CYBER CRIME dan ASPEK HUKUMNYA[1]
Oleh :
WARMAN PRIATNO, SH
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau
yang dikenal dengan IPTEK dewasa ini ditambah dengan perkembangan masyarakat
dan dunia internasional atau lebih populernya dengan istilah globalisasi tidak
diragukan lagi telah membawa dampak yang sangat berarti terhadap perkembangan
seluruh Negara di penjuru dunia. Dampak yang ditimbulkan dalam hal ini tentu
saja dapat berupa dampak positif yang akan membantu kehidupan manusia maupun
negatif yang sangat merugikan manusia.[2]hari
ke hari semakin banyak masyarakat yang mulai memahami dan memanfatakan apa yang
dinamakan teknologi informasi.
Seiring
dengan itu, Kemajuan teknologi informasi telah merubah hidup manusia menjadi
lebih mudah karena teknologi selalu memanjakan manusia dengan segala
kecanggihannya. Manusia yang selama ini dalam menjalankan aktifitasnya secara
manual dengan menggunakan tenaga manusia sekarang sudah beralih menjadi
penggunaan teknologi. Perkembangan teknologi informasi memasuki suatu cara baru
dalam kehidupan yang dikenal e-life, yang diartikan sebagai kehidupan yang
sudah dipengaruhi oleh berbagai media berbasiskan elektronik seperti
e-commerce, e-government, e-banking, e-library, e-education dan lain
sebagainya. Pekerjaan yang diselesaikan dengan penggunaan teknologi ini akan
semakin mudah karena menggunakan media yang baru dan canggih dan berteknologi
tinggi. Kemajuan teknologi ini banyak sekali mengandung nilai positif kepada
masyarakat penggunanya karena dengan kehadiran teknologi informasi ini
menjadikan semua pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien.
Peningkatan teknologi informasi melahirkan internet sebagai sebuah fenomena dalam kehidupan manusia yang memberikan manfaat luar biasa bagi perkembangan bisnis, pertukaran informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai informasi dapat disajikan dengan canggih dan mudah diperoleh baik dalam hubungan jarak jauh atau dekat dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi yang dihubungkan dengan media computer sebagai perangkat penunjang dan internet sebagai perangkat inti.[3] Manusia menganggap dunia ini tidak memiliki batas. Begitu hebat dan pesatnya perkembangan ini.
Namun demikian tidak semua kecanggihan teknologi informasi dipergunakan sepenuhnya untuk hal yang positif. Kemajuan teknologi ini juga memberikan ruang untuk terjadinya suatu kejahatan baru dengan motif dan modus yang canggih pula. Sudah cukup banyak kasus – kasus hukum yang terjadi dewasa ini dengan perantara teknologi informasi seperti pembobolan kartu kredit, pembajakan VCD, penipuan melalui system elektronik, serangan – serangan hacker yang tidak bertanggungjawab, pornografi melalui media elektronik, pencemaran nama baik melalui cyber, penyerobotan nama domain dan lain sebagainya.
Dengan adanya dampak negative yang merugikan sebagai akibat dari perkembangan informasi tersebut maka harus ada pula ketentuan hukum yang mengaturnya. Oleh karena kejahatan ini adalah adalah suatu kejahatan yang menggunakan modus baru dengan media elektronik maka pemberantasannya tentu harus dilakukan dengan cara yang canggih pula.
Kaidah hukum yang ada belum mampu untuk mengejar pelaku kejahatan mayantara (cyber crime) ini. Kenapa demikian karena kejahatan ini merupakan kejahatan yang tidak berdampak secara fisik atau tidak dlakukan langsung oleh seseorang namun melalui perantara sistim informasi atau elektronik. Bilamana biasanya tindak pidana pencurian itu dilakukan dengan mengambil milik orang lain secara langsung dan mengakibatkan kehilangan bagi orang tersebut, namun tidak demikian halnya dengan kejahatan mayantara (cyber crime) ini dimana pencurian dilakukan dengan meng-copy kan data yang ada dalam penguasaan seseorang dan mem-paste kedalam akun miliknya. Hal ini tentu bukanlah suatu pencurian yang mengakibatkan milik orang lain menjadi hilang sebagaimana diatur dalam KUHP. Permasalahan menjadi rumit ketika bergulirnya kasus Prita Mulyasari yang melakukan chat dengan seorang temannya tentang pelayanan di RSI Omni Internasional. Perbuatan prita Mulyasari tersebut akhirnya membawanya pada persoalan hukum. Tanpa adanya kaidah hukum yang tegas tentang pengaturan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan meresahkan masyarakat.
Terhadap apa yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai landasan berpijaknya suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan atau lebih populer dengan istilah asas legalitas menghendaki penentuan tindak pidana hanyalah berdasarkan pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.[4] Asas legalitas ini selalu saja menjadi batu sandungan untuk menindak suatu perbuatan yang memang belum ada paying hukumnya secara jelas.
