasi’ digunakan dalam Draft RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi. Dalam makalah ini penulis menggunakan istilah ‘tindak pidana siber’ sebagai padanan kata untuk ‘cybercrime’. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa :

Pertama, terminologi ‘tindak pidana’ merupakan istilah baku yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan menunjuk pada perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Kedua, istilah siber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung makna sistem komputer dan informasi atau dunia maya atau berhubungan dengan internet.[6] Kata siber juga digunakan sebagai padanan kata untuk kata cyber dalam cybernetics, yang dipadankan dengan kata sibernetika dalam Bahasa Indonesia.8 Dalam Penjelasan Umum UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) digunakan kata siber sebagai padanan kata ‘cyber’ dalam ‘cyberlaw’ (hukum siber) dan ‘cyberspace’ (ruang siber).

Berikut beberapa definisi cybercrime yang dikemukakan beberapa pakar. Thomas and Loader mengkonseptualisasikan cybercrime sebagai “computer mediated activities which are either illegal or considered illicit by certain parties and which can be conducted through global electronic network”. Definisi tersebut membedakan dua hal penting, yaitu crime dalam arti perbuatan yang melanggar hukum dan oleh karenanya illegal dan deviance dalam arti perbuatan yang melanggar norma-norma sosial dan aturan aturan informal, oleh karenanya perbuatan tersebut tidak dikehendaki atau ditolak.

Sebagian analis cybercrime fokus perhatiannya pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan sanksi dalam hukum pidana, sedangkan sebagian lainnya melihatnya lebih luas termasuk perbuatan-perbuatan yang mungkin tidak termasuk illegal, tetapi menurut masyarakat dianggap sebagai deviant. [7]Dan Koenig mendefinisikan cybercrime sebagai “a criminal offence that has been created or made possible by the advent of computer technology, or traditional crime which has been so transformed by the use of a computer that law enforcement investigator need the basic understanding of computers in order to investigate the crime”.11 Definisi cybercrime dari Koenig menitikberatkan pada penggunaan teknologi komputer dalam melakukan kejahatan baik kejahatan baru maupun kejahatan tradisional.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut yang dimaksud dengan cybercrime adalah tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi atau yang ditujukan terhadap system komputer atau jaringan komputer.  Berkaitan dengan sifat, hakikat, dan luas lingkup cybercrime sebagian pakar berpendapat bahwa tindak pidana siber bukanlah kejahatan baru, tetapi kejahatan tradisional yang dilakukan di cyberspace dan hanya merupakan kejahatan dengan menggunakan alat-alat baru yang membantu pelaku dalam melakukan kejahatannya.

Jenis-jenis cybercrime yang termasuk ‘not new crime’, misalnya, penipuan secara online, pencurian sejumlah dana atau informasi, penggelapan, pemalsuan, stalking, membuat dan atau menyebarkan pornografi anak, yang termasuk kategori “crimes in which the computer is a tool used to commit a crime; serta jenis cybercrime yang termasuk kategori crimes in which the use of the computer is an incidental aspect of the commission of the crime”, seperti seseorang menggunakan komputer untuk menulis surat yang berisi ancaman. Komputer dalam hal ini hanya sebagai alat bukti.

Pandangan yang hampir sama dengan Susan Brenner dikemukakan oleh Yvonne Jewkes yang berpandangan bahwa tindak pidana siber dapat diklasifikasikan dalam dua kategori berikut.

a. New crimes using new tools
Kejahatan yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain atau terhadap tipe korban lain, seperti hacking dan viruses.
b. Old crimes using new tools
Kejahatan konvensional yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer dan teknologi informasi baru, seperti penipuan, pencurian identitas, dan stalking.


Kategorisasi cybercrime dengan orientasi pada penggunaan computer dikemukakan oleh Yee Fen Lim, sebagai berikut.
a.      Komputer sebagai target kejahatan (computers as targets)
Suatu kejahatan termasuk kategori computers as targets bila perbuatan dilakukan untuk mengambil informasi tanpa izin atau mengakibatkan kerusakan pada komputer atau jaringan komputer. Kejahatan tersebut berkaitan dengan serangan terhadap confidentiality, integrity, atau availability informasi atau layanan komputer. Bentuk kejahatan dengan target sistem komputer berupa memperoleh informasi yang tersimpan dalam sistem komputer atau mengontrolnya tanpa izin atau pembayaran;
b.      Komputer sebagai alat penyimpan (computers as storage devices)
Kejahatan dalam kategori ini menggunakan komputer atau alat komputer sebagai medium penyimpan pasif. Contoh : hacker menggunakan komputer untuk menyimpan daftar password yang dicuri, nomor kartu kredit, informasi pemilik perusahaan, file gambar porno, dll.
c.       Komputer sebagai alat komunikasi (computers as communications tools).
Dalam kategori ini kejahatan dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai alat komunikasi. Kebanyakan cybercrime masuk dalam kategori ini, termasuk kejahatan tradisional yang dilakukan secara on-line, seperti jual beli illegal narkotika dan obat-obatan terlarang serta senjata, penipuan, judi, dan pornografi anak.

Cybercrime juga dapat dibedakan dalam beberapa kategori kejahatan berdasarkan kriteria tertentu. Debra L.Shinder, misalnya, membuat kategorisasi cybercrime berdasarkan cara kejahatan dilakukan. Pertama, kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau pelaku secara potensial melakukan kejahatan dengan kekerasan (crimes committed by violent or potentially violent criminals) dan Kedua, kejahatan dilakukan tanpa kekerasan (nonviolent crimes).

Kejahatan-kejahatan yang termasuk kategori pertama (crimes committed by violent or potentially violent criminals) antara lain :

a. Cyberterrorism
b. Assault by threat
c. Cyberstalking
d. Child pornography

Kejahatan-kejahatan yang termasuk kategori kedua (nonviolent crimes) antara lain sebagai berikut.
a. Cybertrespass
Cybertrespass seringkali disebut sebagai unauthorized access atau breach of network security atau sejenisnya.
b. Cybertheft
Cybertheft merupakan kejahatan untuk mencuri informasi, uang atau sesuatu yang mempunyai nilai. Keuntungan merupakan motivasi dari pelaku cybertheft. Jenis-jenis cybertheft antara lain : embezzlement, corporate/industrial espionage, plagiarism, piracy, identity theft, dll.
c. Cyberfraud
d. Destructive cybercrimes
Merusak atau menghancurkan data atau jaringan pelayanan. Misalnya hacking into network and deleting data or program files, hacking into a Web server and vandalizing Web pages, worms and other malicious code into a network or computer.
e. Other cybercrimes, termasuk advertising/soliciting prostitution services over the internet, internet gambling, internet drug sales, cyberlaundering, dll.

Berdasarkan bentuk-bentuk kejahatan sebagaimana telah dikemukakan oleh beberapa pakar cyber crime serta memperhatikan kasus-kasus cybercrime yang sering terjadi, maka kualifikasi cybercrime berdasarkan Tindak pidana yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem computer yaitu :

a.      Illegal Access (akses secara tidak sah terhadap sistem komputer), yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan akses secara tidak sah terhadap seluruh atau sebagian sistem komputer, dengan maksud untuk mendapatkan data komputer atau maksud-maksud tidak baik lainnya, atau berkaitan dengan sistem komputer yang dihubungkan dengan sistem komputer lain. Hacking merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.
b.      Data Interference (mengganggu data komputer), yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan merusak, menghapus, memerosotkan (deterioration), mengubah atau menyembunyikan (suppression) data komputer tanpa hak. Perbuatan menyebarkan virus komputer merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering terjadi.
c.       System Interference (mengganggu sistem komputer), yaitu dengan sengaja dan tanpa hak melakukan gangguan terhadap fungsi sistem komputer dengan cara memasukkan, memancarkan, merusak, menghapus, memerosotkan, mengubah, atau menyembunyikan data komputer. Perbuatan menyebarkan program virus komputer dan E-mail bombings (surat elektronik berantai) merupakan bagian dari jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.
d.      Illegal Interception in the computers, systems and computer networks operation(intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer), yaitu dengan sengaja melakukan intersepsi tanpa hak, dengan menggunakan peralatan teknik, terhadap data komputer, sistem komputer, dan atau jaringan operasional komputer yang bukan diperuntukkan bagi kalangan umum, dari atau melalui sistem komputer, termasuk didalamnya gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari suatu sistem komputer yang membawa sejumlah data. Perbuatan dilakukan dengan maksud tidak baik, atau berkaitan dengan suatu sistem komputer yang dihubungkan dengan sistem komputer lainnya.
e.      Data Theft (mencuri data), yaitu kegiatan memperoleh data komputer secara tidak sah, baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada orang lain. Identity theft merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering diikuti dengan kejahatan penipuan (fraud). Kejahatan ini juga sering diikuti dengan kejahatan data leakage.