BAB
II
PEMBAHASAN
Istilah ‘cybercrime’ adalah
salah satu istilah yang digunakan oleh para pakar cybercrime dan
instrumen hukum internasional serta perundang-undangan cybercrime di
beberapa negara untuk kejahatan yang terjadi dan berkembang seiring dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi. Istilah-istilah lainnya adalah computer
crime, virtual crime, online crime, digital crime, internet related crime, electronic
crime, computer-related crime, computer-assisted crime, internet crime, ecrime,
high tech crime.[5]
Dalam Bahasa Indonesia penggunaan istilah sebagai padanan kata cybercrime atau
sejenisnya juga beraneka ragam. Tidak ada istilah baku dalam bahasa Indonesia sebagai
padanan kata ‘cybercrime’. Dalam berbagai literatur digunakan istilah
yang bermacam-macam, antara lain : ‘tindak pidana mayantara’ (Barda Nawawi
Arief), ‘kejahatan mayantara’ (Abdul Wahid dan Mohammad Labib), dan ada juga
yang tetap menggunakan istilah ‘cyber crime’ (Widodo). Istilah ‘tindak pidana
teknologi informasi’ digunakan dalam Draft RUU tentang Tindak Pidana Teknologi
Informasi. Dalam makalah ini penulis menggunakan istilah ‘tindak pidana siber’
sebagai padanan kata untuk ‘cybercrime’. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa :
Pertama, terminologi ‘tindak pidana’ merupakan
istilah baku yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan
menunjuk pada perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Kedua,
istilah siber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung makna sistem
komputer dan informasi atau dunia maya atau berhubungan dengan internet.[6] Kata siber juga digunakan sebagai
padanan kata untuk kata cyber dalam cybernetics, yang dipadankan
dengan kata sibernetika dalam Bahasa Indonesia.8 Dalam Penjelasan Umum UU No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) digunakan
kata siber sebagai padanan kata ‘cyber’ dalam ‘cyberlaw’ (hukum
siber) dan ‘cyberspace’ (ruang siber).
Berikut beberapa
definisi cybercrime yang dikemukakan beberapa pakar. Thomas and Loader
mengkonseptualisasikan cybercrime sebagai “computer mediated
activities which are either illegal or considered illicit by certain parties
and which can be conducted through global electronic network”. Definisi
tersebut membedakan dua hal penting, yaitu crime dalam arti perbuatan
yang melanggar hukum dan oleh karenanya illegal dan deviance dalam arti
perbuatan yang melanggar norma-norma sosial dan aturan aturan informal, oleh
karenanya perbuatan tersebut tidak dikehendaki atau ditolak.
Sebagian analis cybercrime
fokus perhatiannya pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan sanksi
dalam hukum pidana, sedangkan sebagian lainnya melihatnya lebih luas termasuk
perbuatan-perbuatan yang mungkin tidak termasuk illegal, tetapi menurut
masyarakat dianggap sebagai deviant. [7]Dan
Koenig mendefinisikan cybercrime sebagai “a criminal offence that has
been created or made possible by the advent of computer technology, or
traditional crime which has been so transformed by the use of a computer that
law enforcement investigator need the basic understanding of computers in order
to investigate the crime”.11 Definisi cybercrime dari Koenig menitikberatkan
pada penggunaan teknologi komputer dalam melakukan kejahatan baik kejahatan
baru maupun kejahatan tradisional.
Berdasarkan
beberapa definisi tersebut yang dimaksud dengan cybercrime adalah tindak
pidana atau kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan atau melalui teknologi
informasi dan komunikasi atau yang ditujukan terhadap system komputer atau
jaringan komputer. Berkaitan dengan
sifat, hakikat, dan luas lingkup cybercrime sebagian pakar berpendapat
bahwa tindak pidana siber bukanlah kejahatan baru, tetapi kejahatan tradisional
yang dilakukan di cyberspace dan hanya merupakan kejahatan dengan menggunakan
alat-alat baru yang membantu pelaku dalam melakukan kejahatannya.
Jenis-jenis cybercrime
yang termasuk ‘not new crime’, misalnya, penipuan secara online,
pencurian sejumlah dana atau informasi, penggelapan, pemalsuan, stalking,
membuat dan atau menyebarkan pornografi anak, yang termasuk kategori “crimes
in which the computer is a tool used to commit a crime; serta jenis cybercrime
yang termasuk kategori crimes in which the use of the computer is an
incidental aspect of the commission of the crime”, seperti seseorang
menggunakan komputer untuk menulis surat yang berisi ancaman. Komputer dalam
hal ini hanya sebagai alat bukti.
Pandangan yang
hampir sama dengan Susan Brenner dikemukakan oleh Yvonne Jewkes yang
berpandangan bahwa tindak pidana siber dapat diklasifikasikan dalam dua
kategori berikut.
a. New
crimes using new tools
Kejahatan yang tidak dapat dilakukan
dengan cara lain atau terhadap tipe korban lain, seperti hacking dan viruses.
b. Old
crimes using new tools
Kejahatan konvensional yang dilakukan
dengan menggunakan teknologi komputer dan teknologi informasi baru, seperti
penipuan, pencurian identitas, dan stalking.
Kategorisasi cybercrime dengan
orientasi pada penggunaan computer dikemukakan oleh Yee Fen Lim, sebagai
berikut.
a.
Komputer
sebagai target kejahatan (computers as
targets)
Suatu
kejahatan termasuk kategori computers as targets bila perbuatan
dilakukan untuk mengambil informasi tanpa izin atau mengakibatkan kerusakan
pada komputer atau jaringan komputer. Kejahatan tersebut berkaitan dengan
serangan terhadap confidentiality, integrity, atau availability informasi
atau layanan komputer. Bentuk kejahatan dengan target sistem komputer berupa
memperoleh informasi yang tersimpan dalam sistem komputer atau mengontrolnya
tanpa izin atau pembayaran;
b.
Komputer sebagai alat penyimpan (computers
as storage devices)
Kejahatan
dalam kategori ini menggunakan komputer atau alat komputer sebagai medium
penyimpan pasif. Contoh : hacker menggunakan komputer untuk menyimpan
daftar password yang dicuri, nomor kartu kredit, informasi pemilik
perusahaan, file gambar porno, dll.
c.
Komputer sebagai alat komunikasi (computers
as communications tools).
Dalam
kategori ini kejahatan dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai alat
komunikasi. Kebanyakan cybercrime masuk dalam kategori ini, termasuk kejahatan
tradisional yang dilakukan secara on-line, seperti jual beli illegal narkotika
dan obat-obatan terlarang serta senjata, penipuan, judi, dan pornografi anak.