f.        Data leakage and Espionage (membocorkan data dan memata-matai), yaitu kegiatan memata-matai dan atau membocorkan data rahasia baik berupa rahasia negara, rahasia perusahaan, atau data lainnya yang tidak diperuntukkan bagi umum, kepada orang lain, suatu badan atau perusahaan lain, atau negara asing.”
g.      Misuse of Devices (menyalahgunakan peralatan komputer), yaitu dengan sengaja dan tanpa hak, memproduksi, menjual, berusaha memperoleh untuk digunakan, diimpor, diedarkan atau cara lain untuk kepentingan itu, peralatan, termasuk program komputer, password komputer, kode akses, atau data semacam itu, sehingga seluruh atau sebagian sistem komputer dapat diakses dengan tujuan digunakan untuk melakukan akses tidak sah, intersepsi tidak sah, mengganggu data atau sistem komputer, atau melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum lain.
h.      Credit card fraud (penipuan kartu kredit)
Penipuan kartu kredit merupakan perbuatan penipuan biasa yang menggunakan komputer dan kartu kredit yang tidak sah sebagai alat dalam melakukan kejahatannya sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan Pasal 378 KUHP.
i.        Bank fraud (penipuan bank)
Penipuan bank dengan menggunakan komputer sebagai alat melakukan kejahatan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP atau Pasal 378 KUHP, tergantung dari modus operandi perbuatan yang dilakukannya.
j.        Service Offered fraud (penipuan melalui penawaran suatu jasa)
Penipuan melalui penawaran jasa merupakan perbuatan penipuan biasa yang menggunakan komputer sebagai salah satu alat dalam melakukan kejahatannya sehingga dapat diancam dengan Pasal 378 KUHP.

k.      Identity Theft and fraud (pencurian identitas dan penipuan)
Pencurian identitas yang diikuti dengan melakukan kejahatan penipuan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP atau Pasal 378 KUHP, tergantung dari modus operandi perbuatan yang dilakukannya.
l.        Computer-related betting (perjudian melalui komputer)
Perjudian melalui komputer merupakan perbuatan melakukan perjudian biasa yang menggunakan komputer sebagai alat dalam operasinalisasinya sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan Pasal 303 KUHP.


Jenis-jenis cyber crime berdasarkan motifnya dapat tebagi dalam beberapa hal :  
1.       Cybercrime sebagai tindakan kejahatan murni
Dimana orang yang melakukan kejahatan yang dilakukan secara di sengaja, dimana orang tersebut secara sengaja dan terencana untuk melakukan pengrusakkan, pencurian, tindakan anarkis, terhadap suatu system informasi atau system computer.
2.       Cybercrime sebagai tindakan kejahatan abu-abu
Dimana kejahatan ini tidak jelas antara kejahatan criminal atau bukan karena dia melakukan pembobolan tetapi tidak merusak, mencuri atau melakukan perbuatan anarkis terhadap system informasi atau system computer tersebut.
3.      Cybercrime yang menyerang individu
Kejahatan yang dilakukan terhadap orang lain dengan motif dendam atau iseng yang bertujuan untuk merusak nama baik, mencoba ataupun mempermaikan seseorang untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Contoh : Pornografi, cyberstalking, dll
4.      Cybercrime yang menyerang hak cipta (Hak milik) :
Kejahatan yang dilakukan terhadap hasil karya seseorang dengan motif menggandakan, memasarkan, mengubah yang bertujuan untuk kepentingan pribadi/umum ataupun demi materi/nonmateri.
5.      Cybercrime yang menyerang pemerintah :
Kejahatan yang dilakukan dengan pemerintah sebagai objek dengan motif melakukan terror, membajak ataupun merusak keamanan suatu pemerintahan yang bertujuan untuk mengacaukan system pemerintahan, atau menghancurkan suatu Negara.

                MODUS KEJAHATAN CYBERCRIME

a.      Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik system jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukan hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet/intranet.
b.      Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya adalah pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah, dan sebagainya.
c.       Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi  “salah ketik” yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.
d.      Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer(computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data-data pentingnya tersimpan dalam suatu system yang computerized.
e.      Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase tersebut, tentunya dengan bayaran tertentu. Kejahatan ini sering disebut sebagai cyberterrorism.
f.        Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.
g.      Infringements of Privacy
Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized,yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materilmaupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakittersembunyi dan sebagainya.
h.      Cracking
Kejahatan dengan menggunakan teknologi computer yang dilakukan untuk merusak system keamaanan suatu system computer dan biasanya melakukan pencurian, tindakan anarkis begitu merekan mendapatkan akses. Biasanya kita sering salah menafsirkan antara seorang hacker dan cracker dimana hacker sendiri identetik dengan perbuatan negative, padahal hacker adalah orang yang senang memprogram dan percaya bahwa informasi adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan ada yang bersifat dapat dipublikasikan dan rahasia.
i.        Carding
Adalah kejahatan dengan menggunakan teknologi computer untuk melakukan transaksi dengan menggunakan card credit orang lain sehingga dapat merugikan orang tersebut baik materil maupun non materil.