Cybercrime
juga dapat dibedakan dalam beberapa
kategori kejahatan berdasarkan kriteria tertentu. Debra L.Shinder, misalnya,
membuat kategorisasi cybercrime berdasarkan cara kejahatan dilakukan. Pertama, kejahatan dilakukan dengan
kekerasan atau pelaku secara potensial melakukan kejahatan dengan kekerasan (crimes
committed by violent or potentially violent criminals) dan Kedua, kejahatan dilakukan tanpa
kekerasan (nonviolent crimes).
Kejahatan-kejahatan yang termasuk kategori
pertama (crimes committed by violent or potentially violent criminals)
antara lain :
a.
Cyberterrorism
b.
Assault by threat
c.
Cyberstalking
d.
Child pornography
Kejahatan-kejahatan yang termasuk
kategori kedua (nonviolent crimes) antara lain sebagai berikut.
a.
Cybertrespass
Cybertrespass seringkali disebut sebagai unauthorized
access atau breach of network security atau sejenisnya.
b. Cybertheft
Cybertheft merupakan kejahatan untuk mencuri
informasi, uang atau sesuatu yang mempunyai nilai. Keuntungan merupakan
motivasi dari pelaku cybertheft. Jenis-jenis cybertheft antara
lain : embezzlement, corporate/industrial espionage, plagiarism, piracy,
identity theft, dll.
c. Cyberfraud
d. Destructive
cybercrimes
Merusak atau menghancurkan data atau
jaringan pelayanan. Misalnya hacking into network and deleting data or
program files, hacking into a Web server and vandalizing Web pages, worms and
other malicious code into a network or computer.
e. Other
cybercrimes, termasuk advertising/soliciting prostitution services over the
internet, internet gambling, internet drug sales, cyberlaundering, dll.
Berdasarkan bentuk-bentuk kejahatan sebagaimana telah
dikemukakan oleh beberapa pakar cyber crime serta memperhatikan kasus-kasus
cybercrime yang sering terjadi, maka kualifikasi cybercrime berdasarkan Tindak
pidana yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan
sistem computer yaitu :
a.
Illegal Access (akses secara tidak sah terhadap sistem komputer), yaitu
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan akses secara tidak sah terhadap seluruh
atau sebagian sistem komputer, dengan maksud untuk mendapatkan data komputer
atau maksud-maksud tidak baik lainnya, atau berkaitan dengan sistem komputer
yang dihubungkan dengan sistem komputer lain. Hacking merupakan salah satu dari
jenis kejahatan ini yang sangat sering terjadi.
b.
Data Interference (mengganggu data komputer), yaitu dengan sengaja melakukan
perbuatan merusak, menghapus, memerosotkan (deterioration), mengubah atau
menyembunyikan (suppression) data komputer tanpa hak. Perbuatan menyebarkan
virus komputer merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang sering
terjadi.
c.
System Interference (mengganggu sistem komputer), yaitu dengan sengaja dan
tanpa hak melakukan gangguan terhadap fungsi sistem komputer dengan cara
memasukkan, memancarkan, merusak, menghapus, memerosotkan, mengubah, atau menyembunyikan
data komputer. Perbuatan menyebarkan program virus komputer dan E-mail bombings
(surat elektronik berantai) merupakan bagian dari jenis kejahatan ini yang
sangat sering terjadi.
d.
Illegal Interception in
the computers, systems and computer networks operation(intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan
jaringan operasional komputer), yaitu dengan sengaja melakukan intersepsi tanpa
hak, dengan menggunakan peralatan teknik, terhadap data komputer, sistem
komputer, dan atau jaringan operasional komputer yang bukan diperuntukkan bagi
kalangan umum, dari atau melalui sistem komputer, termasuk didalamnya gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan dari suatu sistem komputer yang membawa
sejumlah data. Perbuatan dilakukan dengan maksud tidak baik, atau berkaitan
dengan suatu sistem komputer yang dihubungkan dengan sistem komputer lainnya.
e.
Data Theft (mencuri data), yaitu kegiatan memperoleh data komputer
secara tidak sah, baik untuk digunakan sendiri ataupun untuk diberikan kepada
orang lain. Identity theft merupakan salah satu dari jenis kejahatan ini yang
sering diikuti dengan kejahatan penipuan (fraud). Kejahatan ini juga sering
diikuti dengan kejahatan data leakage.
f.
Data leakage and
Espionage (membocorkan data dan memata-matai),
yaitu kegiatan memata-matai dan atau membocorkan data rahasia baik berupa
rahasia negara, rahasia perusahaan, atau data lainnya yang tidak diperuntukkan
bagi umum, kepada orang lain, suatu badan atau perusahaan lain, atau negara
asing.”
g.
Misuse of Devices (menyalahgunakan peralatan komputer), yaitu dengan sengaja
dan tanpa hak, memproduksi, menjual, berusaha memperoleh untuk digunakan,
diimpor, diedarkan atau cara lain untuk kepentingan itu, peralatan, termasuk
program komputer, password komputer, kode akses, atau data semacam itu,
sehingga seluruh atau sebagian sistem komputer dapat diakses dengan tujuan
digunakan untuk melakukan akses tidak sah, intersepsi tidak sah, mengganggu
data atau sistem komputer, atau melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum
lain.
h.
Credit card fraud
(penipuan kartu kredit)
Penipuan kartu kredit merupakan perbuatan penipuan biasa yang
menggunakan komputer dan kartu kredit yang tidak sah sebagai alat dalam
melakukan kejahatannya sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan Pasal
378 KUHP.
i.
Bank fraud (penipuan
bank)
Penipuan bank dengan menggunakan komputer sebagai alat melakukan
kejahatan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP atau Pasal 378 KUHP, tergantung
dari modus operandi perbuatan yang dilakukannya.
j.
Service Offered fraud
(penipuan melalui penawaran suatu jasa)
Penipuan melalui penawaran jasa merupakan perbuatan penipuan
biasa yang menggunakan komputer sebagai salah satu alat dalam melakukan
kejahatannya sehingga dapat diancam dengan Pasal 378 KUHP.
k.
Identity Theft and fraud
(pencurian identitas dan penipuan)
Pencurian identitas yang diikuti dengan melakukan kejahatan
penipuan dapat diancam dengan Pasal 362 KUHP atau Pasal 378 KUHP, tergantung
dari modus operandi perbuatan yang dilakukannya.
l.
Computer-related betting
(perjudian melalui komputer)
Perjudian melalui komputer merupakan perbuatan melakukan
perjudian biasa yang menggunakan komputer sebagai alat dalam operasinalisasinya
sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan Pasal 303 KUHP.
Jenis-jenis cyber crime berdasarkan motifnya dapat
tebagi dalam beberapa hal :
1.
Cybercrime sebagai tindakan kejahatan murni
Dimana orang yang melakukan
kejahatan yang dilakukan secara di sengaja, dimana orang tersebut secara
sengaja dan terencana untuk melakukan pengrusakkan, pencurian, tindakan anarkis,
terhadap suatu system informasi atau system computer.
2. Cybercrime sebagai tindakan
kejahatan abu-abu
Dimana kejahatan ini tidak
jelas antara kejahatan criminal atau bukan karena dia melakukan pembobolan
tetapi tidak merusak, mencuri atau melakukan perbuatan anarkis terhadap
system informasi atau system computer tersebut.
3. Cybercrime yang menyerang
individu
Kejahatan yang dilakukan terhadap
orang lain dengan motif dendam atau iseng yang bertujuan untuk merusak nama
baik, mencoba ataupun mempermaikan seseorang untuk mendapatkan kepuasan
pribadi. Contoh : Pornografi, cyberstalking, dll
4. Cybercrime yang menyerang hak
cipta (Hak milik) :
Kejahatan yang dilakukan terhadap
hasil karya seseorang dengan motif menggandakan, memasarkan, mengubah yang
bertujuan untuk kepentingan pribadi/umum ataupun demi materi/nonmateri.
5. Cybercrime yang menyerang
pemerintah :
Kejahatan yang dilakukan dengan
pemerintah sebagai objek dengan motif melakukan terror, membajak ataupun
merusak keamanan suatu pemerintahan yang bertujuan untuk mengacaukan system
pemerintahan, atau menghancurkan suatu Negara.
MODUS KEJAHATAN CYBERCRIME
a.
Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan
memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak
sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik system jaringan komputer
yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud
sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada
juga yang melakukan hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya
menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini
semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet/intranet.
b. Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan
memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak
benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu
ketertiban umum. Sebagai contohnya adalah pemuatan suatu berita bohong atau
fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal
yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan
rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah, dan
sebagainya.
c. Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan
memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless
document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada
dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi “salah ketik” yang pada akhirnya
akan menguntungkan pelaku.
d. Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang
memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap
pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer(computer network system)
pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis
yang dokumen ataupun data-data pentingnya tersimpan dalam suatu system yang
computerized.
e. Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan
membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program
komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya
kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer
ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem
jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya,
atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus
setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut menawarkan diri
kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau sistem jaringan komputer
yang telah disabotase tersebut, tentunya dengan bayaran tertentu. Kejahatan ini
sering disebut sebagai cyberterrorism.
f.
Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap
Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Sebagai
contoh adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain
secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan
rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.
g. Infringements of Privacy
Kejahatan ini ditujukan terhadap
informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia.
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang
tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized,yang
apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara
materilmaupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau
penyakittersembunyi dan sebagainya.
h. Cracking
Kejahatan dengan menggunakan
teknologi computer yang dilakukan untuk merusak system keamaanan suatu system
computer dan biasanya melakukan pencurian, tindakan anarkis begitu merekan
mendapatkan akses. Biasanya kita sering salah menafsirkan antara seorang hacker
dan cracker dimana hacker sendiri identetik dengan perbuatan negative, padahal
hacker adalah orang yang senang memprogram dan percaya bahwa informasi adalah
sesuatu hal yang sangat berharga dan ada yang bersifat dapat dipublikasikan dan
rahasia.
i.
Carding
Adalah kejahatan dengan
menggunakan teknologi computer untuk melakukan transaksi dengan
menggunakan card credit orang lain sehingga dapat merugikan orang tersebut
baik materil maupun non materil.
Pengaturan
hukum terhadap tindak pidana di bidang Teknologi Informasi di Indonesia diatur
dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi Elektronik
(ITE). Dalam ketentuan Undang Undang tersebut diatur tentang perbuatan –
perbuatan yang dilarang dan sanksi hukumnya. [8]
Disahkannya undang – undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) di Indonesia telah membawa angin segar bagi banyak
kalangan. Pihak – pihak yang sering menggunakan teknologi informasi, komunikasi
dan elektronik sebagai media dalam melakukan transaksi seperti e-banking,
e-commerce, e-buy telah mendapatkan perlindungan serta kepastian hukum dalam
menjalankan transaksinya. Dengan adanya undang – undang ITE ini juga
membuktikan bahwa Indonesia telah turut serta menjadi bagian dunia
internasional yang bertanggungjawab dan berperan serta dalam pemberantasan
tindak pidana internasional.
Kehadiran Undang – undang ITE juga bukan dimaksudkan
untuk mengekang kreatifitas anak bangsa dan individu lainnya di bidang
teknologi informasi. Apapun produk hukum yang diciptakan tidak hanya memandang
kepentingan sepihak saja akan tetapi diharapkan melindungi kepentingan
masyarakat banyak.
Di negara kita terkenal dengan Undang-Undang yang
berlaku untuk semua masyarakat Indonesia yang melakukan pelanggaran baik itu
pemerintahan ataupun masyarakat umum. Untuk dunia informasi teknologi dan elektronik
dikenal dengan UU ITE. Undang-Undang ITE ini sendiri dibuat berdasarkan
undang-undang nomor 11 tahun 2008. Berikut sebagian inti dari undang-undang
nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik (ITE) mengenai
hukuman dan denda untuk setiap pelanggarannya:
Pasal 27 : Denda Rp 1 miliar dan enam tahun penjara bagi orang yang membuat, mendistribusikan, mentransmisikan, materi yang melanggar kesusilaan, judi, menghina dan mencemari nama baik, memeras dan mengancam.