Pengaturan hukum terhadap tindak pidana di bidang Teknologi Informasi di Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi Elektronik (ITE). Dalam ketentuan Undang Undang tersebut diatur tentang perbuatan – perbuatan yang dilarang dan sanksi hukumnya. [8] Disahkannya undang – undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia telah membawa angin segar bagi banyak kalangan. Pihak – pihak yang sering menggunakan teknologi informasi, komunikasi dan elektronik sebagai media dalam melakukan transaksi seperti e-banking, e-commerce, e-buy telah mendapatkan perlindungan serta kepastian hukum dalam menjalankan transaksinya. Dengan adanya undang – undang ITE ini juga membuktikan bahwa Indonesia telah turut serta menjadi bagian dunia internasional yang bertanggungjawab dan berperan serta dalam pemberantasan tindak pidana internasional.
Kehadiran Undang – undang ITE juga bukan dimaksudkan untuk mengekang kreatifitas anak bangsa dan individu lainnya di bidang teknologi informasi. Apapun produk hukum yang diciptakan tidak hanya memandang kepentingan sepihak saja akan tetapi diharapkan melindungi kepentingan masyarakat banyak.

Di negara kita terkenal dengan Undang-Undang yang berlaku untuk semua masyarakat Indonesia yang melakukan pelanggaran baik itu pemerintahan ataupun masyarakat umum. Untuk dunia informasi teknologi dan elektronik dikenal dengan UU ITE. Undang-Undang ITE ini sendiri dibuat berdasarkan undang-undang nomor 11 tahun 2008. Berikut sebagian inti dari undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik (ITE) mengenai hukuman dan denda untuk setiap pelanggarannya:

Pasal 27 : Denda Rp 1 miliar dan enam tahun penjara bagi orang yang membuat, mendistribusikan, mentransmisikan, materi yang melanggar kesusilaan, judi, menghina dan mencemari nama baik, memeras dan mengancam.

Pasal 28 : Denda Rp 1 miliar dan enam tahun penjara bagi orang yang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, sehingga merugikan konsumen transaksi elektronik dan menimbulkan kebencian dan permusuhan antar kelompok.

Pasal 30 : Denda Rp 600-800 juta dan penjara 6-8 tahun bagi orang yang memasuki komputer atau sistem elektronik orang lain, menerobos, sampai menjebol sistem pengamanan.

Pasal 31 : Denda Rp 800 juta dan penjara 10 tahun bagi orang yang menyadap informasi elektronik atau dokumen elektronik di komputer atau sistem elektronik –mengubah maupun tidak dokumen itu.
Pasal 32 : Denda Rp 2-5 miliar dan penjara 8-10 tahun bagi orang yang mengubah, merusak, memindahkan, dan menyembunyikan informasi atau dokumen elektronik.

Pasal 34 : Denda Rp 10 miliar dan penjara 10 tahun bagi orang yang memproduksi, menjual, mengimpor, mendistribusikan, atau memiliki perangkat keras dan lunak sebagaimana di Pasal 27-34.


Masalah yurisdiksi merupakan hal yang paling penting yang membedakan cybercrime dengan tindak pidana tradisional. Dimensi transnasional dari cybercrime menimbulkan 4 tantangan yang berat bagi penegak hukum, terutama mereka yang terlibat dalam tahap awal penyidikan, yaitu :
a.      Menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dalam yurisdiksi mereka;
b.      Menemukan bukti yang cukup berdasarkan hukum yang berlaku, yaitu berdasarkan kewenangan dari pengadilan yang tepat untuk melakukan penyidikan dan melakukan intersepsi telekomunikasi ;
c.       Mengidentifikasi pelaku dan menentukan tempat dia berada;
d.      Memutuskan apakah menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang di negara tempat tersangka secara fisik berada atau meminta ekstradisi pelaku untuk diadili berdasarkan hukumnya sendiri.

Permasalahan yurisdiksi berlakunya hukum pidana nasional terhadap suatu perbuatan berkaitan dengan asas legalitas dan prinsip-prinsip yurisdiksi sebagai dasar berlakunya hukum pidana. Berdasarkan asas legalitas suatu perbuatan dapat dituntut, diadili, dan dipidana apabila perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang. Penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana merupakan bagian dari kekuasaan (kedaulatan) yang dimiliki suatu negara untuk menetapkan hukumnya (jurisdiction to prescribe). Namun walaupun demikian untuk melakukan kriminalisasi cybercrime yang memiliki dimensi transnasional atau cross border suatu negara harus memperhatikan aspek harmonisasi baik dengan hukum internasional maupun hukum negara-negara lain karena berkaitan dengan implementasi yurisdiksi negara yang lainnya, yaitu kekuasaan negara untuk menerapkan hukum (jurisdiction to enforce) dan kekuasaan negara untuk mengadili (jurisdiction to adjudicate). Apabila pengaturan cybercrime dalam hukum nasionalnya tidak memperhatikan harmonisasi dengan pengaturan dalam hukum internasional atau hukum negara-negara lain maka hal ini akan menghambat dalam penegakan hukumnya.