Pasal 27 : Denda Rp 1 miliar dan enam tahun penjara bagi orang yang membuat, mendistribusikan, mentransmisikan, materi yang melanggar kesusilaan, judi, menghina dan mencemari nama baik, memeras dan mengancam.
Pasal 28 : Denda Rp 1 miliar dan enam tahun penjara bagi orang yang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, sehingga merugikan konsumen transaksi elektronik dan menimbulkan kebencian dan permusuhan antar kelompok.
Pasal 30 : Denda Rp 600-800 juta dan penjara 6-8 tahun bagi orang yang memasuki komputer atau sistem elektronik orang lain, menerobos, sampai menjebol sistem pengamanan.
Pasal 31 : Denda Rp 800 juta dan penjara 10 tahun bagi orang yang menyadap informasi elektronik atau dokumen elektronik di komputer atau sistem elektronik –mengubah maupun tidak dokumen itu.
Pasal
32 : Denda Rp 2-5 miliar dan penjara 8-10 tahun bagi orang yang mengubah,
merusak, memindahkan, dan menyembunyikan informasi atau dokumen elektronik.
Pasal 34 : Denda Rp 10 miliar dan penjara 10 tahun bagi orang yang memproduksi, menjual, mengimpor, mendistribusikan, atau memiliki perangkat keras dan lunak sebagaimana di Pasal 27-34.
Pasal 34 : Denda Rp 10 miliar dan penjara 10 tahun bagi orang yang memproduksi, menjual, mengimpor, mendistribusikan, atau memiliki perangkat keras dan lunak sebagaimana di Pasal 27-34.
Masalah
yurisdiksi merupakan hal yang paling penting yang membedakan cybercrime dengan
tindak pidana tradisional. Dimensi transnasional dari cybercrime menimbulkan
4 tantangan yang berat bagi penegak hukum, terutama mereka yang terlibat dalam
tahap awal penyidikan, yaitu :
a.
Menentukan
apakah perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dalam yurisdiksi mereka;
b.
Menemukan
bukti yang cukup berdasarkan hukum yang berlaku, yaitu berdasarkan kewenangan
dari pengadilan yang tepat untuk melakukan penyidikan dan melakukan intersepsi
telekomunikasi ;
c.
Mengidentifikasi
pelaku dan menentukan tempat dia berada;
d.
Memutuskan
apakah menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang di negara tempat
tersangka secara fisik berada atau meminta ekstradisi pelaku untuk diadili
berdasarkan hukumnya sendiri.
Permasalahan
yurisdiksi berlakunya hukum pidana nasional terhadap suatu perbuatan berkaitan
dengan asas legalitas dan prinsip-prinsip yurisdiksi sebagai dasar berlakunya
hukum pidana. Berdasarkan asas legalitas suatu perbuatan dapat dituntut, diadili,
dan dipidana apabila perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana yang diatur
dalam Undang-Undang. Penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana merupakan
bagian dari kekuasaan (kedaulatan) yang dimiliki suatu negara untuk menetapkan
hukumnya (jurisdiction to prescribe). Namun walaupun demikian untuk melakukan
kriminalisasi cybercrime yang memiliki dimensi transnasional atau cross
border suatu negara harus memperhatikan aspek harmonisasi baik dengan hukum
internasional maupun hukum negara-negara lain karena berkaitan dengan implementasi
yurisdiksi negara yang lainnya, yaitu kekuasaan negara untuk menerapkan hukum (jurisdiction
to enforce) dan kekuasaan negara untuk mengadili (jurisdiction to
adjudicate). Apabila pengaturan cybercrime dalam hukum nasionalnya tidak
memperhatikan harmonisasi dengan pengaturan dalam hukum internasional atau hukum
negara-negara lain maka hal ini akan menghambat dalam penegakan hukumnya.
Faktor-faktor
yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan yurisdiksi criminal berlakunya
hukum pidana nasional tersebut pada dasarnya relevan dengan prinsip prinsip yurisdiksi
dalam hukum (pidana) internasional dengan beberapa perluasan sesuai dengan
karakteristik cybercrime. Prinsip-prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum
(pidana) internasional, adalah :
1.
Prinsip teritorial (the territorial principle)
Prinsip teritorial merupakan implementasi dari konsep kedaulatan
teritorial yang dimiliki negara yang berdaulat. Berdasarkan prinsip teritorial
suatu Negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana dan pelakunya, yang
dilakukan di dalam wilayahnya. Prinsip teritorial merupakan prinsip yurisdiksi
yang utama yang digunakan dalam melaksanakan yurisdiksi negara. Dalam
perkembangannya prinsip teritorial mengalami perluasan, yaitu prinsip teritorial
subjektif dan prinsip teritorial objektif.
2.
Prinsip nasional aktif (the active nationality principle)
Prinsip nasional aktif
adalah prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan yurisdiksi negara dengan
berdasarkan pada nasionalitas atau kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
3.
Prinsip nasional pasif (the passive nationality principle)
Prinsip nasional pasif
adalah prinsip yang didasarkan pada nasionalitas atau kewarganegaraan korban
tindak pidana.
4.
Prinsip perlindungan ( the protective principle)
Prinsip perlindungan adalah
prinsip yang digunakan untuk menerapkan yurisdiksi suatu negara berdasarkan
perlindungan kepentingan negara yang bersifat vital seperti keamanan dan
integritas atau kepentingan ekonomi negara.
5.
Prinsip universal (the universality principle)
Prinsip universal adalah
prinsip yang digunakan dalam melaksanakan yurisdiksi negara dengan berdasar
pada tindak pidana yang membahayakan nilai-nilai universal dan kepentingan umat
manusia atau menyerang masyarakat internasional secara keseluruhan. Dalam
prinsip ini pelaksanaan yurisdiksi Negara tidak didasarkan pada adanya hubungan
antara negara dengan tindak pidana tersebut, sebagaimana prinsip teritorial
(berdasarkan tempat tindak pidana dilakukan), prinsip nasional aktif
(berdasarkan nasionalitas pelaku tindak pidana), prinsip nasional pasif
(berdasarkan nasionalitas korban), dan prinsip perlindungan (berdasarkan
kepentingan negara yang bersifat vital).
Tidak
ada atau belum cukup memadainya pengaturan cybercrime dalam hukum nasional
ataupun adanya perluasan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional
dalam penegakan hukum terhadap cybercrime seringkali menimbulkan terjadinya
konflik yurisdiksi yang dapat menghambat upaya penegakan hukum, yaitu berupa negative
jurisdiction conflict atau positive (multiple) jurisdiction conflict.
Negative jurisdiction conflict terjadi dalam hal negara-negara tidak
mengatur cybercrime dalam hukum nasionalnya, sedangkan positive
jurisdiction conflict terjadi dalam hal beberapa negara berdasarkan hukum
nasionalnya memiliki yurisdiksi dan menuntut untuk melaksanakan yurisdiksinya
terhadap cybercrime tersebut. Oleh karena itu dalam upaya penegakan
hukum terhadap cybercrime disamping melakukan regulasi cybercrime dan
harmonisasi hukum, juga melakukan kerjasama internasional, namun tidak terbatas
pada mutual legal assistance in criminal matters atau ekstradisi. Dalam
penegakan hukum terhadap cybercrime kerjasama internasional bukan semata
untuk melaksanakan kekuasaan suatu negara karena negara tersebut memiliki
yurisdiksi kriminal atas suatu tindak pidana tetapi dalam upaya untuk menentukan
negara yang tepat untuk melaksanakan yurisdiksi kriminal terhadap tindak pidana
tersebut. Upaya konsultasi dan berbagi informasi terkait cybercrime yang
terjadi antar aparat penegak hukum menjadi hal yang sangat penting untuk efektivitas
dan efisiensi penegakan hukum terhadap cybercrime.
Pengaturan
yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional terhadap cybercrime berdasarkan
prinsip-prinsip yurisdiksi berkaitan dengan batas-batas pelaksanaan yurisdiksi
suatu negara dan berlakunya yurisdiksi negara lain. Dalam hukum pidana
Indonesia pengaturan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional
terdapat dalam KUHP Buku I Pasal 2 s.d. Pasal 9. Buku I KUHP yang mengatur
pengertian dan asas-asas hukum pidana merupakan Aturan Umum (General Rules)
yang berlaku terhadap tindak pidana di dalam KUHP (BUKU II dan Buku III) dan
tindak pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP, kecuali perundang undangan
di luar KUHP tersebut menentukan lain. Pengaturan yurisdiksi kriminal terhadap cybercrime
terdapat dalam Pasal 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang pada
dasarnya menyatakan bahwa UU ITE berlaku terhadap setiap orang yang melakukan
tindak pidana yang berada di dalam wilayah hukum Indonesia atau berada di luar
wilayah hukum Indonesia dan mempunyai akibat hukum di wilayah hukum Indonesia
atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan hukum Indonesia.
Ketentuan Pasal 2 UU ITE merupakan aturan yurisdiksi yang bersifat khusus atau lex
specialis dari aturan yurisdiksi dalam Buku I KUHP. Sehingga yurisdiksi
kriminal dalam UU ITE hanya berlaku terhadap tindak pidana dalam UU ITE.
Dalam
pemberantasan cybercrime ketentuan baru mengenai yurisdiksi criminal sangat
penting karena keterbatasan yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana dalam
Buku I KUHP sehingga tidak dapat menjangkau perkembangan cybercrime tertentu.
Prinsip nasional aktif dengan tidak mensyaratkan prinsip dual criminality yang
bersifat terbatas untuk tindak pidana (Pasal 5 ayat (1) ke 1) dan dengan syarat
terpenuhinya prinsip dual criminality (Pasal 5 ayat (1) ke 2) dapat
menjadi celah untuk modus operandi cybercrime dengan memanfaatkan belum
adanya harmonisasi atau pengaturan cybercrime di suatu negara.
Penggunaan prinsip nasional dalam perkembangan cybercrime bukan hanya
untuk melindungi kepentingan-kepentingan khusus Indonesia seperti keamanan
negara, kepala negara dan wakil kepala Negara yang kemungkinan besar tidak
diatur dalam hukum pidana negara lain tetapi untuk jenis tindak pidana lainnya.
Demikian pula prinsip perlindungan dalam Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3 masih
bersifat terbatas, karena kepentingan-kepentingan Negara Indonesia sudah
mengalami perkembangan tidak hanya yang berkaitan dengan masalah makar,
kejahatan mata uang, dan surat utang.
Pengaturan
yurisdiksi kriminal dalam Pasal 2 UU ITE relatif singkat dan padat sehingga
dalam implementasinya diperlukan penafsiran-penafsiran dan perluasan terhadap
prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional publik dan teori locus delicti
dalam hukum pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU ITE prinsip yurisdiksi
yang menjadi dasar berlakunya hukum pidana terhadap cybercrime adalah :
1.
Prinsip teritorial
Prinsip teritorial dalam Pasal 2 UU ITE terkandung dalam rumusan
“yang berada di wilayah hukum Indonesia”. Dalam rumusan selanjutnya juga
ditegaskan prinsip teritorial objektif, yaitu dalam rumusan “di luar wikayah
hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia”. Di
lain pihak dalam ketentuan ini tidak ada penegasan berlakunya prinsip
territorial subjektif, yang sangat penting dalam pemberantasan cybercrime yang
seringkali perbuatannya dimulai di suatu wilayah negara dan penyelesaiannya
atau efeknya ada di wilayah negara lain. Namun demikian prinsip teritorial
subjektif dapat digunakan dengan melakukan penafsiran.