Faktor-faktor yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan yurisdiksi criminal berlakunya hukum pidana nasional tersebut pada dasarnya relevan dengan prinsip prinsip yurisdiksi dalam hukum (pidana) internasional dengan beberapa perluasan sesuai dengan karakteristik cybercrime. Prinsip-prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum (pidana) internasional, adalah :
1.       Prinsip teritorial (the territorial principle)
Prinsip teritorial merupakan implementasi dari konsep kedaulatan teritorial yang dimiliki negara yang berdaulat. Berdasarkan prinsip teritorial suatu Negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana dan pelakunya, yang dilakukan di dalam wilayahnya. Prinsip teritorial merupakan prinsip yurisdiksi yang utama yang digunakan dalam melaksanakan yurisdiksi negara. Dalam perkembangannya prinsip teritorial mengalami perluasan, yaitu prinsip teritorial subjektif dan prinsip teritorial objektif.
2.       Prinsip nasional aktif (the active nationality principle)

Prinsip nasional aktif adalah prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan yurisdiksi negara dengan berdasarkan pada nasionalitas atau kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
3.      Prinsip nasional pasif (the passive nationality principle)
Prinsip nasional pasif adalah prinsip yang didasarkan pada nasionalitas atau kewarganegaraan korban tindak pidana.
4.      Prinsip perlindungan ( the protective principle)
Prinsip perlindungan adalah prinsip yang digunakan untuk menerapkan yurisdiksi suatu negara berdasarkan perlindungan kepentingan negara yang bersifat vital seperti keamanan dan integritas atau kepentingan ekonomi negara.
5.      Prinsip universal (the universality principle)
Prinsip universal adalah prinsip yang digunakan dalam melaksanakan yurisdiksi negara dengan berdasar pada tindak pidana yang membahayakan nilai-nilai universal dan kepentingan umat manusia atau menyerang masyarakat internasional secara keseluruhan. Dalam prinsip ini pelaksanaan yurisdiksi Negara tidak didasarkan pada adanya hubungan antara negara dengan tindak pidana tersebut, sebagaimana prinsip teritorial (berdasarkan tempat tindak pidana dilakukan), prinsip nasional aktif (berdasarkan nasionalitas pelaku tindak pidana), prinsip nasional pasif (berdasarkan nasionalitas korban), dan prinsip perlindungan (berdasarkan kepentingan negara yang bersifat vital).

Tidak ada atau belum cukup memadainya pengaturan cybercrime dalam hukum nasional ataupun adanya perluasan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional dalam penegakan hukum terhadap cybercrime seringkali menimbulkan terjadinya konflik yurisdiksi yang dapat menghambat upaya penegakan hukum, yaitu berupa negative jurisdiction conflict atau positive (multiple) jurisdiction conflict. Negative jurisdiction conflict terjadi dalam hal negara-negara tidak mengatur cybercrime dalam hukum nasionalnya, sedangkan positive jurisdiction conflict terjadi dalam hal beberapa negara berdasarkan hukum nasionalnya memiliki yurisdiksi dan menuntut untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap cybercrime tersebut. Oleh karena itu dalam upaya penegakan hukum terhadap cybercrime disamping melakukan regulasi cybercrime dan harmonisasi hukum, juga melakukan kerjasama internasional, namun tidak terbatas pada mutual legal assistance in criminal matters atau ekstradisi. Dalam penegakan hukum terhadap cybercrime kerjasama internasional bukan semata untuk melaksanakan kekuasaan suatu negara karena negara tersebut memiliki yurisdiksi kriminal atas suatu tindak pidana tetapi dalam upaya untuk menentukan negara yang tepat untuk melaksanakan yurisdiksi kriminal terhadap tindak pidana tersebut. Upaya konsultasi dan berbagi informasi terkait cybercrime yang terjadi antar aparat penegak hukum menjadi hal yang sangat penting untuk efektivitas dan efisiensi penegakan hukum terhadap cybercrime.