2.
Prinsip perlindungan
Prinsip perlindungan dalam Pasal 2 UU ITE terkandung dalam rumusan
“di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.” Prinsip perlindungan
dalam ketentuan ini lebih luas dari yurisdiksi perlindungan dalam KUHP dan
prinsip perlindungan pada umumnya yaitu untuk melindungi kepentingan vital
suatu negara.
Dalam Pasal 2 UU ITE prinsip-prinsip
yurisdiksi lainnya seperti prinsip nasional baik prinsip nasional aktif maupun
prinsip nasional pasif tidak menjadi dasar berlakunya hukum pidana terhadap cybercrime.
Demikian pula prinsip bendera Negara kapal dan prinsip pesawat negara terdaftar
sebagai perluasan prinsip teritorial tidak berlaku.
Prinsip-prinsip
yurisdiksi yang digunakan dalam R KUHP antara lain :
1. Prinsip teritorial,
dengan perluasan berdasarkan prinsip bendera negara kapal dan prinsip pesawat
negara terdaftar.
Prinsip teritorial juga
mencakup prinsip teritorial objektif, khususnya mengenai akibat yang terjadi
baik di wilayah negara Indonesia maupun kapal dan pesawat Indonesia. Prinsip
teritorial objektif belum mencakup mengenai penyelesaian tindak pidana yang
terjadi di wilayah negara Indonesia maupun kapal dan pesawat Indonesia.
2. Prinsip nasional aktif.
3. Prinsip nasional pasif.
4. Prinsip perlindungan,
yang dirumuskan sebagai bagian dari asas nasional pasif
(Pasal 5 huruf b R KUHP)
5. Prinsip universal.
Walaupun
dalam RKUHP sudah ada amandemen pengaturan yurisdiksi kriminal, namun masih
bersifat terbatas, misalnya belum ada pengaturan yurisdiksi teritorial
subjektif, yurisdiksi nasional pasif, yurisdiksi perlindungan untuk kepentingan
negara yang bersifat vital lainnya dan yurisdiksi terhadap tindak pidana yang
dilakukan di luar yurisdiksi negara manapun.
Berdasarkan
analisis terhadap pengaturan yurisdiksi kriminal terhadap cybercrime baik
dalam hukum nasional, hukum internasional maupun hukum pidana negara lain, prinsip-prinsip
yurisdiksi yang digunakan dalam pengaturan yurisdiksi kriminal terhadap cybercrime
adalah prinsip-prinsip yurisdiksi yang dikenal dan diakui dalam hukum
internasional publik dan hukum pidana nasional dengan beberapa perluasan sesuai
dengan karakteristik cybercrime. Prinsip-prinsip yurisdiksi tersebut adalah
:
1.
Prinsip teritorial baik teritorial subjektif maupun teritorial
objektif yang diperluas teritorial tidak hanya untuk tindak pidana yang seluruh
perbuatannya dilakukan di dalam wilayah negara tetapi juga termasuk sebagian
dari perbuatan yang dilakukan atau sebagian dari akibat yang terjadi di wilayah
negara dan penerapan “effect doctrine” untuk perluasan prinsip
teritorial objektif.
2.
Prinsip “bendera negara kapal” dan prinsip “pesawat negara
terdaftar” diperluas termasuk sebagian perbuatan dilakukan dalam pesawat atau
sebagian akibatnya terjadi terhadap pesawat dan perbuatan dilakukan di dalam
yurisdiksi negara lain atau di luar yurisdiksi negara manapun.
3.
Prinsip nasional, baik prinsip nasional aktif maupun prinsip
nasional pasif diperluas tidak hanya untuk tindak pidana yang dilakukan di
dalam yurisdiksi negara lain tetapi juga untuk “tindak pidana yang dilakukan di
luar yurisdiksi teritorial negara manapun”. Khusus berkaitan dengan prinsip
nasional aktif diperluas termasuk “pelaku yang di kemudian hari menjadi warga
negara”.
4.
Prinsip perlindungan diperluas termasuk “kepentingan-kepentingan
vital Negara lainnya” dan tidak terbatas hanya pada kepentingan kepala negara
dan keuangan atau ekonomi negara serta tindak pidana yang dilakukan di dalam
yurisdiksi negara lain tetapi juga untuk “tindak pidana yang dilakukan di luar
yurisdiksi teritorial negara manapun”.
5.
Prinsip universal dimungkinkan diperluas untuk tindak pidana
tertentu yang dipandang sangat membahayakan umat manusia dengan berdasarkan
Konvensi Internasional.
6.
Prinsip dual criminality berlaku terbatas hanya dalam
penerapan prinsip nasional aktif dan nasional pasif serta tindak pidana yang
dilakukan berada dalam yurisdiksi negara lain. Bila cybercrime dilakukan
di luar yurisdiksi Negara manapun tidak berlaku prinsip dual criminality.
Penerapan prinsip dual criminality didasarkan prinsip keadilan dan
persamaan di depan hukum, sedangkan pembatasan prinsip dual criminality didasarkan
prinsip “no save haven” bagi pelaku cybercrime.
Dengan
demikian yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional terhadap cybercrime
tidak cukup dengan menggunakan prinsip yurisdiksi territorial dan
ekstra-teritorial yang diakui dalam hukum internasional publik tetapi juga berdasarkan
prinsip yurisdiksi yang berlaku terhadap tindak pidana yang dilakukan di luar
yurisdiksi negara manapun. Jadi yurisdiksi kriminal berlakunya hukum pidana nasional
terhadap cybercrime menggunakan quasi yurisdiksi, yaitu menggunakan yurisdiksi
teritorial, yurisdiksi ekstra-teritorial terhadap cybercrime yang
dilakukan di dalam yurisdiksi negara lain, dan yurisdiksi ekstra-teritorial
terhadap cybercrime yang dilakukan di luar yurisdiksi negara manapun.