Pengaturan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional terhadap cybercrime berdasarkan prinsip-prinsip yurisdiksi berkaitan dengan batas-batas pelaksanaan yurisdiksi suatu negara dan berlakunya yurisdiksi negara lain. Dalam hukum pidana Indonesia pengaturan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional terdapat dalam KUHP Buku I Pasal 2 s.d. Pasal 9. Buku I KUHP yang mengatur pengertian dan asas-asas hukum pidana merupakan Aturan Umum (General Rules) yang berlaku terhadap tindak pidana di dalam KUHP (BUKU II dan Buku III) dan tindak pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP, kecuali perundang undangan di luar KUHP tersebut menentukan lain. Pengaturan yurisdiksi kriminal terhadap cybercrime terdapat dalam Pasal 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang pada dasarnya menyatakan bahwa UU ITE berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana yang berada di dalam wilayah hukum Indonesia atau berada di luar wilayah hukum Indonesia dan mempunyai akibat hukum di wilayah hukum Indonesia atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan hukum Indonesia. Ketentuan Pasal 2 UU ITE merupakan aturan yurisdiksi yang bersifat khusus atau lex specialis dari aturan yurisdiksi dalam Buku I KUHP. Sehingga yurisdiksi kriminal dalam UU ITE hanya berlaku terhadap tindak pidana dalam UU ITE.

Dalam pemberantasan cybercrime ketentuan baru mengenai yurisdiksi criminal sangat penting karena keterbatasan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana dalam Buku I KUHP sehingga tidak dapat menjangkau perkembangan cybercrime tertentu. Prinsip nasional aktif dengan tidak mensyaratkan prinsip dual criminality yang bersifat terbatas untuk tindak pidana (Pasal 5 ayat (1) ke 1) dan dengan syarat terpenuhinya prinsip dual criminality (Pasal 5 ayat (1) ke 2) dapat menjadi celah untuk modus operandi cybercrime dengan memanfaatkan belum adanya harmonisasi atau pengaturan cybercrime di suatu negara. Penggunaan prinsip nasional dalam perkembangan cybercrime bukan hanya untuk melindungi kepentingan-kepentingan khusus Indonesia seperti keamanan negara, kepala negara dan wakil kepala Negara yang kemungkinan besar tidak diatur dalam hukum pidana negara lain tetapi untuk jenis tindak pidana lainnya. Demikian pula prinsip perlindungan dalam Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3 masih bersifat terbatas, karena kepentingan-kepentingan Negara Indonesia sudah mengalami perkembangan tidak hanya yang berkaitan dengan masalah makar, kejahatan mata uang, dan surat utang.

Pengaturan yurisdiksi kriminal dalam Pasal 2 UU ITE relatif singkat dan padat sehingga dalam implementasinya diperlukan penafsiran-penafsiran dan perluasan terhadap prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional publik dan teori locus delicti dalam hukum pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU ITE prinsip yurisdiksi yang menjadi dasar berlakunya hukum pidana terhadap cybercrime adalah :
1.       Prinsip teritorial
Prinsip teritorial dalam Pasal 2 UU ITE terkandung dalam rumusan “yang berada di wilayah hukum Indonesia”. Dalam rumusan selanjutnya juga ditegaskan prinsip teritorial objektif, yaitu dalam rumusan “di luar wikayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia”. Di lain pihak dalam ketentuan ini tidak ada penegasan berlakunya prinsip territorial subjektif, yang sangat penting dalam pemberantasan cybercrime yang seringkali perbuatannya dimulai di suatu wilayah negara dan penyelesaiannya atau efeknya ada di wilayah negara lain. Namun demikian prinsip teritorial subjektif dapat digunakan dengan melakukan penafsiran.

2.       Prinsip perlindungan
Prinsip perlindungan dalam Pasal 2 UU ITE terkandung dalam rumusan “di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.” Prinsip perlindungan dalam ketentuan ini lebih luas dari yurisdiksi perlindungan dalam KUHP dan prinsip perlindungan pada umumnya yaitu untuk melindungi kepentingan vital suatu negara.
Dalam Pasal 2 UU ITE prinsip-prinsip yurisdiksi lainnya seperti prinsip nasional baik prinsip nasional aktif maupun prinsip nasional pasif tidak menjadi dasar berlakunya hukum pidana terhadap cybercrime. Demikian pula prinsip bendera Negara kapal dan prinsip pesawat negara terdaftar sebagai perluasan prinsip teritorial tidak berlaku.

Prinsip-prinsip yurisdiksi yang digunakan dalam R KUHP antara lain :
1. Prinsip teritorial, dengan perluasan berdasarkan prinsip bendera negara kapal dan prinsip pesawat negara terdaftar.
Prinsip teritorial juga mencakup prinsip teritorial objektif, khususnya mengenai akibat yang terjadi baik di wilayah negara Indonesia maupun kapal dan pesawat Indonesia. Prinsip teritorial objektif belum mencakup mengenai penyelesaian tindak pidana yang terjadi di wilayah negara Indonesia maupun kapal dan pesawat Indonesia.
2. Prinsip nasional aktif.
3. Prinsip nasional pasif.
4. Prinsip perlindungan, yang dirumuskan sebagai bagian dari asas nasional pasif
(Pasal 5 huruf b R KUHP)
5. Prinsip universal.

Walaupun dalam RKUHP sudah ada amandemen pengaturan yurisdiksi kriminal, namun masih bersifat terbatas, misalnya belum ada pengaturan yurisdiksi teritorial subjektif, yurisdiksi nasional pasif, yurisdiksi perlindungan untuk kepentingan negara yang bersifat vital lainnya dan yurisdiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan di luar yurisdiksi negara manapun.
Berdasarkan analisis terhadap pengaturan yurisdiksi kriminal terhadap cybercrime baik dalam hukum nasional, hukum internasional maupun hukum pidana negara lain, prinsip-prinsip yurisdiksi yang digunakan dalam pengaturan yurisdiksi kriminal terhadap cybercrime adalah prinsip-prinsip yurisdiksi yang dikenal dan diakui dalam hukum internasional publik dan hukum pidana nasional dengan beberapa perluasan sesuai dengan karakteristik cybercrime. Prinsip-prinsip yurisdiksi tersebut adalah :

1.       Prinsip teritorial baik teritorial subjektif maupun teritorial objektif yang diperluas teritorial tidak hanya untuk tindak pidana yang seluruh perbuatannya dilakukan di dalam wilayah negara tetapi juga termasuk sebagian dari perbuatan yang dilakukan atau sebagian dari akibat yang terjadi di wilayah negara dan penerapan “effect doctrine” untuk perluasan prinsip teritorial objektif.
2.       Prinsip “bendera negara kapal” dan prinsip “pesawat negara terdaftar” diperluas termasuk sebagian perbuatan dilakukan dalam pesawat atau sebagian akibatnya terjadi terhadap pesawat dan perbuatan dilakukan di dalam yurisdiksi negara lain atau di luar yurisdiksi negara manapun.
3.      Prinsip nasional, baik prinsip nasional aktif maupun prinsip nasional pasif diperluas tidak hanya untuk tindak pidana yang dilakukan di dalam yurisdiksi negara lain tetapi juga untuk “tindak pidana yang dilakukan di luar yurisdiksi teritorial negara manapun”. Khusus berkaitan dengan prinsip nasional aktif diperluas termasuk “pelaku yang di kemudian hari menjadi warga negara”.
4.      Prinsip perlindungan diperluas termasuk “kepentingan-kepentingan vital Negara lainnya” dan tidak terbatas hanya pada kepentingan kepala negara dan keuangan atau ekonomi negara serta tindak pidana yang dilakukan di dalam yurisdiksi negara lain tetapi juga untuk “tindak pidana yang dilakukan di luar yurisdiksi teritorial negara manapun”.
5.      Prinsip universal dimungkinkan diperluas untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat membahayakan umat manusia dengan berdasarkan Konvensi Internasional.
6.      Prinsip dual criminality berlaku terbatas hanya dalam penerapan prinsip nasional aktif dan nasional pasif serta tindak pidana yang dilakukan berada dalam yurisdiksi negara lain. Bila cybercrime dilakukan di luar yurisdiksi Negara manapun tidak berlaku prinsip dual criminality. Penerapan prinsip dual criminality didasarkan prinsip keadilan dan persamaan di depan hukum, sedangkan pembatasan prinsip dual criminality didasarkan prinsip “no save haven” bagi pelaku cybercrime.

Dengan demikian yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional terhadap cybercrime tidak cukup dengan menggunakan prinsip yurisdiksi territorial dan ekstra-teritorial yang diakui dalam hukum internasional publik tetapi juga berdasarkan prinsip yurisdiksi yang berlaku terhadap tindak pidana yang dilakukan di luar yurisdiksi negara manapun. Jadi yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional terhadap cybercrime menggunakan quasi yurisdiksi, yaitu menggunakan yurisdiksi teritorial, yurisdiksi ekstra-teritorial terhadap cybercrime yang dilakukan di dalam yurisdiksi negara lain, dan yurisdiksi ekstra-teritorial terhadap cybercrime yang dilakukan di luar yurisdiksi negara manapun.