Untuk menanggulangi kejahatan
internet yang semakin meluas maka diperlukan suatu kesadaran dari masing-masing
negara akan bahaya penyalahgunaan internet. maka berikut adalah langkah ataupun
cara penanggulangan secara global :
- Modernisasi hukum pidana nasional berserta hukum acaranya diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
- Peningkatan standar pengamanan system jaringan computer nasional sesuai dengan standar internasional.
- Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparat hukum mengenai upaya pencegahan, inventigasi, dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
- Meningkatkan kesadaran warga Negara mengenai bahaya cybercrime dan pentingnya pencegahan kejahatan tersebut.
- Meningkatkan kerja sama antar Negara dibidang teknologi mengenai hukum pelanggaran cybercrime.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, hambatan-hambatan
yang ditemukan di dalam proses penyidikan antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Kemampuan penyidik
Secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan
operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan
melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus itu. Beberapa faktor yang sangat
berpengaruh (determinan) adalah: Kurangnya pengetahuan tentang komputerdan
pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus
cybercrime masih terbatas. Tidak ada satu orang pun yang pernah mendapat
pendidikan khusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus cybercrime. Dalam hal menangani kasus
cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik
pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan
menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang
komputer dan profil hacker
2. Alat Bukti
Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap
Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu
sendiri, yaitu :
a.
Sasaran atau media
cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang
sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena
itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan
tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan
timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum
diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah.
b.
Kedudukan saksi korban
dalam cybercrime sangat penting disebabkan cybercrime seringkali dilakukan
hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di
luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan
pemberkasan hasil penyidikan. Penuntut umum juga tidak mau menerima berkas
perkara yang tidak dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Saksi khususnya saksi
korban dan harus dilengkapi dengan Berita Acara Penyumpahan Saksi disebabkan
kemungkinan besar saksi tidak dapat hadir di persidangan mengingat jauhnya
tempat kediaman saksi. Hal ini mengakibatkan kurangnya alat bukti yang sah jika
berkas perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan sehingga
beresiko terdakwa akan dinyatakan bebas. Mengingat karakteristik cybercrime,
diperlukan aturan khusus terhadap beberapa ketentuan hukum acara untuk
cybercrime. Pada saat ini, yang dianggap paling mendesak oleh Peneliti adalah
pengaturan tentang kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat bukti yang
sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistem program yang
disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.
3. Fasilitas komputer forensik
Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker
dalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan
data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer
forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta
merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam
hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas komputer forensik yang memadai.
BAB III
PENUTUP
Perkembangan yang pesat dari
teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer dilandasi oleh perkembangan
yang terjadi pada bidang mikro elektronika, material, dan perangkat
lunak. Teknologi komputer adalah berupa computer network yang kemudian
melahirkan suatu ruang komunikasi dan informasi global yang dikenal
dengan internet. Penggunaan teknologi komputer, telekomunikasi, dan informasi
tersebut mendorong berkembangnya transaksi melalui internet di dunia. Berdasarkan
uraian yang telah dibahas dalam makalah ini, maka dapat kami simpulkan, Cyber
crime merupakan kejahatan yang timbul dari dampak negative perkembangan
aplikasi internet. Sarana yang dipakai tidak hanya komputer melainkan juga
teknologi , sehingga yang melakukan kejahatan ini perlu proses belajar, motif
melakukan kejahatan ini disamping karena uang juga iseng. Kejahatan ini juga
bisa timbul dikarenakan ketidakmampuan hukum termasuk aparat dalam
menjangkaunya. Kejahatan ini bersifat maya dimana si pelaku tidak tampak secara
fisik.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Aziz Syamsuddin, SH, SE, MH,
MAF, Tindak Pidana Khusus, Sinar
Grafika, Bandung, 2013
Dr. Chairul Huda, SH, MH, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
Kristian, SH, Yopi Gunawan, SH, MH,
MM, Tindak Pidana Perbankan, Nuansa
Aulia, Bandung, 2013
Nilma Suryani, SH.MH dan Arguna
Lista, Tinjauan Yuridis Terhadap Virus
Komputer Sebagai Alat Bukti Cyber Crime Dalam Peradilan Indonesia, Jurnal
Hukum Pidana dan Kriminologi DELICTI Volume XI No. 3 / Januari s/d Juni 2013,
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, ed. 4, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta,
2008, hlm. 1301.
[1] Organised Crime & Law Enforcement in Europe, http://www.organisedcrime.info/ index.php?mode
=12&id=20
Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
[1]
Makalah Kelompok dalam mata kuliah Hukum PIdana Ekonomi
[2] Kristian, SH, Yopi Gunawan, SH, MH,
MM, Tindak Pidana Perbankan, Nuansa
Aulia, Bandung, 2013, hal. 1
[3] Nilma Suryani, SH.MH dan Arguna
Lista, Tinjauan Yuridis Terhadap Virus
Komputer Sebagai Alat Bukti Cyber Crime Dalam Peradilan Indonesia, Jurnal
Hukum Pidana dan Kriminologi DELICTI Volume XI No. 3 / Januari s/d Juni 2013,
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, 2013, hal. 55
[4] Dr. Chairul Huda, SH, MH, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2008, hal. 30
Pustaka Utama,
Jakarta, 2008, hlm. 1301.
=12&id=20
[8] Dr. Aziz Syamsuddin, SH, SE, MH,
MAF, Tindak Pidana Khusus, Sinar
Grafika, Bandung, 2013, hal. 123
Slot Search - Casino - Mapyro
BalasHapusSlot Search by Location, city 목포 출장안마 and 태백 출장안마 city and play for free at Mapyro. Your search will take you 춘천 출장안마 directly to 공주 출장샵 slot searches 동두천 출장샵 and maps of any of