      Untuk menanggulangi kejahatan internet yang semakin meluas maka diperlukan suatu kesadaran dari masing-masing negara akan bahaya penyalahgunaan internet. maka berikut adalah langkah ataupun cara penanggulangan secara global :
  1. Modernisasi hukum pidana nasional berserta hukum acaranya diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
  2. Peningkatan standar pengamanan system jaringan computer nasional sesuai dengan standar internasional.
  3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparat hukum mengenai upaya pencegahan, inventigasi, dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
  4. Meningkatkan kesadaran warga Negara mengenai bahaya cybercrime dan pentingnya pencegahan kejahatan tersebut.
  5. Meningkatkan kerja sama antar Negara dibidang teknologi mengenai hukum pelanggaran cybercrime.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam proses penyidikan antara lain adalah sebagai berikut :
1.       Kemampuan penyidik

Secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus itu. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah: Kurangnya pengetahuan tentang komputerdan pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih terbatas. Tidak ada satu orang pun yang pernah mendapat pendidikan khusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus cybercrime. Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker


2.       Alat Bukti
Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu :
a.      Sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah.
b.      Kedudukan saksi korban dalam cybercrime sangat penting disebabkan cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan. Penuntut umum juga tidak mau menerima berkas perkara yang tidak dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Saksi khususnya saksi korban dan harus dilengkapi dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi disebabkan kemungkinan besar saksi tidak dapat hadir di persidangan mengingat jauhnya tempat kediaman saksi. Hal ini mengakibatkan kurangnya alat bukti yang sah jika berkas perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sehingga beresiko terdakwa akan dinyatakan bebas. Mengingat karakteristik cybercrime, diperlukan aturan khusus terhadap beberapa ketentuan hukum acara untuk cybercrime. Pada saat ini, yang dianggap paling mendesak oleh Peneliti adalah pengaturan tentang kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistem program yang disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.


3.      Fasilitas komputer forensik

Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas komputer forensik yang memadai.


BAB III
PENUTUP

             Perkembangan yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer dilandasi oleh perkembangan yang terjadi pada bidang mikro elektronika, material, dan perangkat lunak. Teknologi komputer adalah berupa computer network yang kemudian melahirkan suatu ruang komunikasi dan informasi global yang  dikenal dengan internet. Penggunaan teknologi komputer, telekomunikasi, dan informasi tersebut mendorong berkembangnya transaksi melalui internet di dunia. Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam makalah ini, maka dapat kami simpulkan, Cyber crime merupakan kejahatan yang timbul dari dampak negative perkembangan aplikasi internet. Sarana yang dipakai tidak hanya komputer melainkan juga teknologi , sehingga yang melakukan kejahatan ini perlu proses belajar, motif melakukan kejahatan ini disamping karena uang juga iseng. Kejahatan ini juga bisa timbul dikarenakan ketidakmampuan hukum termasuk aparat dalam menjangkaunya. Kejahatan ini bersifat maya dimana si pelaku tidak tampak secara fisik.


DAFTAR PUSTAKA

Dr. Aziz Syamsuddin, SH, SE, MH, MAF, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Bandung, 2013

Dr. Chairul Huda, SH, MH, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008

Kristian, SH, Yopi Gunawan, SH, MH, MM, Tindak Pidana Perbankan, Nuansa Aulia, Bandung, 2013
Nilma Suryani, SH.MH dan Arguna Lista, Tinjauan Yuridis Terhadap Virus Komputer Sebagai Alat Bukti Cyber Crime Dalam Peradilan Indonesia, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi DELICTI Volume XI No. 3 / Januari s/d Juni 2013, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang

[1] Cybercrime Definitions and General Information, http://www.crime-pad.com
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ed. 4, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 1301.
[1] Organised Crime & Law Enforcement in Europe, http://www.organisedcrime.info/ index.php?mode
=12&id=20
Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang


[1] Makalah Kelompok dalam mata kuliah Hukum PIdana Ekonomi
[2] Kristian, SH, Yopi Gunawan, SH, MH, MM, Tindak Pidana Perbankan, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hal. 1
[3] Nilma Suryani, SH.MH dan Arguna Lista, Tinjauan Yuridis Terhadap Virus Komputer Sebagai Alat Bukti Cyber Crime Dalam Peradilan Indonesia, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi DELICTI Volume XI No. 3 / Januari s/d Juni 2013, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, 2013, hal. 55
[4] Dr. Chairul Huda, SH, MH, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 30
[5] Cybercrime Definitions and General Information, http://www.crime-pad.com
[6] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ed. 4, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 1301.
[7] Organised Crime & Law Enforcement in Europe, http://www.organisedcrime.info/ index.php?mode
=12&id=20
[8] Dr. Aziz Syamsuddin, SH, SE, MH, MAF, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Bandung, 2013, hal. 123

1 komentar:

  1. Slot Search - Casino - Mapyro
    Slot Search by Location, city 목포 출장안마 and 태백 출장안마 city and play for free at Mapyro. Your search will take you 춘천 출장안마 directly to 공주 출장샵 slot searches 동두천 출장샵 and maps of any of

    BalasHapus